Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mencuci tangan dengan sabun bisa mengurangi risiko tertular penyakit. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Denpasar, IDN Times - Belum berhasil dalam penanganan persoalan sampah, Bali juga tidak bisa tutup mata dengan persoalan air. Kondisi ini telah dikuak dalam kegiatan Diseminasi Hasil Kajian Kesenjangan Kebijakan (Policy Gap Analysis) dan Penyandingan dengan Notula Peta Jalan Air Bali 2024 di Sanur belum lama ini. Partnership and Communication Manager Yayasan IDEP Selaras Alam, Edward Angimoy, mengatakan kondisi ini sesuai riset yang dilakukan IDEP pada 2018 lalu. Bahwa Provinsi Bali memiliki dua masalah, satu di antaranya krisis air.

"Krisis air Bali melampaui soal teknis. Ada banyak hal yang lebih besar daripada itu. Krisis air itu bukan karena kita kekurangan air tapi karena kita kehilangan arah," terangnya.

1. Sudah terjadi krisis air di Bali, namun belum banyak yang menyadarinya

ilustrasi bermain air (pexels.com/Noelle Otto)

Edward menjabarkan, krisis air yang terekap hingga saat ini di antaranya:

  • Penurunan muka air tanah hingga 29 meter

  • Intrusi air laut di kawasan pesisir Sanur, Kuta, Kerobokan

  • Eksploitasi di wilayah wisata lebih dari 1000 sumur bor

  • Ketimpangan pasokan, misalnya Nusa Dua aman, sementara Kuta Selatan kekeringan

  • Defisit debit DAS Pakerisan: berkurang 407 liter per detik pada tahun 2024, dan diperkirakan berkurang 651 liter per detik pada tahun 2040

Dalam situasi inim Bali membutuhkan peta jalan air yang berfungsi membangun sistem tata kelola air yang berkeadilan ekologis. Kemudian menyatukan kebijakan dan aksi lintas batas administratif, serta menempatkan pengetahuan dan kerifan lokal sebagai fondasi tata kelola air di Bali.

"Krisis air belum menjadi prioritas yang utama," tegasnya.

2. Sektor pariwisata sering dianggap penyebab utama (over tourism)

ilustrasi kolam renang indoor yang memiliki view indah (unsplash.com/Ridhwan Nordin)

Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, Anggun Trisnanto Hari Susilo, melanjutkan kebutuhan air di sektor pariwisata sangat tinggi, misalnya hotel, kolam renang, wahanan air, dan logistik. Namun tidak adil jika hanya menyalahkan sektor pariwisata, sehingga perlu melihat aspek kebijakan dan tata kelola air di Bali itu sendiri. Terutama Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat.

Perda tersebut memperkuat posisi Desa Adat, namun berpotensi menggeser kewenangan Subak. Pada Pasal 25 huruf c dan f mencantumkan kewenangan Desa Adat atas sumber air dan pertanian yang merupakan wilayah tradisional Subak. Krisis air tidak hanya berdampak pada pariwisata, tetapi juga pada pertanian dan kehidupan keagamaan.

"Di situ banyak kami temukan potensi konflik. Kami juga melihat krisis air adalah yang tidak bisa kita anggap remeh. Kita lihat fungsi air di Bali ini vital," jelasnya.

3. Perguruan tinggi akan mengambil peran di akar rumput

Kebun bambu (commons.wikimedia.org/Basile Morin)

Anggun melanjutkan, Tukad Pakerisan adalah lokasi ideal untuk menganalisis kesenjangan kebijakan tata kelola air. Selain itu, juga untuk mempelajari dinamika kebijakan lintas tingkat administratif karena di dalamnya terdapat interaksi komplek antara aturan formal, aturan adat, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial budaya.

Langkah sederhana peran perguruan tinggi dalam hal ini, misalnya penanaman bambu di lokasi tersebut sebagai solusi yang paling bisa dilaksanakan di akar rumput. Solusi lainnya adalah dengan membuat meteran batas kematian air, sehingga jika telah mencapai batasnya, maka dilarang untuk mengambil air.

"Kami dari kampus akan mencoba agenda dari community development di akar rumput sambil menunggu revisi regulasi," terangnya.

Editorial Team