Denpasar, IDN Times - Sekar (bukan nama sebenarnya) begitu serius menatap layar laptopnya. Sesekali jemari Sekar mengetik hasil rekaman suara yang keluar dari pengeras suara gawainya. Sarjana Ilmu Komunikasi universitas negeri di Bali ini sudah 1,5 tahun berstatus magang di suatu perusahaan media. Sekar magang sejak berkuliah di semester 7.
“Aku gak expect (menyangka) magang sepanjang ini, Karena di bayanganku setelah kuliah, aku selesai magang dan bisa kerja full time (penuh waktu),” kata Sekar.
Awalnya, Sekar bercita-cita sebagai kru stasiun televisi (TV). Impian sejak masa sekolah menengah atas (SMA) itu semakin kuat, ketika Sekar mendapatkan saran bimbingan karier dari sebuah lembaga belajar. Mencapai angannya sebagai kru TV, Sekar akhirnya kuliah jurusan Ilmu Komunikasi. Ia sempat berpikir kuliah di luar Bali, tapi biaya dan ongkos hidup tak memadai.
Selama empat tahun berkuliah, Sekar menghabiskan dua tahun awal perkuliahan dengan kelas daring akibat pandemik COVID-19. Setelahnya, Sekar menjalani beberapa mata kuliah dan proses magang. Sebelumnya, Sekar sempat magang di stasiun radio lokal di Bali. Sekar mengaku, empat tahun berkuliah dirinya tak mendapatkan materi mumpuni dalam dunia pertelevisian.
“Harapan itu pupus karena aku ternyata gak dapat itu (materi dan praktik pertelevisian), meskipun aku dapat mata kuliah program media digital, itu gak dapat praktik sama sekali karena kita cuman bikin media aja,” ujar Sekar.
Selama praktik membuat media itu, Sekar berkata tidak mendapatkan kemampuan teknis dalam mengelola media maupun suatu program. Kemampuan teknis yang Ia maksud seperti cara mendapatkan pembaca, hingga meningkatkan interaksi. Sekar beralih menekuni bidang jurnalistik, sebab bidang itu telah Ia latih sejak mengikuti organisasi pers mahasiswa.
Menurutnya, organisasi pers mahasiswa dan tempat magang membantu Sekar memahami teknik jurnalistik untuk dunia kerja. Meskipun telah siap menghadapi dunia kerja, pintu lapangan kerja sebagai jurnalis tetap belum terbuka untuk Sekar. Sekar lulus kuliah 2024 lalu, dan telah melamar ke empat perusahaan media dengan penempatan di luar Bali. Namun, hingga saat ini belum ada panggilan.
Mencari peluang di luar dunia jurnalistik, justru terjebak di lingkungan kerja toksik
Selama belum dapat panggilan pekerjaan, Sekar tetap melanjutkan aktivitasnya sebagai penulis magang. Selama mencari lowongan pekerjaan sebagai jurnalis, Sekar kesulitan menemukan lowongan jurnalis dengan penempatan di Bali.
“Lowongan pekerjaan jurnalis di Bali itu agak susah ya, aku merasa lowongannya kayak mulut ke mulut gitu. Aku yang baru lulus ini susah dapat lowongan terbuka untuk jurnalis di Bali,” kata dia.
Kesulitan mencari pekerjaan sesuai minat dan linier dengan jurusannya, Sekar mencoba peluang selain dunia jurnalistik. Ada tiga pekerjaan yang dia coba selain bidang jurnalistik, yaitu penulis naskah drama, petugas layanan konsumen, dan penulis naskah di agensi kreatif. Ia melihat semua lowongan itu dari aplikasi penyedia kerja. Dari ketiga lowongan, ada dua yang berhasil lolos. Yaitu sebagai petugas layanan konsumen, dan penulis naskah di agensi kreatif.
Sekar menjadi petugas layanan konsumen atau customer service officer di tempat les musik kawasan Kota Denpasar. Selama seminggu, Sekar hanya dapat libur sehari dengan gaji pada masa percobaan sebesar Rp2 juta. Jika berhasil melewati masa probasi, Sekar mendapat gaji sekitar Rp3 juta. Angka ini di bawah upah minimum kota (UMK) Denpasar. Tahun 2025, Denpasar menetapkan UMK sebesar Rp3.298.116.
Sementara, hak pekerja seperti asuransi kesehatan dan tunjangan hari raya (THR) akan Sekar dapatkan setelah setahun bekerja. Sekar harus tiba di kantor pukul 07.40 Wita, dan tidak boleh melewatkan daftar hadir menggunakan sidik jari. Jika melewati pukul 07.50 Wita, Sekar harus membayar denda keterlambatan sebesar Rp20 ribu. Selama masa probasi, Sekar kerap lembur dan baru pulang ke rumah sekitar pukul 21.00 Wita, dengan uang lembur Rp10 ribu per jam. Sedangkan jam normal pulang kerja di kantor tersebut pukul 18.00 Wita.
Keterampilan kerja sebagai petugas layanan konsumen yang belum Ia miliki sepenuhnya, membuat Sekar kerap bertanya kepada rekan kerjanya yang sudah lebih dulu bekerja. Namun, bukannya menjadi mentor, rekan kerja Sekar kerap memarahinya.
“Duh, masak gini aja kamu gak bisa sih!” ujar Sekar meniru atasannya.
Kala itu atasan Sekar membentaknya di meja kerja petugas layanan konsumen saat murid yang kursus musik sedang lalu lalang. Hampir setiap hari Sekar menerima amarah atasannya. Ia bahkan pernah tidak libur dalam seminggu dan harus bekerja, alasannya karena hari itu tetap jadi jadwal masuk Sekar.
Tantangan lainnya, Sekar akan dipotong gaji jika tidak mampu mencari tanggal pengganti yang cocok bagi siswa les musik. Ia mencontohkan, jika petugas layanan konsumen salah menentukan jadwal, lalu siswa telah hadir di lokasi namun instruktur musik tidak hadir, maka petugas layanan konsumen tersebut akan dipotong gaji. Potongan gaji itu sebagai komplimen bagi instruktur musik untuk hak pertukaran jadwal.
Sepulang bekerja sebagai petugas layanan konsumen, Sekar melanjutkan kerja magangnya sebagai penulis. Ia menulis beberapa topik tulisan dengan upah yang bervariasi. Satu berita liputan seharga Rp50 ribu sampai Rp100 ribu, sedangkan satu tulisan ulasan maupun ringan seharga Rp10 ribu. Perempuan asal Kabupaten Badung ini berkata, sebagai penulis magang dapat meraup pendapatan sekitar Rp1,8 juta sampai Rp2 juta dalam sebulan.
Kurang dari sebulan, hari ke-23 bekerja sebagai petugas layanan konsumen, Sekar memutuskan berhenti. Atasan yang kerap marah tanpa alasan, beban kerja yang tak sebanding dengan penghasilan, dan tak sesuai minatnya jadi alasannya keluar. Gaji masa probasi sebesar Rp2 juta tak didapatkan Sekar. Ia hanya membawa pulang upah Rp700 ribu.
“Habis itu seminggu setelahnya aku masih full (penuh) kerja. Itu aku gak digaji, alasannya karena aku keluar sebelum 27 hari,” kata Sekar lesu.
Menurut Sekar, memutuskan keluar dari iklim kerja toksik adalah pilihan yang tepat. Meskipun setelah keluar, Sekar menyesali keputusannya tak menagih sisa gajinya. Peruntungan lain yang Sekar coba adalah menjadi penulis di agensi kreatif. Hari pertama kerja, atasannya memarahi Sekar karena membalas pesan di grup yang salah. Atasannya langsung mengirim pesan suara mencemooh Sekar.
“Kamu bisa baca gak sih, unpolite (tidak sopan) sekali kamu!” tiru Sekar terhadap cemoohan atasannya.
Batin Sekar kian nelangsa ketika menuju pantri di kantor agensi kreatif itu. Tak ada meja dan kursi, para pegawai duduk lesehan menyantap bekal makan siang. Ketika Sekar menyapa pegawai lainnya di pantri, tak ada yang menyapa balik. Sekar berkata, mereka tetap menyantap makan siang sambil sibuk dengan gawai masing-masing. Tak ada obrolan, tak ada tawa, tak ada yang menggubris sapaan Sekar. Jeli membaca kontrak kerja, Sekar ingat jika tak keluar dalam tiga hari, maka Sekar harus menerima segala kebijakan kantor. Kesan pertama tak menyenangkan itu, akhirnya Sekar hanya bertahan selama dua hari saja.
Pilihan Sekar berhenti sebagai petugas layanan konsumen hingga penulis di agensi kreatif karena rekan kerja dan atasan yang tidak suportif adalah cerminan dari generasi Z dan millennial di Indonesia. Berdasarkan Laporan Indonesia Milenial Gen Z Report Tahun 2025 dari IDN Research Institute, 54 persen gen Z dan millennial memilih rekan kerja suportif sebagai faktor kunci lingkungan kerja yang nyaman. Sementara, tertinggi sebanyak 58 persen memilih kesempatan untuk berkembang di tempat kerja.
Sekar dan potret pekerja informal di Bali, terpaksa ambil kerja palugada
Ada sederet alasan Sekar tetap bertahan sebagai penulis magang. Pertama, Sekar menyukai bidang jurnalistik dan melihat peluang dirinya akan diangkat sebagai kontributor hingga jurnalis tetap. Kedua, sebagai penulis magang Sekar dapat menghemat biaya hidup. Ia tak harus liputan setiap hari. Sehingga tak ada uang bensin yang keluar.
Ketiga, atasan tempatnya magang bagi Sekar sangat apresiatif dan memahami haknya. Sebelum mengerjakan liputan mendalam, pihak perusahaan akan membekalinya uang saku sebesar Rp500 ribu. Uang saku itu sebagai dana transportasi saat Sekar menuju ke beberapa lokasi liputan. Apresiasi yang diberikan berupa pujian atas hasil tulisannya dari atasan. Misalnya, “Beritamu bagus, pertahankan ya.”
“Aku gak bisa ngelepas sistem kerja yang nyaman, apalagi orang-orangnya. Ketemu mereka aku ngerasa mau nangis sih karena mereka sebaik itu,” ujar Sekar haru.
Baginya, media tempatnya magang sesuai dengan prinsip perjuangan pers. Atasannya memerhatikan juga aspek psikososial dasar, seperti menanyakan kabar Sekar setelah penugasan liputan.
Berstatus magang terkadang membuat Sekar galau. Belakangan ini Ia sempat bertanya kepada atasannya, kemungkinan terbuka menjadi jurnalis tetap. Atasannya menjelaskan, in this economy era pihaknya tak ingin ada pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pegawai yang telah bekerja sebelumnya. Sehingga pekerja berstatus magang seperti Sekar harus ekstra sabar menanti lowongan jurnalis tetap untuknya. Sekar berharap, setidaknya ada lowongan kontributor yang terbuka ke depannya.
“Sekecil apa pun kesempatannya, aku berusaha aja dulu sebaik-baiknya di sini gitu. Pun aku juga masih sambil nyari-nyari yang lain kan,” tuturnya menaruh asa.
Status kerjanya sebagai penulis magang dengan penghasilan Rp2 juta per bulan, tidak mencukupi kebutuhan hidup Sekar. Apalagi anak kedua dari dua bersaudara ini juga mengirimkan sebagian gajinya demi menyokong kebutuhan di rumah. Sekar menambah penghasilan jadi joki skripsi sejak bulan lalu. Pendapatan pertamanya sebagai joki skripsi sebesar Rp500 ribu. Ia hanya bersedia mengolah data pada skripsi dengan metode kualitatif. Sekar tak sembarang ambil kerja. Sebagai joki skripsi, Ia cukup pemilih.
Sekar mengaku tidak menerima pembuatan skripsi secara menyeluruh, Ia hanya menerima dari olah data hingga kesimpulan. Sebelum menerima tawaran, Sekar akan membaca panduan penyusunan skripsi calon kliennya dan proposal skripsinya. Jika merasa mampu mengerjakan, Sekar akan menerima tawaran kliennya.
Kehidupan setelah lulus Sekar tak seindah unggahan pemengaruh karier di media sosial. Pemengaruh karier menunjukkan betapa nyaman bangku kerja kantoran dengan berbagai fasilitas penunjang. Tapi Sekar dan sebagian besar warga Bali tak demikian. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2024 ada 50,68 persen warga Bali berkutat sebagai pekerja informal dengan rata-rata pendapatan sebulan Rp2,42 juta.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mendefinisikan pekerjaan yang layak mencakup berbagai elemen keadilan sosial dan martabat manusia. Meliputi pekerjaan produktif, kompensasi yang adil, jaminan sosial, dan hak-hak pekerja. Sementara, Bank Dunia merumuskan indikator pekerja informal adalah mereka yang sering kali tidak memiliki akses ke jaminan sosial, tunjangan pekerjaan, atau perlindungan hukum saat bekerja di lingkungan yang berbahaya.
Analisis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali berdasarkan Sakernas Agustus 2024, penduduk bekerja di Bali cenderung berpendidikan lebih rendah, bekerja di sektor informal, dengan pendapatan yang lebih rendah. Hasil analisis tersebut berdasarkan perbandingan dengan lima provinsi yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi, seperti Jakarta, Yogyakarta, Riau, Kalimantan Timur, dan Bali.
Sementara, jumlah pekerja formal di Bali ada 49,32 persen dengan rata-rata pendapatan per bulan sebesar Rp3,4 juta. Persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di Bali didominasi pendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah yaitu 31,22 persen. Urutan kedua ada lulusan SMA dengan 22,66 persen, ketiga lulusan perguruan tinggi dengan 17,79 persen. Lulusan SMK menyerap sedikit tenaga kerja, hanya ada 14,82 persen yang bekerja dan terakhir lulusan SMP sebanyak 13,51 persen.
IDN Times mencoba konfirmasi keadaan pekerja informal di Bali kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali. Ketua Bappeda Bali, I Wayan Wiasthana Ika Putra, mengatakan pekerja informal lebih banyak di Bali adalah tantangan bagi pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Menurutnya, lulusan perguruan tinggi selama ini fokus di tataran akademik. Sehingga tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan dunia kerja. Satu solusi bagi Ika Putra yakni meningkatkan pendidikan vokasi di Bali.
“Ya, mereka (lulusan perguruan tinggi) tidak punya keahlian, sehingga ke informal. Nah, inilah yang nanti akan kita sasar, sudah kita petakan. Jadi, salah satunya dengan pendidikan vokasi itu,” kata Ika Putra kepada IDN Times di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali pada Selasa, 15 Juli 2025.
Ia menyebutkan, rencana Pemprov Bali dengan satu keluarga satu sarjana tidak hanya menyasar pendidikan perguruan tinggi sarjana. Tetapi juga mengarah ke pendidikan diploma yang berfokus pada keterampilan tenaga kerja. Selain keterampilan tenaga kerja, ada persoalan lainnya dalam ranah ketenagakerjaan di Bali, yaitu sebaran lapangan kerja hingga optimasi kurikulum di ranah perguruan tinggi. Dari cerita Sekar sudah cukup memperlihatkan, bahwa lowongan kerja sebagai jurnalis tidak mudah ditemukan di Bali. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali tahun 2024, ada 3.437 lapangan kerja terdaftar dengan 4.974 pencari kerja terdaftar. Artinya, ada 1.537 pencari kerja terdaftar yang tidak terserap lapangan kerja di Bali.
Sekar berharap kampus berbenah terhadap kurikulum agar lebih aplikatif, dan pemerintah segera memperbaiki kondisi ketenagakerjaan yang setara dan adil.
“Jangan sampai mau dapat kerja tetap di swasta, tapi tertindas, pengawasannya itu nggak ada,” kata Sekar
Mengakhiri pembicaraan dengan Sekar, terngiang janji 19 juta lowongan pekerjaan. Janji yang menguap di tengah gelombang PHK yang menguat, sampai kapan?