Kekerasan seksual dalam kacamata sosial memiliki karakter kejahatan yang khas baik secara moril atau nilai-nilai susila, kultur, agama, bahkan hingga pada tatanan kekuasaan politik. Masyarakat patriarkis memandang kekerasan seksual sebagai tindakan asusila sehingga rentan terjadi victim blaming. Namun, semenjak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perilaku kejahatan tersebut dimaknai lebih luas yakni dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelaku wajib dikenakan sanksi hukum.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang disakralkan masyarakat dalam hal ini pondok pesantren (Ponpes). Kaum agamawan menilai bahwa untuk menjaga keimanan seseorang di tengah gempuran sekularisme dan liberalisme agama, maka ponpes menjadi tempat pilihan bermuhasabah agar religiulitas seorang hamba dapat terjaga. Oleh karena itu, para guru a.k.a kiai---sebutan bagi tokoh agama yang memiliki keilmuwan Islam yang tinggi--dimuliakan dan berkharisma untuk memimpin umat.
Sayangnya, pelaku kekerasan seksual yang notabene adalah kyai tak jarang terjadi di pondok pesantren dengan memanfaatkan kepemimpinan kharismatiknya mengelabui korban. Kasus Muhammad Subchi Azal Tsani, kiai asal Jombang Jawa Timur, dan kasus Herry Wirawan, tokoh agamawan asal Bandung, Jawa Barat, merupakan sederet pelaku kekerasan seksual di ponpes.