Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jeruk dan pisang lokal dari petani di Kabupaten Bangli. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Makananmu adalah obatmu, istilah ini mencuat kembali setelah riset functional food atau makanan fungsional mulai dikembangkan. Jurnal ilmiah bertajuk Functional Food Science and Gastrointestinal Physiology and Function yang diterbitkan Penerbit Universitas Cambridge merekomendasikan beberapa hal. Satu di antaranya peran makanan fungsional terhadap kondisi kesehatan tubuh dan psikis.

Ternyata, jauh sebelum riset makanan fungsional, para leluhur setiap daerah di Indonesia telah memiliki tuntunan kedaulatan pangan. Misalnya di Bali, konsep dan fungsi makanan tradisional telah terarsipkan dalam Lontar Dharma Caruban. Praktisi Permakultur, Sayu Komang, mengatakan lontar ini tidak hanya menuliskan makanan untuk kebutuhan tubuh. Namun lebih dari itu, juga memuat fungsi makanan sebagai kesehatan tubuh.

“Kebutuhan tubuh sesuai dengan kesehatan itu termasuk bagaimana koneksi spiritual, makanan tradisional di Bali cukup unik. Jadi tidak hanya bicara kesehatan, tapi terkait dengan spiritual,” ujar Sayu Komang saat dihubungi IDN Times, pada Senin (24/2/2025).

Perempuan yang menginisiasi Komunitas Bibit Pusaka Bali ini juga berkomentar perkembangan makanan tradisional Bali.

1. Inovasi mengaburkan fungsi sejati

Ilustrasi tanaman herbal dan liar. (IDN Times/Yuko Utami)

Sayu mengungkapkan, banyak inovasi makanan lokal yang berdampak pada fungsi awal makanan.

“Banyak makanan lokal dengan inovasi sehingga secara fungsi tidak tepat lagi seperti dikombinasikan dengan keju dan tambahan lain,” kata dia. 

Menurutnya, bukan tanpa sebab bahan makanan yang digunakan, misalnya bawang mentah maupun jahe mentah. Kedua rempah itu bermanfaat untuk kesehatan tubuh manusia. Ia juga mencontohkan, pengolahan daging menurut Lontar Dharma Caruban menggunakan base genep (bumbu rempah lengkap khas Bali). Kekhawatiran Sayu, jika basa genep dikreasikan, maka akan menimbulkan peningkatan risiko lemak dan kolesterol.

Fenomena lain yang disoroti perempuan dengan nama lengkap Gusti Ayu Sri Komang Mahayuni ini adalah pergeseran bahan baku masakan. Semula, tanaman liar yang dapat dikonsumsi atau wild edible, diganti dengan sayuran modern. Sayu menambahkan, “...padahal jenis sayuran itu sebagai kondimen penting atau komponen penting dalam masakan tersebut.”

Meramban wild edible sebagai bahan baku makanan mulai ditinggalkan karena beberapa hal. Menurut Sayu, penyesuaian selera dengan makanan luar mengaburkan tradisi khas pemenuhan bahan baku makanan lokal.

“Pasar luar dan lahan atau teba sudah habis jadi homestay. Tanaman liar tidak ada. Jadi, hilangnya tanaman berpengaruh terhadap inovasi pangan lokal,” ujarnya.

2. Pangan sehat dan adil, dimulai dari bibit lokal

Editorial Team

Tonton lebih seru di