Memahami Hak Atas Tubuh Perempuan dalam Perencanaan Keluarga

Denpasar, IDN Times - Gubernur Bali, Wayan Koster, menyebutkan enam bidang prioritas dalam masa pemerintahannya lima tahun ke depan. Seperti bidang satu yang meliputi adat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal. Ada poin yang menarik dalam upayanya melestarikan warisan kebudayaan Bali. Yaitu nama depan Nyoman dan Ketut.
“Tahun ini akan diberikan insentif bagi anak-anak yang bernama Nyoman dan Ketut,” ujar Koster dalam pidato perdananya sebagai Gubernur Bali di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali pada Selasa, 4 Maret 2025 lalu.
Koster menambahkan, insentif juga akan diberikan kepada para ibu yang sanggup melahirkan sampai anak keempat.
“Dan juga insentif bagi ibu-ibu yang ke depan sanggup melahirkan anak sampai yang keempat. Nyoman dan Ketut supaya terpelihara,” kata dia.
Saat menjabat Gubernur Bali di periode pertama tahun 2019 lalu, Koster juga sempat menyebutkan tentang pelestarian Nyoman dan Ketut, yang lebih dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB) Bali.
1. Apakah KB Bali sebagai alternatif dari KB Nasional?
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau BKKBN mencatat, Program KB Nasional ini bertujuan sebagai pengendalian jumlah penduduk dan membentuk keluarga kecil bahagia. Caranya dengan mengendalikan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Slogan populer dari program KB Nasional misalnya “Dua Anak Cukup, Laki-laki dan Perempuan Sama Saja”, menunjukkan bahwa jumlah anak yang disarankan Pemerintah Pusat adalah dua anak. Menurut Direktur Eksekutif PKBI Bali, AA Ayu Ratna Wulandari, dari instruksi KB Bali dengan empat anak ini ada dua sisi yang dapat ditelaah.
“KB Nasional dengan dua anak dianggap mengabaikan hak reproduksi orang Bali, tradisi penamaan kita hingga empat anak. Mengikuti KB Nasional (berarti) mengabaikan hak reproduksi orang Bali,” ujar Ratna saat dihubungi IDN Times, Jumat (7/3/2025) lalu.
Kedua, menurut Ratna, instruksi nama Nyoman dan Ketut ini sebagai bentuk kekhawatiran Gubernur Bali terhadap populasi orang Bali yang akan habis.