Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Perjalanan menuju rumah Sutami, pelajar kelas 11 SMA di Dusun Manikaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. (IDN Times/Yuko Utami)
Perjalanan menuju rumah Sutami, pelajar kelas 11 SMA di Dusun Manikaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. (IDN Times/Yuko Utami)

Intinya sih...

  • Nengah Rahayu dan suami bertekad anak-anaknya tak mengalami nasib serupa: menikah dini dan putus sekolah
  • Rahayu menikah pada usia 16 tahun dan suaminya 19 tahun. Keduanya berjuang keras untuk memajukan usaha warung mereka, serta mendorong anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan tinggi
  • Perkawinan anak masih menjadi masalah di Desa Ban, Karangasem. Upaya pencegahannya adalah melalui pararem antiperkawinan anak yang diterapkan oleh desa adat
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Karangasem, IDN Times - Orang berlalu lalang mendatangi bangunan bercat ungu muda di Dusun Manikaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Bukan tanpa alasan bangunan bercat ungu mendulang orang berdatangan. Sebab bangunan itu adalah satu-satunya warung di Dusun Manikaji.

Pemilik warung itu adalah Nengah Rahayu. Memulai usahanya sejak 2015, warung ini lumayan membantu ekonomi keluarga. Masyarakat dari desa sebelah, seperti Asti dan Desa Kaliaga, berbelanja di warung milik Rahayu. Barang dagangan cukup lengkap. Ada lauk pauk, sembako, makanan ringan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lain.

“Di sini jarang ada yang jualan kayak saya. Soalnya, dari sisi transportasinya mungkin jarang yang mau buka usaha kayak gini,” kata Rahayu saat ditemui 4 April 2025. 

Saban hari, Rahayu menuju Pasar Tukad Eling demi membeli stok barang dagangan di warungnya. Pasar ini berada di Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Jarak tempuh dari warung sekaligus rumah Rahayu ke Pasar Tukad Eling, sekitar  11 kilometer lebih. Medan jalan berliku dengan rata-rata kemiringan 45 derajat, dan kondisi jalan sebagian besar tanah minim aspal. Perjalanan penuh risiko itu, setiap hari dilalui ibu tiga anak ini.

Kondisi yang sekarang Rahayu dapatkan dengan kerja keras. Masa-masa berat itu dia rasakan bertahun-tahun bersama suaminya, I Wayan Putu Sentana. Mereka menikah ketika usia dini, masih anak-anak.

Tahun 2005, dari masa pacaran, Rahayu menikah di usia 16 tahun. Sedangkan Sentana usia 19 tahun, tiga tahun lebih tua dari Rahayu. 

Suaminya baru tamat sekolah menengah pertama (SMP). “Jadi dia (suaminya) udah gak sekolah. Kayak dibebasin-lah sama orangtua.” 

Mereka menjalani hidup berat, tanpa penghasilan tetap. Sentana hanya membantu orangtua di ladang. Sedangkan Rahayu merawat buah hati mereka yang masih bayi. Rahayu juga tidak melanjutkan pendidikan.

Niat hati mengubah nasib, Sentana memutuskan kembali bersekolah sampai perguruan tinggi. Belum tamat kuliah, memasuki semester keenam, Sentana memilih berhenti. Dia sungkan karena merasa memberatkan orangtua karena harus membayar biaya kuliah.  

“Kalau masih minta sama orangtua sudah malu, mereka juga sudah tua, sudah banyak mikirin ini, mikirin itu,” kata Rahayu.

Kemudian, Rahayu dan suami mencoba berjualan makanan ringan dan tipat cantok–sayuran dan tipat dengan saus kacang. Pertama buka 2015, warungnya masih berdinding anyaman bambu. Usaha makin berkembang, Rahayu dan suami berani mengajukan kredit usaha rakyat (KUR) sebagai modal usaha.

Sentana juga giat bekerja, sebagai pengepul kayu untuk bahan bangunan. Dia dan Rahayu juga sedang berkebun menanam kelapa, mangga, dan alpukat.

“Tanamannya untuk dijual. Bibitnya beli di Buleleng, baru belajar karena ada yang nawarin,” kata Sentana.

Sebelumnya, pasangan ini sudah menanam cabai dan undis. Tetapi mereka merasa panen setahun sekali dan sambil berjualan, hingga tanamannya kurang perhatian.

Untuk mencapai Dusun Manikaji dari Kota Denpasar, perlu sekitar 2 jam perjalanan. Dusun ini terletak di atas Desa Ban, dekat kaki Gunung Abang. Kondisi jalan tanah berbatu tanpa aspal, menyulitkan perjalanan.

“Kalau musim sekarang, jalannya belum ada aspalnya. Itu yang yang jadi halangan. Kalau memang jalannya sudah diaspal, ya agak lancar ekonomi dan lain sebagainya,” ujar Sentana.

Pasangan ini bertekad anak-anak mereka tak mengalami nasib serupa, menikah dini dan putus sekolah. Rahayu dan suami mendorong anak-anak mengenyam pendidikan sampai tinggi.

Motivasi Rahayu dan Sentana kuat, mengizinkan anaknya berkuliah di Bandung demi kemajuan, bahwa pendidikan anak-anak harus diperjuangkan. “Jadi bangkitlah. Biar gak kayak saya gitu. Saya ingin anak saya lebih baik dari saya,” kata Rahayu dengan mata berkaca-kaca.

Anak pertama Rahayu berkuliah di Bandung, jurusan ilmu komunikasi. Dia bersyukur anaknya mendapatkan beasiswa, hingga Rahayu dan suami mendukung biaya hidup anak mereka di Kota Paris van Java itu.

Dua anak lainnya dari Rahayu dan Sentana masih berusia sekolah. Anaknya yang nomor dua masih duduk di bangku SMA. Rahayu bercerita, putranya ingin langsung bekerja setelah lulus SMA.

“Saya tidak memaksa anak-anak harus kuliah. Tapi saya selalu bilang, sekolah yang benar, lulus. Saya selalu bilang ke anak-anak jangan sampai kawin anak kayak saya,” ujar Rahayu.

Bagi Rahayu, peran di sekolah anak-anaknya begitu besar untuk mendukung pendidikan buah hati mereka. Meski keluarga kecilnya jauh lebih mandiri dibandingkan tahun sebelumnya, Rahayu dan Sentana merasa uang kuliah dan biaya di Bandung tergolong mahal.

Anak pertama mereka yang berprestasi. Dengan dukungan Sekolah Ekoturin, anaknya  mendapatkan beasiswa. “Sekolahnya di sini gak ngeluarin biaya apa-apa. Sudah semuanya ditanggung sama yayasan,” katanya.

Yayasan Ekoturin memulai program pendidikan gratis di Desa Ban pada tahun 1999. Setelah mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem, yayasan ini mengelola pendidikan nonformal dengan sistem kejar paket. Sekolah pertama ada di Dusun Bunga, dekat lereng Gunung Abang. 

Sekolah Ekoturin ada di hampir setiap dusun Desa Ban. Selain Dusun Bunga, sekolah ini juga ada di Dusun Pengalusan, Dusun Manikaji, Dusun Jati Tuhu, dan Dusun Darmaji. Sekolah Ekoturin memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak di Desa Ban, dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Sekolah ini juga memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, dan dampak buruk perkawinan anak.

Nengah Sutami, siswi kelas 11 SMA di Sekolah Ekoturin Manikaji, mengatakan tahun 2025 ada dua teman sekolahnya menikah di usia anak

Siluet Sutami dan sepupunya saat berjalan menuruni jalan berbatu tanpa aspal di Dusun Manikaji. (IDN Times/Yuko Utami)

Perempuan 17 tahun ini turut mengamati fenomena kawin anak di daerahnya. Dia melihat, kebanyakan anak perempuan kawin dengan lelaki dewasa yang tak bersekolah atau bekerja di luar Desa Ban. Ada juga karena masalah ekonomi, menjadi penyebab perkawinan anak terjadi.

Setelah menikah usia anak, rata-rata mereka akan melanjutkan pekerjaan orangtua di ladang. Ada juga yang cekcok di rumah. “Karena mereka itu merasa kurang nyaman di keluarganya karena orangtuanya, ada juga yang merasa diperlakukan tidak adil. Jadi dia mencari kenyamanan sama pacarnya.” 

Ketua Yayasan Ekoturin, Komang Kurniawan, mengungkapkan hal senada. Dia bilang, menghapus perkawinan anak itu adalah hal yang sulit. Mereka sudah berupaya keras mengajak seluruh pihak untuk memperhatikan masalah ini. Tapi mengubah kultur sosial masyarakat yang telah mengakar, jadi kendala terbesar.

“Sampai saat ini kita sudah melakukan upaya keras untuk itu, tapi belum juga bisa tercapai secara keseluruhan. Sudah ada beberapa desa adat yang memiliki perarem, tapi masih juga ada yang melanggar karena masalah sosial keluarga.” 

Meski demikian, Kurniawan dan para guru di Sekolah Ekoturin tak patah arang. Setiap mengajar, para guru memberikan motivasi kepada siswa agar bersekolah hingga tamat. Para guru juga meyakinkan siswa untuk memiliki rencana masa depan yang lebih baik. 

Data Komisi Perempuan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali menyebutkan, kasus perkawinan anak di Kabupaten Karangasem tahun 2024 ada 44 kasus. Jumlah ini menjadikan Karangasem sebagai kabupaten dengan kasus perkawinan anak terbanyak ketiga se-Bali. Pertama, ada Buleleng dengan 140 kasus. Kedua, Jembrana sebanyak 51 kasus.

Secara menyeluruh, kasus perkawinan anak di Bali meningkat sampai 10 persen. Berdasarkan data dari pengadilan terkait pengajuan dispensasi kawin, pada tahun 2023 ada 335 dispensasi kawin yang diajukan. Sedangkan tahun 2024 ada 368 dispensasi.

“Susah mencari data riil perkawinan anak karena tertutup. Hanya dari dispensasi pengadilan meningkat 10 persen dari tahun lalu,” kata Ni Luh Gede Yastini, Ketua KPPAD Bali.

Pararem antiperkawinan anak di Dusun Manikaji

Kelian Desa Adat Manikaji, Nengah Sudana sambil memangku anak kelimanya yang berusia 1 tahun. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Desa adat menyadari, perkawinan anak tinggi di daerah ini. Upaya pencegahan perkawinan anak telah dilakukan, satu di antaranya dengan pararem antiperkawinan anak. Pararem adalah aturan di desa adat, fungsinya seperti peraturan pelaksana.

Pararem itu masih ada di Majelis Desa Adat Bali,” ujar Nengah Sudana, Kelian Desa Adat Manikaji sambil memangku anak kelimanya, berusia setahun.

Rumah Sudana posisinya jauh berada di atas rumah Rahayu dan Sentana. Perjalanan ke Rumah Sudana bukanlah hal mudah. Kondisi jalannya jauh lebih buruk. Hujan yang membasahi tanah, membuat medan berbatu menjadi sangat licin. Kalau tak berhati-hati, pejalan kaki bisa terpeleset dan terjatuh.

Pembicaraan tentang pararem ini berlangsung di sangkep (rapat desa adat). Sebulan dua kali pelaksanaan sangkep. Sudana mengatakan, setiap persoalan di desa adat akan dibahas melalui sangkep, termasuk perkawinan anak. 

Dia agak kesulitan saat membahas pararem ini, misalnya, dari sisi penerapan sanksi. Sudana dilema, ada rasa ewuh pakewuh (segan) dengan sesama masyarakat di desa adat.

“Undang-undang Perlindungan Anak sudah kuat. Kalau ada lagi yang mengatur itu, yang mana dipakai lagi? Aturan di desa adat tidak didukung asas perikemanusiaan,” ujarnya.

Sudana menganggap sulit menerapkan pararem perkawinan anak di desa adat. Menurutnya, lebih baik ditangani langsung dengan aturan di nasional. Keterbatasan pemahaman tentang implementasi antara tatanan hukum adat dan hukum negara, juga menjadi kendala bagi Sudana.

“Nanti dirasa sulit dan bertentangan, gak mau ikut dia (masyarakat), gak mau menuruti aturan itu. Itu yang terjadi. Kita sebagai penyelenggara belum paham tatanan hukumnya. Tatanan bahasanya belum juga,” kata dia. 

Dia mencontohkan, saat ada sepasang remaja pacaran dan perempuan hamil, lalu orangtua menikahkan mereka, pihak desa adat tak bisa berbuat banyak.

Sudana mempersoalkan tentang pemberian dispensasi kawin dari pengadilan. Jika pengadilan telah memberi dispensasi kawin, maka perkawinan itu dianggap sah.

“Pengadilan yang menetapkan perkawinannya itu sah. Desa adat kan tidak dapat berbuat apa-apa,” ucap Sudana.

Mereka berupaya sosialisasi kepada orangtua dan anak-anak dari rumah ke rumah soal perkawinan minimal berusia 19 tahun. Sudana mengaku kesulitan jika menerapkan hukuman secara adat.

Dalam pararem itu, sebagai pemimpin di adat, Sudana berwenang menerima dan membuat laporan terkait perkawinan anak. Ada 72 keluarga di Dusun Manikaji. Jadi tergolong sedikit, sehingga ia bisa cepat mendapatkan informasi.

Kepala Desa Ban, I Gede Tamu Sugiharta, mengatakan penanganan perkawinan anak masih berfokus pada pembuatan aturan di skala desa adat. Aturan ini melarang perkawinan anak.

“Ada di beberapa adat sudah disahkan, tapi masih ada juga kawin di bawah umur. Agak susah juga,” katanya.

Namun, Tamu enggan membeberkan data kasus perkawinan anak di Desa Ban. Sekretaris LBH APIK Bali, Ni Luh Putu Anggreni, mengatakan ada beberapa ketentuan dalam penyusunan pararem. Secara umum, pararem harus sesuai Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali dan pedoman di Masyarakat Desa Adat (MDA) Bali.

Secara umum, pararem antiperkawinan anak harus memuat dasar hukum seperti ketentuan umum, dan pasal-pasal khusus di Undang-Undang Perlindungan Anak. Ada juga pasal yang memuat sanksi serta persyaratan verifikasi dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Bali.

“Sanksi adat itu ada permintaan maaf, dengan upacara pecaruan atau guru piduka, ada danda (denda) sesuai kesepakatan, ada kasepekang (disisihkan oleh desa adat),” kata Anggreni.

Pararem perkawinan anak juga memuat sanksi adat secara umum dengan rangkaian proses mediasi dan negosiasi.

Akademisi Ilmu Hukum Universitas Udayana (Unud) sekaligus Nayaka Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Prof Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, menjelaskan pararem perlindungan anak harus aplikatif.

“Tidak hanya awang-awang saja, tetapi aplikatif. Harus dibuatkan pararem, salah satunya pararem pengele yang secara khusus mengatur anak-anak di desanya,” ujar perempuan yang akrab disapa Gung Atu ini.

Aturan harus harmonis

Potret dari Dusun Manikaji, Desa Ban terdapat rumah penduduk dan lahan perkebunan. (IDN Times/Yuko Utami)

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebelum direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Batas usia perempuan untuk menikah minimal 16 tahun, dan laki-laki 19 tahun.

Pascarevisi, batas usia perkawinan di Indonesia bagi perempuan dan laki-laki minimal berusia 19 tahun. UU Perkawinan juga memuat ketentuan dispensasi kawin. Dispensasi kawin adalah hak bagi seseorang untuk menikah meskipun usia belum genap 19 tahun. Orangtua calon mempelai akan mengajukan dispensasi ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam, maupun ke pengadilan negeri bagi yang beragama selain Islam.

Pengadilan wajib mendengarkan keterangan kedua orangtua mempelai. Dispensasi diberikan pengadilan jika ada alasan mendesak. Kedua orangtua mempelai harus menyerahkan surat keterangan sebagai bukti bahwa keadaan perkawinan mendesak.

Yastini mengamati, pengadilan memberikan izin karena mempelai sudah telanjur dikawinkan secara adat, dan mempelai perempuan sudah hamil sebelum menikah. 

“Harapan kami di KPAD, dispensasi kawin dulu diajukan. Izinnya dulu diselesaikan, baru kawin. Kita lakukan ini agar semuanya baik,” ujar Yastini.

Sebelumnya Yastini juga mengkritik bahaya laten dari dispensasi kawin. Dia khawatir, dispensasi kawin untuk terlepas dari tindak pidana persetubuhan anak. Pengadilan memiliki kewenangan menolak dispensasi kawin kalau anak dalam kondisi dipaksa kawin karena diperkosa sehingga psikologisnya terganggu.

Dia tak mau jika kasus di Desa Jehem, Kabupaten Bangli terulang karena pihak adat tidak menelisik lebih jauh ada potensi kekerasan seksual. Seorang anak perempuan menikah dengan lelaki dewasa. Awalnya, perkawinan anak itu terjadi karena anak perempuan telah hamil. Namun, setelah perkawinan dilakukan secara adat dan negara, terungkap bahwa anak perempuan itu adalah korban pemerkosaan dari lelaki dewasa yang menikahinya.

“Bapak yang melakukan itu (suami korban) dipidana persetubuhan terhadap anak, mangku (pemuka agama Hindu di Bali) dan semuanya setiap hari dipanggil polisi,” katanya.

Gung Atu mengamati ada sejumlah tantangan dalam memberantas perkawinan anak di Bali. Tantangan itu meliputi budaya patriarki yang tertanam pada masyarakat adat; stigma kehamilan di luar perkawinan.

Prinsip toksik "sing beling, sing nganten (tidak hamil, tidak nikah)", bagi Gung Atu juga harus diberantas. Kesulitan lainnya terkait keterbatasan pemahaman tentang konsekuensi perkawinan anak.

Menurut Gung Atu, persoalan tentang dispensasi kawin antara ranah adat dan dispensasi hukum nasional, masih tumpang tindih. Serta pemahaman perangkat desa adat dalam perlindungan anak masih minim.

Penanganan perkawinan anak ini membutuhkan keterlibatan pihak di lintas sektor. Misalnya, masalah ekonomi yang membuat kawin anak dianggap sebagai solusi. Artinya, butuh solusi dalam pengembangan perekonomian. Desa adat pun, katanya, harus berani mengambil langkah progresif.

“Desa adat tidak hanya lembaga yang menerima masukan saja, tetapi sebagai agen perubahan, mungkin memiliki pemikiran kreatif dalam rangka tujuan penghapusan perkawinan anak,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Suwirta, mengungkapkan hanya ada satu kabupaten yang memiliki peraturan daerah (perda) tentang pencegahan perkawinan pada usia anak. Kabupaten Bangli, mengatur hal ini dalam Perda Kabupaten Bangli Nomor 11 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak.

“Bali perlu punya regulasi,” kata Suwirta singkat.

Dia bilang, ada berbagai langkah yang dilakukan dalam mencegah perkawinan anak. Seperti mengupayakan edukasi tentang pencegahan perkawinan anak di lingkungan sekolah, keluarga, dan kelompok masyarakat. Keberadaan pararem pencegahan perkawinan anak juga sangat berguna sebagai penguat hukum nasional.

“Hukum formal tentang batasan umur perlu diperkuat dalam awig atau perarem, tapi tetap edukasi yang memunculkan pemahaman bahayanya nikah usia anak bisa melahirkan anak stunting dan sejenisnya,” ungkap Suwirta.

Pembentukan kelompok remaja untuk mencegah perkawinan anak turut berperan sebagai pendukung satu sama lain. Peranan keluarga untuk terbuka dan dekat dengan anak, juga penting. Termasuk beragam aktivitas di keluarga maupun sekolah.

Budaya patriarki

infografis melepas jerat perkawinan anak di Desa Ban. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Tamu mengatakan, pengambilan keputusan diadakan pada rapat di desa. Perempuan dalam rapat desa hanya menjadi perwakilan suaminya. “Ada beberapa (perempuan) mewakili suaminya,” kata Tamu.

Sedangkan saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Karangasem, Gede Tamu berujar ada dua persoalan yang dijadikan prioritas. “Untuk di Desa Ban paling utama dan urgen adalah air dan jalan, yang lain bisa belakangan,” ungkap Gede Tamu.

Rapat di desa dinas berlangsung setiap bulan, sementara rapat di desa adat tergantung pada masing-masing wilayah. Kelian Desa Adat Manikaji, Nengah Sudana, menjelaskan rapat di desa adat berlangsung dua kali dalam sebulan.

“Masalah adat dikomunikasikan lewat sangkep. Sangkep untuk krama istri (perempuan) ada, tapi beda lembaga,” ujarnya.

Dari pengakuan Sutami, perempuan khususnya para ibu di Dusun Manikaji, tidak mengikuti sangkep secara rutin. Hanya bapak-bapak di Dusun Manikaji yang mengikuti sangkep setiap dua kali sebulan dengan berbagai isu pembahasan.

“Biasanya kalau sangkep desa atau banjar, banyak yang dibahas. Nah, sedangkan di sini (Dusun Manikaji), ibu-ibu pernah ikut sangkep saat sangkepan, hanya hadir untuk bayar denda atau dengar jadwal tugas,” kata Sutami.

Tugas yang dimaksud Sutami adalah saat ada upacara keagamaan, bapak-bapak akan menjadi pecalang (pihak keamanan di desa adat). Sementara, ibu-ibu akan mendapat tugas sebagai pembuat sesajen, kopi, dan tugas domestik lainnya.

Sutami bercerita, kehadiran ibu-ibu dalam sangkep setali tiga uang dengan rapat di desa dinas. Para ibu menggantikan suaminya yang sibuk dan berhalangan hadir. “Di sini untuk sangkepan desa, saat pengambilan keputusan belum ada ibu-ibu yang ikut,” ujar perempuan yang menjadi Ketua OSIS di Sekolah Ekoturin.

Posisi perempuan di Desa Ban, khususnya Dusun Manikaji, belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan krusial.

Menurut Antropolog, Mia Siscawati, fenomena ini dapat ditelaah dengan memetakan kondisi sosial budaya. “Situasi sosial budaya terkait dengan posisi anak perempuan di dalam keluarga dan keluarga besar,” ujar Mia. 

Fenomena di atas menunjukkan Dusun atau Desa Adat Manikaji dan Desa Ban--sebagai suatu komunitas--menempatkan perempuan sebagai subordinasi atau nomor dua. Ratna Saptari dalam buku berjudul Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, menuliskan dari mana subordinasi perempuan berakar. 

Menurut Saptari, subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. 

Merujuk artikel ilmiah Imam Syafe’i, pembentukan subordinasi perempuan diajarkan secara turun-temurun oleh setiap orangtua, adat istiadat, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan, atau tafsir agama. Setiap elemen tersebut, secara sengaja atau tidak, telah memberikan jalan kepada manusia untuk berpikiran bahwa memang demikian adanya peran yang harus kita jalankan.

Mia menerangkan, dengan mengetahui posisi perempuan di keluarga, kelompok besar, dan komunitas menjadi penting untuk melihat kondisi di desa. Ia mengistilahkannya, pengaruh dimensi kultural dan dimensi struktural. Ketika dalam keluarga maupun komunitas posisi perempuan menjadi subordinat, maka kultural patriarki di desa begitu kuat.

Jika secara struktural negara dalam lingkup desa, pemerintah desa tidak mengupayakan keterwakilan perempuan, maka dimensi kultural jauh lebih kuat. “Jadi katakan ternyata dimensi kultural juga masih memberikan hambatan, tidak hanya bagi perempuan tapi bahkan bagi warga biasa untuk ikut Musrenbang Desa,” kata Mia.

Secara sosiokultural, Dusun Manikaji masih menerapkan sistem kekerabatan patrilineal dengan pengaruh budaya patriarki yang kuat. Sejak zaman dahulu hingga kini, tidak ada perubahan signifikan dalam membuat kedudukan perempuan setara di berbagai aspek kehidupan. Pada tata cara pengambilan keputusan, setiap desa tradisional di Bali masih memberikan tampuk besar pada lelaki.

“Biasanya kalau mau buat bangunan, upacara, akan sangkep. Saat kemarin peresmian pararem itu juga sangkep, yang terlibat cuma laki-laki,” ujar Sutami. 

Sutami pernah menanyakan keterwakilan perempuan dalam sangkep maupun rapat lainnya di desa. Ia sendiri pernah mengajukan diri mengikuti sangkep, tapi forum tidak mengizinkan. Alasannya klasik, karena Sutami masih anak-anak dan Ia perempuan.

Bukan tanpa alasan perempuan berusia 17 tahun itu ingin ikut sangkep. Selain mendobrak cara-cara lama patriarki dalam pengambilan keputusan, Sutami gemas saat bubar sangkep, mereka malah saling berbicara di luar forum alias pakrimik.

“Kenapa pas udah di luar, mereka baru ngomong gitu. Kenapa gak saat sangkep-nya mereka ngomong,” tanya Sutami heran.

Turun-temurun budaya patriarki ini hingga merasuk dalam sistem dan tatanan hidup di Desa Ban, membuat sebagian perempuan berpikiran bahwa pendapat mereka tak akan didengar.

“Padahal perempuannya itu juga bisa, ada beberapa pendapat perempuan juga bisa berguna kan. Itu yang belum diketahui sama laki-laki dan perempuan juga belum mau bersuara gitu,” kata Sutami.

Namun, di tengah sengkarut itu, Sutami bersyukur sekolahnya membuka ruang perempuan agar bersuara. Keberanian Sutami mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS adalah langkah awal baginya mengubah keadaan di desanya agar lebih baik.

“Yang menumbuhkan keberanian Sutami adalah karena kita ada di desa terpencil. Kita juga gak mau ketinggalan zaman apalagi sekarang sudah berkembang,” harap Sutami.

Editorial Team