Karangasem, IDN Times - Orang berlalu lalang mendatangi bangunan bercat ungu muda di Dusun Manikaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Bukan tanpa alasan bangunan bercat ungu mendulang orang berdatangan. Sebab bangunan itu adalah satu-satunya warung di Dusun Manikaji.
Pemilik warung itu adalah Nengah Rahayu. Memulai usahanya sejak 2015, warung ini lumayan membantu ekonomi keluarga. Masyarakat dari desa sebelah, seperti Asti dan Desa Kaliaga, berbelanja di warung milik Rahayu. Barang dagangan cukup lengkap. Ada lauk pauk, sembako, makanan ringan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lain.
“Di sini jarang ada yang jualan kayak saya. Soalnya, dari sisi transportasinya mungkin jarang yang mau buka usaha kayak gini,” kata Rahayu saat ditemui 4 April 2025.
Saban hari, Rahayu menuju Pasar Tukad Eling demi membeli stok barang dagangan di warungnya. Pasar ini berada di Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Jarak tempuh dari warung sekaligus rumah Rahayu ke Pasar Tukad Eling, sekitar 11 kilometer lebih. Medan jalan berliku dengan rata-rata kemiringan 45 derajat, dan kondisi jalan sebagian besar tanah minim aspal. Perjalanan penuh risiko itu, setiap hari dilalui ibu tiga anak ini.
Kondisi yang sekarang Rahayu dapatkan dengan kerja keras. Masa-masa berat itu dia rasakan bertahun-tahun bersama suaminya, I Wayan Putu Sentana. Mereka menikah ketika usia dini, masih anak-anak.
Tahun 2005, dari masa pacaran, Rahayu menikah di usia 16 tahun. Sedangkan Sentana usia 19 tahun, tiga tahun lebih tua dari Rahayu.
Suaminya baru tamat sekolah menengah pertama (SMP). “Jadi dia (suaminya) udah gak sekolah. Kayak dibebasin-lah sama orangtua.”
Mereka menjalani hidup berat, tanpa penghasilan tetap. Sentana hanya membantu orangtua di ladang. Sedangkan Rahayu merawat buah hati mereka yang masih bayi. Rahayu juga tidak melanjutkan pendidikan.
Niat hati mengubah nasib, Sentana memutuskan kembali bersekolah sampai perguruan tinggi. Belum tamat kuliah, memasuki semester keenam, Sentana memilih berhenti. Dia sungkan karena merasa memberatkan orangtua karena harus membayar biaya kuliah.
“Kalau masih minta sama orangtua sudah malu, mereka juga sudah tua, sudah banyak mikirin ini, mikirin itu,” kata Rahayu.
Kemudian, Rahayu dan suami mencoba berjualan makanan ringan dan tipat cantok–sayuran dan tipat dengan saus kacang. Pertama buka 2015, warungnya masih berdinding anyaman bambu. Usaha makin berkembang, Rahayu dan suami berani mengajukan kredit usaha rakyat (KUR) sebagai modal usaha.
Sentana juga giat bekerja, sebagai pengepul kayu untuk bahan bangunan. Dia dan Rahayu juga sedang berkebun menanam kelapa, mangga, dan alpukat.
“Tanamannya untuk dijual. Bibitnya beli di Buleleng, baru belajar karena ada yang nawarin,” kata Sentana.
Sebelumnya, pasangan ini sudah menanam cabai dan undis. Tetapi mereka merasa panen setahun sekali dan sambil berjualan, hingga tanamannya kurang perhatian.
Untuk mencapai Dusun Manikaji dari Kota Denpasar, perlu sekitar 2 jam perjalanan. Dusun ini terletak di atas Desa Ban, dekat kaki Gunung Abang. Kondisi jalan tanah berbatu tanpa aspal, menyulitkan perjalanan.
“Kalau musim sekarang, jalannya belum ada aspalnya. Itu yang yang jadi halangan. Kalau memang jalannya sudah diaspal, ya agak lancar ekonomi dan lain sebagainya,” ujar Sentana.
Pasangan ini bertekad anak-anak mereka tak mengalami nasib serupa, menikah dini dan putus sekolah. Rahayu dan suami mendorong anak-anak mengenyam pendidikan sampai tinggi.
Motivasi Rahayu dan Sentana kuat, mengizinkan anaknya berkuliah di Bandung demi kemajuan, bahwa pendidikan anak-anak harus diperjuangkan. “Jadi bangkitlah. Biar gak kayak saya gitu. Saya ingin anak saya lebih baik dari saya,” kata Rahayu dengan mata berkaca-kaca.
Anak pertama Rahayu berkuliah di Bandung, jurusan ilmu komunikasi. Dia bersyukur anaknya mendapatkan beasiswa, hingga Rahayu dan suami mendukung biaya hidup anak mereka di Kota Paris van Java itu.
Dua anak lainnya dari Rahayu dan Sentana masih berusia sekolah. Anaknya yang nomor dua masih duduk di bangku SMA. Rahayu bercerita, putranya ingin langsung bekerja setelah lulus SMA.
“Saya tidak memaksa anak-anak harus kuliah. Tapi saya selalu bilang, sekolah yang benar, lulus. Saya selalu bilang ke anak-anak jangan sampai kawin anak kayak saya,” ujar Rahayu.
Bagi Rahayu, peran di sekolah anak-anaknya begitu besar untuk mendukung pendidikan buah hati mereka. Meski keluarga kecilnya jauh lebih mandiri dibandingkan tahun sebelumnya, Rahayu dan Sentana merasa uang kuliah dan biaya di Bandung tergolong mahal.
Anak pertama mereka yang berprestasi. Dengan dukungan Sekolah Ekoturin, anaknya mendapatkan beasiswa. “Sekolahnya di sini gak ngeluarin biaya apa-apa. Sudah semuanya ditanggung sama yayasan,” katanya.
Yayasan Ekoturin memulai program pendidikan gratis di Desa Ban pada tahun 1999. Setelah mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem, yayasan ini mengelola pendidikan nonformal dengan sistem kejar paket. Sekolah pertama ada di Dusun Bunga, dekat lereng Gunung Abang.
Sekolah Ekoturin ada di hampir setiap dusun Desa Ban. Selain Dusun Bunga, sekolah ini juga ada di Dusun Pengalusan, Dusun Manikaji, Dusun Jati Tuhu, dan Dusun Darmaji. Sekolah Ekoturin memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak di Desa Ban, dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Sekolah ini juga memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, dan dampak buruk perkawinan anak.