Foto hanya ilustrasi. (pexels.com/pixabay)
Into The Light mengungkapkan, informasi dan pemahaman tentang bunuh diri yang tidak tepat juga menyebabkan seseorang mengambil tindakan yang salah, serta dapat berakibat serius kepada calon dan korban bunuh diri, sekalipun mungkin memiliki itikad baik. Atas dasar ini, Into The Light kemudian membuat rangkuman tentang mitos dan fakta bunuh diri yang sering disinggung oleh masyarakat. Berikut isinya:
Orang yang hendak bunuh diri tidak akan membicarakan atau menunjukkan gejala-gejala ingin bunuh diri
Fakta: Hampir semua orang yang hendak bunuh diri menunjukkan gejala-gejalanya. Misalnya menarik diri dari pergaulan, melalui perkataan tertentu, kegiatan yang menunjukkan keinginan bunuh diri, atau perubahan perilaku atau penampilan yang kasat mata.
Memang tidak mudah untuk melihat gejala tersebut, apalagi tidak intens berada di dekatnya. Namun setidaknya kita bisa melatih kepekaan terhadap tanda-tanda yang tersirat.
Orang dengan kecenderungan bunuh diri sungguh-sungguh ingin mati
Fakta: Into The Light menggunakan teori dari seorang Psikolog Sosial asal Amerika, Roy F Baumeister, berjudul Suicide as Escape from Self tahun 1990. Bahwa bunuh diri adalah cara seseorang untuk lari dari rasa sakit yang berlebihan. Sehingga kematian dilihat sebagai satu-satunya solusi. Itu artinya, orang yang ingin bunuh diri sesungguhnya ingin tetap hidup apabila menemukan cara untuk mengurangi atau menghentikan rasa sakit itu.
Jadi dukungan emosional seperti berempati dengan mendengarkan keluh kesahnya, sangat dibutuhkan oleh mereka. Berdasarkan cerita para penyintas bunuh diri, mereka bersyukur menemukan orang atau hal yang membuatnya menemukan alasan untuk tetap hidup.
Orang yang hendak bunuh diri hanya ingin mencari perhatian
Fakta: Mencari perhatian adalah persepsi yang salah. Ketika seseorang mengalami rasa sakit yang terlampau besar, ia akan kehilangan kemampuan untuk mengatur emosi negatif. Ia akan menunjukkan perilaku “ingin bunuh diri” dalam berbagai bentuk. Sehingga cara yang terlihat di publik dianggap sebagai aksi cari perhatian oleh orang yang tidak paham.
Banyak penyintas yang mengalami kecemasan, putus asa, depresi, dan merasa tidak memiliki solusi apa pun. Sehingga mereka membutuhkan pertolongan sesegera mungkin.
Orang yang bunuh diri karena kerasukan makhluk gaib
Fakta: Perilaku bunuh diri bukan disebabkan oleh hal-hal mistis. Membawa mereka ke dukun juga tidak akan menyembuhkannya dari gangguan mental. Hanya faktor psikologis, biologis, dan sosial saja yang dapat memengaruhi seseorang untuk mencoba bunuh diri.
Seseorang bunuh diri disebabkan oleh putus cinta, faktor ekonomi, dan lainnya
Fakta: penyebab seseorang mencoba bunuh diri tidaklah sesederhana itu. Bunuh diri disebabkan karena seseorang terpapar oleh faktor psikologis, biologis, dan sosial yang saling berkaitan.
Contohnya orang yang lagi patah hati, punya masalah ekonomi, atau lainnya. Reaksi setiap orang untuk menanggapi hal itu tentu saja berbeda-beda. Ada yang trauma, ada juga yang berubah (Move on, istilahnya). Hal itu disebabkan oleh begitu banyaknya pengalaman dan faktor lain yang saling memengaruhi satu sama lain. Namun ketika seseorang merasa mengalami terlalu banyak peristiwa negatif, maka dapat memicu (Trigger) dia untuk mencoba bunuh diri.
Makanya, Into The Light menyarankan agar kita perlu berhati-hati untuk tidak berasumsi dan terlalu cepat menyimpulkan mengenai penyebab seseorang bunuh diri. Sebab banyak faktor lain yang tidak kita ketahui. Terlebih dia tidak menceritakan beban yang sedang dihadapinya kepada kita.
Menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan membuatnya semakin ingin bunuh diri
Fakta: Menanyakan hal itu tidak akan memicu seseorang untuk semakin ingin bunuh diri. Justru, bertanya akan memberikan ruang bagi mereka untuk menceritakan masalahnya. Berikan dia ruang agar bisa bercerita tanpa takut merasa dihakimi. Sehingga kita bisa menindaklanjutinya dengan mengajak ke psikolog atau psikiater jika diperlukan, dan menjauhkan akses dari bahaya.
Orang beragama tidak mungkin akan bunuh diri
Fakta: Agama termasuk faktor pencegah bunuh diri. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat memotivasi seseorang untuk bertahan hidup dan memiliki harapan. Berdoa dan aktif dalam kegiatan rohani juga dapat menjaga kesehatan mental. Termasuk juga komunitas keagamaan dapat memberikan dukungan kepada orang tersebut.
Namun faktor pencegah tersebut mungkin tidak dapat lagi membantu seseorang ketika tingkat tekanannya sudah terlalu tinggi. Sehingga orang tersebut akan menolak makna-makna kehidupan yang diajarkan oleh agama atau sumber lainnya (Cognitive deconstruction).
Mitos ini juga dipatahkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh tokoh agama di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 16 Desember 2021 lalu. Ia melakukan sembahyang sebelum memutuskan bunuh diri.
Into The Light kembali menyarankan, agar kita mendukung mereka tanpa mengatakan “Kurang iman atau ibadah” atau masalah spiritual lainnya.
Laki-laki biasanya tidak emosional, jadi jarang melakukan bunuh diri
Fakta: World Health Organization pernah menerbitkan buku berjudul Preventing Suicide: A Global Imperative yang terbit tahun 2014. Buku itu mencatat, jumlah laki-laki yang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Sedangkan hasil riset dari Mohsen Naghavi, seorang profesor yang bergabung dalam Global Burden of Disease Self-Harm Collaborators, berjudul Global, regional, and national burden of suicide mortality 1990 to 2016: systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016, mengungkapkan jumlah laki-laki di Indonesia yang meninggal karena bunuh diri diperkirakan tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pandangan bahwa laki-laki tahan banting, kuat, tidak boleh menangis, dan lainnya seringkali membuatnya lebih sulit untuk memperoleh bantuan, atau takut untuk mencari bantuan ketika mengalami masalah serius.
Orang yang bahagia tidak berisiko untuk bunuh diri
Fakta: Bunuh diri bisa dialami oleh siapa saja. Bahkan mereka yang selama ini terlihat bahagia, pintar, atau sukses.