Lika-Liku Laki-Laki dan Maskulinitas Toksik
![Lika-Liku Laki-Laki dan Maskulinitas Toksik [Recovered]-03.jpg](https://image.idntimes.com/post/20250624/upload_5238afd86ff91ee2b78bac9509c69703_a8a3f9eb-1bf1-4d0f-8a01-aeb7ae1e2b76.jpg)
Cerita ini sangat personal. Laki-laki berani cerita di sini, karena mereka tak sepenuhnya punya ruang aman untuk bercerita. Yuk, menormalisasi manusia untuk bercerita tanpa memandang gender, usia, latar pekerjaan, dan status perkawinan - IDN Times Bali -
Denpasar, IDN Times - Laki-laki tidak bercerita. Begitu tren media sosial yang belakangan ini naik daun. Jauh sebelum tren itu ada, Ketut Suar telah mengawali kisah laki-laki tak bercerita di Pulau Dewata. Pascapandemik COVID-19, kehidupan laki-laki berusia 51 tahun ini penuh rintangan. Meskipun tak melalui badai pemutusan hubungan kerja (PHK), Suar sebagai pemandu wisata yang sepi job harus putar otak untuk tetap melanjutkan hidup.
Kini, Suar menjalani tiga pekerjaan sekaligus. Pertama, menanti panggilan memandu turis Jepang dari kantornya. Kedua, menanti panggilan memandu turis Vietnam dari agen travel temannya. Ketiga, menjadi buruh pembersih badan jalan harian. Suar tak punya banyak kesempatan untuk bercerita tentang pergumulan hidupnya. Ketika denyut sepi berteman kalut, Ia mengaku cenderung memendam sendirian kemelut dalam hidupnya.
“Cenderung memendam sendiri karena masalah itu ada yang bisa dikatakan (diceritakan), ada yang tidak bisa dikatakan apalagi di depan orang lain dan menjaga etika juga,” ujar Suar kepada IDN Times pada Minggu, 22 Juni 2025.
Ada kalanya Suar berbagi cerita dengan sang istri. Karena bagi Suar, istrinya selalu ada dalam suka dan duka. Sebagai pemandu wisata, jam pulang kerjanya tidak menentu. Akibatnya, Suar jarang bercerita kepada ketiga anaknya. Pada saat ketiga anaknya dalam masa sekolah, Suar jarang bercerita dan menanyakan langsung bagaimana perkembangan buah hatinya. Ia hanya bertanya kepada sang istri. Pola ini berlanjut hingga ketiga anaknya berusia remaja.
Hanya bertumpu pada istri sebagai teman cerita, sempat menciptakan jarak psikososial antara Suar dengan ketiga anaknya. Suar bercerita, saat bertengkar hebat dengan anaknya, ada kalimat yang Suar ucapkan.
“Maafin Bapak, ini pengalaman Bapak pertama jadi orangtua. Tidak ada yang kasih tahu Bapak harus ngapain,” kata dia.
Ketika dia mencoba berbenah turut serta mengerjakan kerja-kerja domestik, terkadang Suar menerima omelan dari sang istri. Suatu ketika, saat Suar bercerita pengalaman melelahkan karena kesulitan memahami gaya bertutur tamu Jepang berusia lanjut, sang istri merespon tak sesuai harapannya. Suar hanya meminta didengarkan, tapi Ia justru menerima berbagai saran dari sang istri.
“‘Begini cara kerja yang bagus dengan bahasa yang benar.’ Terus saya jawab ‘Ya, saya akan berusaha belajar lebih giat dan lebih baik lagi,’” kata Suar menirukan percakapan istri dan dirinya.
Jika Suar merasa tersudut oleh pasangan, anak, maupun pergaulan, Ia cenderung memetakan skala prioritas masalah. Menurutnya, penting untuk memahami penyebab dia disudutkan.
“Jelaskan dulu permasalahan itu. Jika tidak digubris, lebih baik diambil keputusan yang menguntungkan jalan keluarnya, biar sama-sama baik,” kata laki-laki asal Kabupaten Karangasem ini.
Sedangkan Ari Budiadnyana (46) berbagi pendapatnya soal fenomena konten laki-laki tak bercerita. Menurutnya, konten itu mengisyaratkan berbagai hal. Pertama, bentuk ekspresi diri laki-laki. Kedua, bentuk menyampaikan kejutan tak terduga dari kebiasaan laki-laki. Ketiga, laki-laki bisa jadi kebingungan menyampaikan ceritanya.
Sebelum menikahi istrinya, Ari tak mampu menyampaikan keluh kesah secara terus terang. Ia memendam cerita sendirian, tapi kerap merasa gelisah saat tidur di malam hari. Kala itu, situasi semakin tidak memihak Ari, karena orangtuanya tidak dapat merespon keresahannya dengan bijak.
“Maunya didengarkan saja, jangan dinasihati atau judge balik. Kalau cerita sama orangtua itu di-judge. Misalnya, gara-gara kamu makanya dengarkan (orangtua),” kata pekerja freelancer di Kota Denpasar ini.
Ketika keluarga tidak dapat menjadi tempat untuk mengeluh dan mengaduh, Ari mencoba berbagi cerita kepada teman-teman dekatnya. Namun, berkeluh kesah kepada teman tak pernah dilakukannya lagi. Ada pengalaman tak menyenangkan saat Ari bercerita ke seorang teman. Cerita yang menjadi privasinya justru tersebar luas ke teman lainnya.
“Dulu pernah cerita ke teman cowok, saat itu ribut dengan seseorang. Saya cerita ke satu teman, justru dibagikan ke teman lain dan menyebar secara tidak langsung,” tutur Ari.
Kala itu, temannya bergerombol menyambangi Ari, menanyakan kabarnya, ingin tahu kronologi lengkapnya. Ari sempat berpikir, mungkin itu maksud baik karena temannya merasa cemas. Namun, lambat laun Ari menyadari ketika bercerita kepada satu orang, tak semestinya disebarkan lagi tanpa persetujuannya. Teman Ari hanya ingin tahu masalahnya, tak sungguh-sungguh ingin mendengarkan.
“Kalau teman baik, tidak selamanya bisa jadi teman baik.“
Setelah menikah, Ari tidak seketika mampu terbuka atas masalahnya. Butuh waktu hingga anak-anaknya berusia sekolah. Ari mampu bercerita apa adanya kepada istri dan keluarga kecilnya. Saling berbagi cerita dengan sang istri membuat tidur Ari lebih nyenyak. Ayah dua anak ini jarang merasa gelisah. Ia belum pernah ke psikolog. Baginya, bercerita kepada sang istri adalah pilihan terbaik. Namun, di sisi lain Ari menyarankan lebih baik ke psikolog untuk meluapkan isi hati jika tak ada seseorang yang mampu dipercaya untuk berbagi.
Menurut Ari, penting mencari pasangan hidup yang mampu saling mendengarkan dan bergurau. Ari bercerita, sehari-hari dia dan istrinya tanpa ragu berbagi keluh kesah. Terkadang mereka saling melontarkan candaan agar urusan memusingkan bisa jadi tawa sejenak. Kini, Ari dan istri berusaha menerapkan iklim yang lebih humanis dalam keluarga kecilnya. Sebab, orangtua punya peran sebagai pendengar terbaik atas segala keluh kesah sang anak. Anak berhak pulang dalam pelukan orangtuanya tanpa telinga dan hati merasa terhakimi.
“Saya mulai belajar ke anak supaya gak judge (menghakimi) dulu,” ujar Ari.
Cerita Suar maupun Ari memotret bagaimana mereka tidak ada yang mengajarinya untuk menyelesaikan setiap permasalahan, dan menjadi orangtua. Itu akan selalu menjadi pengalaman baru dan asing. Meskipun sepanjang hidupnya harus belajar, mereka mendapat ruang aman dari istrinya. Begitu pula laki-laki di daerah lainnya. Regional IDN Times memotret 18 cerita personal laki-laki secara random usia, latar pekerjaan, dan status perkawinan dari berbagai daerah. Semua mendapatkan porsi pertanyaan terbuka yang sama.
Dari pertanyaan “Kalau kamu punya masalah, biasanya cerita ke siapa? (teman/ibu/ayah/kakak/adik/nenek/kakek/keluarga lain/pacar//istri/psikolog)”, mereka paling banyak menjawab istri sebagai tempat untuk bercerita. Berikutnya teman, ibu, saudara, dan pacar. Apa alasan mereka bercerita pada istri?
Seorang pengajar di Bandar Lampung, AS (32), menilai istrinya rasional dan suportif. Ia pernah mengalami fase berat, terutama saat kehilangan istri pertama hingga berpikir untuk mengakhiri hidup. Ia sangat selektif untuk bercerita. Pengalaman masa lalunya tidak mengenakkan. AS menerima judgemental, dibilang drama dan “Masalah lo bukan yang paling berat,” di saat dirinya hanya pengin didengerin. Tapi AS kini lebih terbuka pada istrinya yang sekarang. Ditambah kehadiran keluarga sebagai support system dalam proses pemulihannya.
“Sekarang apa-apa aku cerita ke dia (Istri). Dikasih solusi iya, diapresiasi juga iya. Misal aku bantu beberes rumah, dia seneng banget. Itu bikin aku ngerasa dihargai," kata AS kepada IDN Times pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Nofri Affandi (27) adalah tipe laki-laki yang menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain. Ia jauh lebih nyaman ketika orang lain tidak tahu dirinya sedang ada masalah. Namun, jika telanjur pelik dan butuh saran, ibu adalah pilihan yang tepat untuk bercerita. Menurutnya, teman dan saudara hanya bisa memberikan jawaban yang simpatik meskipun ia tetap mendapatkan kelegaan saat bercerita. Kelegaan itu muncul karena ia mendapat validasi pandangan atas masalah yang dihadapinya. Sedangkan cara ibu merespon lebih dari itu, karena melibatkan empati.
"Menurut aku, ibu itu orang yang paling tulus. Jadi kalau kasih saran itu tulus dari hati. Bagaimana orangtua ke anak,” kata Nofri.
Namun, tak semua laki-laki terpenuhi kebutuhan psikososialnya. Minimal punya ruang aman di lingkungan keluarga dan sosial untuk bercerita. Mereka lebih banyak memendam sendiri. Sales rokok asal Kabupaten Malang, Aditya (30), merasa hidup ini sudah berat. Jadi dia berusaha menghindar agar tidak terlibat banyak masalah. Keputusan itu malah membawa konsekuensi pada hidupnya yang sunyi. Ia tidak punya tempat bercerita, dan belum menikah karena merasa ekonominya belum stabil.
Adit–sapaannya–tumbuh dari keluarga yang kaku. Kedua orangtuanya seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS), dan tidak terbiasa memperlihatkan perasaan pada anak-anaknya. Ia juga jarang mendapat apresiasi dari orangtua. Semasa kecil, ia bercita-cita menjadi tentara. Saat SMA, ia mulai bermimpi menjadi musisi. Hingga kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) Kota Malang, ia berharap lolos calon pegawai negeri sipil (CPNS). Namun, impian itu tak pernah tercapai. Ia semakin merasa dipenuhi kegagalan.
Kondisi itu mengubah cara pandang Adit setelah dewasa. Ia memilih merahasiakan semua masalahnya dari orangtua. Karena menurutnya, bercerita ke mereka tidak memberikan manfaat apa pun, malah membuat orangtua jadi khawatir saja. Adit berasumsi, mungkin ini juga yang membuat hubungan dia dengan ayah dan ibunya terasa hambar.
Dalam lingkungan sosial, ia juga jarang menceritakan masalahnya ke teman tongkrongan. Ia tidak mendapatkan kelegaan, dan masalahnya tidak otomatis langsung selesai. Hanya mengurangi sedikit beban saja, katanya. Lagipula, lanjutnya, ia tidak mengharap orang lain mau membantu masalahnya. Karena dia berpikir setiap orang punya masalah sendiri.
Meski begitu, Adit sangat bersyukur atas kondisi orangtuanya yang berkecukupan. Sebab ia tidak menjadi beban maskulinitas toksik, yaitu tulang punggung keluarga seperti teman-temannya. Orangtua juga tidak memaksakan karier Adit harus seperti apa. Misalnya, ketika rekrutmen CPNS kemarin. Ia bercerita dirinya gagal lolos tes, dan orangtua diam saja.
"Saya gak tahu di belakang seperti apa ya. Karena lebih sering orangtua tidak ikut campur dengan keputusan saya sekarang. Mungkin kalau saya tiba-tiba memutuskan resign di suatu pekerjaan, ibu itu yang sering mempertanyakan dan menekankan untuk bertahan. Tapi pada akhirnya saya tetap memutuskan resign karena lingkungan perusahaan toxic," katanya.
Selain Adit, mekanisme koping laki-laki lain untuk menyelesaikan masalah adalah diam, meminta waktu untuk berpikir, dan mendiagnosis diri sendiri. Rizky (30) punya alasan, mengapa memilih diam. Pegawai swasta yang tinggal di Kabupaten Badung ini ada pengalaman traumatis saat berkeluh kesah. Ia kerap menerima kata-kata ataupun respon yang tidak sesuai harapan. Makanya sekarang lebih suka memendam sendiri, dan melampiaskannya lewat ibadah. Bahkan untuk urusan pengambilan keputusan, ayah dua anak ini tidak mendapat dukungan. Ada saja halangannya. Tetapi ia juga memahami itu bagian dari dinamika, dan tetap yakin bisa melaluinya.
“‘Ya sudah terserah kamu aja. Gak usah bawel deh.' Aku lupa, soalnya gak mau mengingat lagi. Maunya sih ada kata-kata 'Mau aku buatkan minuman?', 'Mau aku pijitinkah?', 'Sini nak, ada makanan kesukaanmu.' Semacam itulah."
Semenjak itu, ia memutuskan tidak banyak berbagi cerita meskipun kepada keluarga dan pasangan. Baginya, terkadang bercerita hanya memperpanjang cerita tanpa mendapatkan solusi. Ia berusaha melakukan yang terbaik di depan keluarga, walaupun sedang tidak baik-baik saja.
Kultur pola asuh zaman dulu memengaruhi laku laki-laki setelah dewasa
Psikolog Klinis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah, Lyly Puspa Palupi Sutaryo MSi Psikolog, mengaitkan fenomena laki-laki tidak bercerita ini dari sisi kultural atau sosiologi budaya di Indonesia. Dalam pola asuh zaman dulu, masyarakat tidak terbiasa untuk bercerita di dalam keluarga, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau dalam posisi sebagai anak, pola asuh terdahulu ini kurang mengenal yang namanya bercerita, mengekspresikan keinginan atau perasaan kepada orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua. Jadi, anak kerap diposisikan untuk mendengar, menerima, dan menuruti apa yang dikatakan oleh orang-orang tua.
Laki-laki tidak terbiasa diberikan kesempatan untuk menceritakan keluh kesah, dan masalah yang dihadapinya. Mereka dituntut langsung bisa menghadapinya secara mandiri. Ini juga dipengaruhi oleh harapan dan tuntutan dari cara sosial di masyarakat tentang posisi laki-laki. Misalnya sebagai tulang punggung keluarga, sebagai pemimpin, bertanggung jawab pada keluarga dan orang lain. Sehingga mereka dituntut untuk bisa cepat mengambil keputusan, dan cepat mencari solusi dibandingkan berkeluh kesah. Ia tidak bisa memilih.
Perempuan yang terlahir dalam keluarga yang kaku, otoriter, juga mengalami hal yang sama. Tetapi bedanya, perempuan lebih bisa dimaklumi ketika mereka berkeluh kesah atau menyampaikan hal yang disukai ataupun tidak.
"Jadi, dari tuntutan itulah pada akhirnya laki-laki seperti tidak memiliki kesempatan lebih luas untuk bisa bercerita tentang masalahnya," kata Lyly saat diwawancara IDN Times via WhatsApp pada Senin, 23 Juni 2025.
Kebutuhan untuk didengarkan, sebenarnya tidak mengenal gender, usia, dan status apa pun. Semua manusia pada hakikatnya memiliki kebutuhan untuk didengarkan, dipahami, dan diterima apa adanya. Namun, kembali lagi bahwa struktur sosial dan budaya telah membentuk aturan atau kebiasaan, di mana pada akhirnya laki-laki itu tabu untuk bercerita tentang masalahnya. Kesempatan itu mungkin terbuka jika laki-laki berada di lingkungan dengan struktur budaya yang lebih moderat atau liberal. Masalahnya sekarang, kultur di Indonesia tidak begitu.
Mereka juga akan memilih seseorang untuk bercerita berdasarkan kedekatan saat ini, dan tingkat kenyamanan. Misalnya kalau sudah berkeluarga, ya kemungkinan pada istri karena dianggap sebagai teman terdekat, yang posisinya adalah untuk teman berbagi suka dan duka. Kemudian pada ibu, karena dianggap sebagai orang yang sudah mengenal watak anaknya sejak kecil, dan sebagainya. Orang-orang pilihan atau kepercayaan ini adalah zona nyamannya (ruang aman) untuk pulang, yang diharapkan dapat memberikan ketenangan.
Mereka mencari kebutuhan emosional seperti memahami perasaannya atau perasaan empati, bukan solusi. Menurut Lyly, ini sesuatu yang wajar untuk semua usia maupun gender, karena untuk mencari validasi perasaan itu sulit dan perlu dukungan.
"Kalau misalnya itu dapat ditemukan di keluarga, istri, ibu, saudara, teman, atau pacar, itu pasti akan sangat membantu. Sebenarnya sih bukan karena laki-laki tidak mendapatkan itu di keluarganya ya. Tapi itu suatu kebutuhan yang akan terus ada. Ini bukti bahwa kita adalah seorang manusia sebagai makhluk sosial," katanya.
Menariknya, secara fisiologis, perempuan memiliki kebutuhan untuk bercerita lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perempuan bahkan bisa menceritakan masalahnya hanya dari obrolan biasa. Berbeda saat menghadapi laki-laki, yang memang perlu lebih banyak bersabar. Siapa pun tidak bisa memaksa mereka untuk langsung bercerita. Kita perlu menciptakan situasi yang nyaman dulu. Setelah nyaman, baru kita hadir sebagai figur pendamping yang bersedia untuk mendengarkan. Selain itu, tugas kita berikutnya adalah menunjukkan kepedulian, menaikkan rasa empati, bisa dipercaya untuk hal-hal yang sensitif atau rahasia, dan sanggup memvalidasi perasaan mereka.
"Kita perlu memberikan waktu, lebih bersabar. Cara pendekatannya mungkin lewat satu kegiatan atau situasi yang membuat mereka nyaman. Misalnya ngobrol bareng, sambil nonton film, sambil makan makan malam bersama," katanya.
Laki-laki sakit hati ketika ada yang menyepelekan masalahnya dan judgemental
Temuan ini berdasarkan wawancara IDN Times dalam kolaborasi. Jawaban tertinggi atas pertanyaan “Kalimat apa yang bikin kamu sakit hati ketika lagi punya masalah?” adalah muatan kalimat yang menyepelekan masalah dan judgemental. IDN Times meringkas beberapa jawabannya, melalui visualisasi di bawah ini. Silakan tekan ikon pause di pojok kanan atas, supaya lebih nyaman membacanya.
“Bukan hati aku baja,” kata David. Pria berusia 32 tahun ini ada di posisi serba salah, dari masih melajang hingga sudah menikah. Ketika melajang, keluarga mempermasalahkan dirinya yang tak kunjung menikah maupun mendapatkan pekerjaan. Ia tidak tahan dengan celotehan keluarga bak masyarakat mengejar maling.
"Kalau dulu (sebelum menikah), banyak ocehan keluarga yang bikin males. Padahal (mereka) juga tidak ngasih solusi. Kita kan kalau ada masalah, butuhnya solusi. Bukan ceramah atau omelan," kata David.
Setelah menikah, ia paling sering bergejolak saat membicarakan uang. Ia mengakui finansialnya belum stabil. Tetapi, bukan berarti dia tidak ada upaya untuk berusaha. Jika memang ada peluang untuk penghasilan tambahan, David akan memperjuangkannya. Ia sehari-hari bekerja sebagai fotografer dan mengajar olahraga sekolah dasar negeri (SD) di Palembang.
Terkadang, diam adalah pilihan tepat untuk memanggul beban walaupun berat. Ia sampai sengaja mencari alasan “Ada pekerjaan yang harus diatasi” agar biar keluar dari rumah kalau sudah hati dan perasaannya berantakan.
"Diamnya cowok bukan beneran mantep. Tapi diam sambil mikir bagaimana, harus ngapoi? Kadang sambil minum kopi, merokok sendiri selalu mikir ‘Sanggup tidak melanjutkan hidup?’," ungkapnya.
David kerap menyimpan banyak pikiran. Terkadang hanya butuh ruang sendiri tanpa gangguan. Ia juga jarang bercerita pada orang lain, karena ada traumatis judgemental. Tetapi ia juga merasa penting tetap bergaul dengan sekitar agar tidak mengalami gangguan mental hingga stres.
"Awak lanang lemah (ngomong aja pria lemah). Pernah dibilang seperti itu, jadi males cerita-cerita. Paling sekarang, ya ke istri ceritanya. Tapi kadang gak mau juga cerita (ke istri) nanti dia malah jadi beban lagi sudah urus anak. Paling ya diskusi saja."
Laki-laki rata-rata mendapat didikan untuk tidak boleh lemah, harus mengayomi, dan melindungi. Didikan ini membuat mereka dipaksa kuat oleh lingkungan, adat, maupun sosial masyarakat. Akibatnya, ketika mereka depresi, laki-laki lebih suka memendamnya. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tabanan, dr I Made Wardana SpKJ, mengatakan kasus depresi pada laki-laki termasuk silent depression layaknya gunung es yang terlihat sedikit di permukaan namun ternyata banyak yang belum terungkap.
Wardana mengatakan, seseorang yang terlalu sering memendam masalah akan menimbulkan gangguan kecemasan dan depresi. Bahkan bisa sampai pada gangguan jiwa dan skizofrenia. Menurutnya, gejala depresi antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Hanya cara menyembunyikannya berbeda. Kalau perempuan lebih banyak bicara atau emosi kompulsif. Sehingga orang bisa lebih waspada. Perempuan juga kadang-kadang mau bicara soal permasalahannya. Sementara, laki-laki biasanya menarik diri dari lingkungan, kurang merawat diri, jarang mau bicara, apalagi mengakui dirinya sedang depresi.
Biasanya beberapa pasien laki-laki yang datang ke tempat praktik Wardana untuk konseling karena dorongan dari istri maupun orangtua. Supaya lebih tahu kondisi mereka, Wardana menyarankan satu anggota keluarga yang dipercayainya agar membiasakan mengajak ngobrol laki-laki tentang keseharian sebelum tidur, atau memberikan waktu berdua untuk saling bercerita.
"Biasakan diajak ngobrol oleh istri maupun orangtua," ujarnya.
Psikiater Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Raden Soedjono Selong, dr Febriana Puspita Adji SpKJ, mengapresiasi setiap orang yang datang konseling kepadanya. Jumat lalu, 20 Juni 2025, ia melayani 26 pasien. Pasien perempuan lebih banyak konseling tentang kecemasan dan depresi. Sedangkan laki-laki cenderung memendam masalah sendiri. Jadinya, gangguan mental yang dialami mereka sering tidak terdeteksi. Datang-datang sudah dalam tahap parah seperti skizofrenia atau perilaku impulsif, termasuk percobaan bunuh diri.
"Sudah banyak kasus percobaan bunuh diri di Lombok Timur. Percobaan bunuh diri merupakan gejala dari skizofrenia, gangguan afektif bipolar, depresi, maupun gangguan kepribadian ambang," jelasnya.
Ia menguraikan, percobaan bunuh diri pada pasien skizofrenia diakibatkan oleh halusinasi. Sedangkan percobaan bunuh diri pada pasien depresi diakibatkan oleh keputusasaan. Dari segi biologis, hormon testosteron laki-laki memengaruhi sifat kompetitif, dominan, dan agresif. Namun, ketika kadar hormon ini menurun, laki-laki bisa mengalami penurunan mood, bahkan depresi atau kecemasan.
Sementara itu, faktor sosial dan budaya turut membentuk maskulinitas toksik. Hal ini membuat laki-laki enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah. Sebaliknya, perempuan lebih ekspresif dan sering curhat. Sehingga gangguan seperti depresi atau kecemasan lebih cepat terdeteksi. Karena itu, ia menekankan pentingnya peran psikiater dan psikolog klinis dalam menangani kasus-kasus seperti ini.
"Bagi lelaki jangan malu untuk datang berkonsultasi, menangis itu wajar. Jangan ragu untuk mencari bantuan," katanya.
Komunitas di Semarang berdiri sejak 16 tahun lalu untuk merangkul laki-laki yang terbebani norma maskulinitas
Laki-laki menjadikan problem maskulinitas sebagai alasan untuk menyembunyikan cerita. Ia pantang terlihat lemah secara emosional dan fisik. Pada akhirnya, ia terkubur sendiri karena tidak punya ruang untuk merilis tekanan kultural tersebut. Seperti analogi balon yang terus ditiup bisa meledak, akhirnya mereka mengalami gangguan kesehatan mental. Melihat situasi ini, Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) berdiri pada 2009. Sebuah komunitas laki-laki di Semarang yang fokus pada advokasi dan kampanye kesetaraan gender. Mereka mendorong laki-laki untuk meninggalkan paradigma lama tentang maskulinitas, dan merefleksikan konsekuensi negatifnya melalui media digital maupun luring.
Menurut Pendiri ALB, Nur Hasyim, norma-norma maskulinitas yang membawa konsekuensi negatif, berdampak pada kesehatan mental. Ruang mereka ini sebenarnya terbatas. Karena biasanya laki-laki kalau ketemu, yang dibicarakan itu soal politik, olahraga, hobi. Jarang membicarakan diri sendiri, soal kekhawatiran ataupun kecemasannya.
Komunitas ini, dalam berbagai aktivitasnya berusaha menciptakan ruang tersebut untuk membicarakan dirinya sendiri, tempat untuk perenungan, dan refleksi. Dengan begitu, laki-laki baru menyadari bahwa mereka tidak harus terlihat kuat saat bercerita, ataupun mengikuti konsep-konsep maskulinitas mainstream yang hidup dalam masyarakat.
‘’Merefleksikan itu penting, sehingga mereka tahu bahwa apa yang para laki-laki yakini tentang konsep maskulin itu ternyata memiliki konsekuensi negatif bagi diri sendiri. Dalam refleksi itu, kita bisa melakukan kritik terhadap konsep maskulinitas. Kemudian, mencari maskulinitas alternatif yang bisa membuat laki-laki lebih sehat secara mental, emosional, fisik, dan manusiawi,’’ terang Dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang itu.
Sekarang, ALB terus mempromosikan alternatif maskulinitas yang lebih manusiawi melalui media digital. Maskulinitas yang tidak toksik, yang mencerminkan nilai kesetaraan dan keadilan. Komunitas ini juga membangun perilaku baru di kalangan laki-laki. Misalkan, kalau umumnya laki-laki tidak terlibat dalam pengasuhan anak, sekarang bisa mengupayakan tradisi dalam mengasuh anak. Dengan demikian, cara ini bisa menormalisasi para laki-laki untuk mengambil peran domestik dan reproduktif.
Indonesia Milenial and Gen Z Report (IMGR) 2025 mengeluarkan hasil risetnya tentang keseimbangan tradisional dan modern dalam kehidupan keluarga. Data menunjukkan 82 persen Milenial dan Generasi Z (Gen Z) mendukung kesetaraan gender, dan perubahan dalam peran gender tanpa mengganggu tradisi yang ada. Ini memperlihatkan mereka merangkul hubungan antara evolusi peran gender dengan praktik budaya dalam struktural keluarga. Meskipun beban ganda tanggung jawab domestik sering kali tetap ada.
Suami perlu aktif mendukung dan berbagi tugas rumah tangga. Ayah modern semakin mengambil peran sebagai "suami rumah tangga". Seorang ayah kini dituntut mendukung karier pasangan mereka dan lebih terlibat dalam kehidupan keluarga. Konsep ayah seperti itu dianut oleh Gen Z, yang lebih terbuka terhadap perubahan peran gender. Sedangkan Milenial ada penerimaan dengan konsep baru yang dianut Gen Z, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional.
Kondisi itu terlihat dari hasil riset IMGR 2025 berikutnya. Sebanyak 48 persen Milenial butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Sedangkan 48 persen Gen Z mendukung keyakinan bahwa perubahan peran gender dapat membawa keseimbangan dan kebahagiaan bagi keluarga.
Untuk mengampanyekan maskulinitas yang lebih manusiawi, ALB berkolaborasi dengan organisasi perempuan di seluruh Indonesia. Ada beragam kelas sebagai wadah edukasi untuk menjadi laki-laki baru. Seperti jaringan sukarelawan mereka yang ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setiap anggota yang menikah membacakan Deklarasi Laki-Laki Baru. Isinya berkaitan dengan komitmen seperti setia pada pasangan, mau terlibat dalam pengasuhan anak, tidak melakukan kekerasan, hingga komitmen melakukan kerja produktif. Deklarasi ini dibacakan saat resepsi pernikahan, supaya banyak orang yang menjadi saksi. Menurut Hasyim, ini bagian dari membangun tradisi dan norma baru.
‘’Jadi laki-laki yang lebih peduli, lebih terbuka. Laki-laki yang memiliki literasi emosi yang baik, memiliki negosiasi dan kompromi ketika ada konflik dan perbedaan. Bukan pakai kekerasan untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan."
Kolaborasi hyperlocal IDN Times kini akan mengawali dengan sebuah pertanyaan: Apakah rumahmu punya ruang aman dan nyaman buat laki-laki (juga)?