"Saya cuma mau ngomong sama pemerintah, kami ini manusia, ingin dimanusiakan. Berikan kami air yang layak sesuai dengan nama PAM, Perusahaan Air Minum. Boro-boro bisa diminum, buat sikat gigi saja mengerikan. Padahal ini DKI lho, ibu kota, masa kualitas airnya seperti itu. Yang berbau, kotor, ada jentik, asin, berwarna, bagaimana bisa dikonsumsi? Itu yang membuat kami bertambah miskin karena terfokus dengan membeli air," tuntut Halimah, anggota komunitas perempuan Rawa Badak, Jakarta Utara, pada Selasa, 21 Mei 2024, dalam sesi parallel People's Water Forum (PWF) di Kota Denpasar.
Denpasar, IDN Times - Halimah adalah seorang ibu yang telah berjuang menuntut haknya atas air bersih agar dipenuhi oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya atau Perumda PAM Jaya, Jakarta, sejak tahun 2012. Ia menjadi bagian dari Koalisi Warga Jakarta Menentang Privatisasi Air (KMMSAJ). Pasokan air bersih di Jakarta telah diprivatisasi oleh dua perusahaan, PT Aetra dan PT Palyja, sejak tahun 1977. Menurut Halimah, swastanisasi pengelolaan air oleh perusahaan mitra PAM Jaya tersebut berimplikasi buruk terhadap pemenuhan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, utamanya masyarakat miskin di Jakarta.
Perjuangan Halimah tidak sia-sia. Tahun 2015, KMMSAJ didampingi oleh LBH Jakarta memenangkan gugatan pembatalan kontrak PT Aetra dan PT Palyja. Berikutnya di tahun 2016, Mahkamah Agung memutuskan pengelolaan air oleh pihak swasta adalah pelanggaran hukum. Walaupun demikian, kedua korporasi ini tetap beroperasi dan tidak mematuhi putusaan tersebut.
Di tengah krisis air bersih seperti disampaikan oleh Halimah, pada tanggal 20 Mei 2024, Loïc Fauchon, Presiden Dewan Air Dunia, dalam pembukaan World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, mendaulat Indonesia sebagai ibu kota Air dan Bali sebagai pusat air dunia. Namun, apakah benar Indonesia layak disebut sebagai ibu kota air dunia?