Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-08-21 at 11.03.46.jpeg
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal telah menerima surat dari Presiden RI, Prabowo Subianto terkait RUU Haji. (IDN Times/Amir Faisol)

Gianyar, IDN Times - Keterwakilan perempuan sebagai pemegang posisi krusial di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masih rendah. Ada berbagai faktor yang membuat perempuan belum mengisi posisi pimpinan dan keanggotaan Alat Kelengkapan DPR RI (AKD). Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kurniawati Hastuti Dewi, mengatakan tantangan struktural dan budaya patriarki masih mendominasi.

“Perempuan dan politik secara modal sosial kontestasi yang dihadapi politisi perempuan tertinggal, bahkan dalam proses kandidasi perempuan yang maju langsung, ruang dinamika atau negosiasi politiknya lebih rumit,” kata Kurniawati melalui Diskusi Media bertajuk Afirmasi dan Meritokrasi Menjamin Keterwakilan Perempuan Parlemen di Pimpinan dan Keanggotaan Alat Kelengkapan DPR-RI, pada Minggu (24/8/2025).

Tantangan berlapis dihadapi oleh perempuan yang maju secara mandiri tanpa adanya politik dinasti. Politisi perempuan dari lingkaran elite partai, kata Kurniawati tidak menghadapi tantangan berlapis jika dibandingkan dengan nondinasti. Lalu, seperti apa pembahasan selengkapnya? Baca di bawah ini.

Dari temuan peneliti, politisi perempuan yang maju di luar pusaran elite politik mengalami tantangan berlapis

Ilustrasi politik uang. (IDN Times/Arief Rahmat)

Kurniawati melanjutkan, temuan peneliti pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu, politik uang amat ugal-ugalan. Tidak semua calon legislatif (caleg) perempuan memiliki modal besar. Sehingga mereka mengakali dengan jejaring perempuan, organisasi, dan semacamnya. Namun, cara itu tidak dengan mudah mampu melawan politik uang dalam 5 tahun terakhir. Ini menjadi tantangan kesekian bagi perempuan.

Sebelumnya, Kurniawati hadir sebagai ahli pemohon dalam gugatan sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa lalu, 8 Juli 2025. Perkara dengan Nomor 169/PUU-XXII/2024. Gugatan ini diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia bersama sejumlah pihak lainnya.

Berdasarkan rilis resmi dari laman MK, para pemohon menilai sejumlah ketentuan dalam UU MD3 merugikan hak konstitusional perempuan, khususnya terkait keterwakilan dalam alat kelengkapan dewan (AKD). Mereka menyoroti masih rendahnya keterwakilan perempuan di jajaran pimpinan AKD DPR periode 2024–2029 yang belum memenuhi ambang batas minimal 30 persen.

Meskipun secara faktual, partai politik (parpol) bertanggung jawab atas pengkaderan berkeadilan gender terhadap perempuan. Namun, Kurniawati meragukan hal itu.

“Saya sangsi mengharapkan parpol, parpol cenderung oligarkis, apa cukup bisa demokasi dari parpol,” ujarnya.

Ia menegaskan, opsi paling mungkin adalah dengan membuat maupun mengubah kebijakan sejak AD/ART parpol untuk mengatur minimal 30 persen perempuan posisi pimpinan dan AKD di pusat maupun daerah. Sehingga perempuan dalam parlemen tidak hanya sebagai minoritas kecil yang tidak memiliki daya dan pengaruh terhadap arus kebijakan terhadap perempuan. Lebih dari itu, perempuan dapat mencapai minoritas besar melebihi 30 persen agar mampu membentuk koalisi, memengaruhi agenda legislatif hingga mengubah budaya institusi politik.

Meretas ketimpangan historis dan patriarki, butuh ketegasan sanksi

ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Sementara, Ketua Cakra Wikara Indonesia (CWI), Anna Margret Lumban Gaol, menuturkan saat ini butuh upaya untuk mengawal proses pembuatan keputusan atas pengujian UU MD3. Anna berpendapat, hanya regulasi dan sanksi mengikat yang mampu mendorong parpol mulai berbenah atas pengkaderan, dengan mengarusutamakan keadilan gender.

“Memang realitas pahitnya masih dibutuhkan aturan memaksa,” ujar Anna. 

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), persentase pencalonan perempuan DPR RI mengalami penurunan. Tahun 2019 sebesar 39,98 persen. Sedangkan tahun 2024 sebesar 36,93 persen. Anna menegaskan, mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak hanya sebatas kehadiran simbolik dan administratif, turut juga menambahkan daya kerja secara optimal.

Menurut Anna, untuk memastikan peluang perempuan setara adalah melalui penguatan kompetensi juga penting. Terutama dengan kebijakan afirmasi yang setidaknya jadi langkah awal meretas ketertinggalan historis perempuan untuk mengisi posisi strategis kepemimpinan di AKD DPR RI.  

Satu sisi, Kurniawati menambahkan agar tidak berekspektasi pada caleg perempuan. Sebab, dari temuan dalam risetnya, kebijakan pro gender lahir dari perempuan dengan rekam jejak yang berjejaring dengan organisasi perempuan. Mereka akan meminta saran dan tidak sendirian mengawal regulasi yang diperjuangkan. Ia menegaskan, itu akan berbeda dengan politisi perempuan yang melaju sendirian maupun dengan motor politik dinasti.

“Jangan sampai punya ekspektasi yang sama rata terhadap politisi perempuan,” tegasnya.

Menuntut parpol menerapkan keadilan gender, apakah memungkinkan?

Ilustrasi partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Anggota DPR RI 2004-2019, Eva Kusuma Sundari, berpendapat bahwa perempuan kerap dijegal dalam parlemen. Meskipun berprestasi, budaya patriarki dalam pusaran parlemen melemahkan posisi perempuan.

“Terjebak pada domestifikasi perempuan, gender jadi arus utama tidak bisa berlangsung, tidak ada komitmen,” katanya.

Saat IDN Times menanyakan komitmen parpol dalam arus utama gender dan pengkaderan perempuan, Eva mengatakan itu masih belum nampak dalam tubuh parpol. Menurutnya, selain lemah dalam pengkaderan perempuan, parpol digerogoti masalah lain. Misalnya, kegagalan membawa isu progresif dalam parlemen. Ia mencontohkan legislatif di Skandinavia dan Eropa Barat selalu berhasil membawa isu progresif dalam parlemen. Tapi di Indonesia legislatif masih resisten terhadap isu-isu progresif.

“Kalau di Indonesia dari LSM (lembaga swadaya masyarakat) bawa isu progresif. Tapi partai malah resisten, parpol telat sekali untuk jadi agen perubahan,” keluhnya.

Ia juga menegaskan pemimpin parpol sebaiknya membangun sistem berkeadilan gender dalam tubuh partai. Ia mencontohkan sejumlah negara dengan keterlibatan perempuan dalam legislatif sekitar 50 persen lebih. Misalnya Amerika Latin, Aljazair, Tunisia, dan sebagainya.

“Partai harus open minded (berpikiran terbuka) dan open heart (hati terbuka), pemberdayaan perempuan amat penting.”

Editorial Team