Gubernur Bali, I Wayan Koster, menerima kunjungan para pimpinan ormas, Selasa (15/1/2019). (IDN Times/Imam Rosidin)
Patriot Garuda Nusantara (PGN) mungkin satu dari sekian banyak organisasi yang ada di Bali, meskipun pergerakannya disebut jauh dari ormas kalau sudah membela negara. Namanya mulai dikenal setelah bentrok dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang melakukan demonstrasi peringatan 60 tahun Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat di Renon, Kota Denpasar pada 1 Desember 2021.
Namun bicara soal organisasi kemasyarakatan, Bali memiliki ormas besar lainnya. Di tengah visi misinya yang kurang lebih sama: memperjuangkan kepentingan masyarakat dan mitra pemerintah, ormas ini juga pernah saling bentrok. Setidaknya tercatat ada dua kali bentrokan besar dan berdarah.
Pertama, bentrokan maut yang terjadi di Jalan Teuku Umar, Kota Denpasar, pada 17 Desember 2015. Bentrokan ini terjadi di tengah keramaian lalu lalang kendaraan dan aktivitas warga, terjadi dari sore hingga malam hari. Menyebabkan 2 orang tewas, dan 3 orang mengalami luka berat. Pemicu awalnya juga karena bentrokan ormas di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan sekitar pukul 16.00 Wita, menyebabkan 2 orang tewas dan 2 orang terluka. Sehingga totalnya ada 4 orang tewas dan 5 orang terluka.
Kedua, aksi bentrok ormas di Jalan Buluh Indah, Kota Denpasar, pada 22 Januari 2017 sore hari. Tiga orang mengalami luka parah dalam tragedi ini. Pemicunya adalah saling ketersinggungan.
Tragedi-tragedi tersebut membuat gusar Irjen Dr Petrus Reinhard Golose, yang kala itu menjadi Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda Bali). Aktivitas tiga ormas besar di Bali yaitu Laskar Bali, Baladika, dan Pemuda Bali Bersatu (PBB), minta dibekukan. Ia mengajukan rekomendasinya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali pada April 2017, yang masih dijabat oleh I Made Mangku Pastika.
Irjen Petrus menilai ketiga ormas tersebut telah melakukan perbuatan pidana, mengganggu keamanan, dan ketertiban umum. Namun hingga 9 Januari 2019, surat rekomendasi itu belum ada perkembangan balasan dari pemerintah.
Pada 15 Januari 2019, ketiga perwakilan ormas tersebut mendatangi Kantor Gubernur Bali dan menemui I Wayan Koster. Gubernur Koster memilih tidak membubarkan ketiga ormas tersebut. Ia hanya memberikan Surat Peringatan (SP).
"Dalam rekomendasi Kapolda, Gubernur agar membubarkan ketiga ormas ini. Berkenaan dengan rekomendasi ini, kami sikapi dengan kewenangan yang diatur perundang-undangan. Tidak bisa serta merta membubarkan," katanya dalam konferensi pers di Denpasar, Selasa (15/1/2019) lalu.
Apabila dalam waktu dua tahun ormas tersebut melakukan pelanggaran, maka surat keterangan terdaftarnya akan dicabut. Namun jika ada anggota ormas yang melakukan pelanggaran, maka harus ditindak secara pidana. Selain itu, pimpinan organisasinya harus membuat surat pernyataan.
Surat pernyataan tersebut intinya berisi melarang keras pembunuhan, premanisme, penganiayaan, narkoba, dan kegiatan kriminal lainnya.
"Setelah bicara dan ngobrol dengan pimpinan ormas ini, saya kira tak ada orang lahir yang bercita-cita melakukan kejahatan. Saya sebagai Gubernur memperlakukan mereka seperti anak-anak sendiri. Sehingga saya tidak bertindak semena-mena. Apa yang saya lakukan harus terukur dan bisa dipertanggungjawabkan secara sekala niskala. Saya mohon, kawan-kawan bisa memahami sikap kami. INi adalah opsi maksimal yang bisa saya pertanggungjawabkan."