Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sawah dan bangunan di Bali (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Gubernur Bali, Wayan Koster, menyebutkan sejumlah peraturan daerah (perda) prioritas pada pidatonya di Sidang Paripurna IX Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali tanggal 4 Maret 2025. Koster menyampaikan, perda prioritas itu berkaitan tentang pengendalian alih fungsi dan alih kepemilikan lahan produktif, sawah, serta nominee. 

Persoalan pantai dan pesisir termasuk dalam perda prioritas. Dalam pidatonya, Koster menyebutkan perlindungan pantai ini untuk kepentingan upacara adat, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal.

Jika melihat data yang ada, Satu Data Indonesia Provinsi Bali mencatat penurunan luasan hutan lindung di Bali. Pada tahun 2023 sebesar 96687,86 hektare atau sekitar 73,71 persen. Sedangkan data di tahun sebelumnya, yaitu pada 2022 sebesar 97407,95 hektare atau 71,19 persen. Ini menunjukkan luasan hutan lindung di Bali berkurang 719,64 hektare. Lantas, apa saja yang dibutuhkan untuk mengendalikan alih fungsi lahan dan pantai di Bali?

1. Perda harus berperspektif lingkungan

ilustrasi hutan yang berperan dalam siklus hujan sekaligus mencegah banjir (unsplash.com/Filip Zrnzević)

Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata, menjelaskan adanya perda prioritas pengendalian alih fungsi lahan, sebagai bukti Pemprov Bali mengafirmasi masalah tersebut. Ia menambahkan, penyusunan regulasi ini harus berperspektif pada lingkungan Bali. 

“Adanya itikad penyusunan regulasi ini tentu harus berangkat untuk benar-benar melindungi lingkungan Bali dari pembangunan yang merusak,” ungkap Krisna saat dihubungi IDN Times, pada Sabtu (8/3/3035). 

Krisna menegaskan, regulasi pengendalian alih fungsi lahan bukan sebagai upaya pemutihan dari berbagai pembangunan, yang sebelumnya diduga mengalihfungsikan lahan dan berada di sempadan pantai.

2. Partisipati publik dalam penyusunan regulasi

Editorial Team

Tonton lebih seru di