Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan mengancam anak-anak. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali mencatat 361 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2024. Kasus ini berdasarkan pelaporan kepada lembaga layanan teknis di seluruh Bali. 

“Kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada lembaga layanan teknis di seluruh Bali, paling banyak di Denpasar,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini. Berikut informasi selengkapnya.

1. Dua sisi catatan kasus kekerasan anak

Ilustrasi catatan di tahun 2024. (Pexels.com/Viridiana Rivera).

Yastini menerangkan, catatan kasus kekerasan terhadap anak yang lebih banyak di Kota Denpasar mempunyai beberapa arti. Seperti tipe masyarakat perkotaan yang heterogen sehingga lebih berani membuat laporan. Jadi, yang paling banyak kasusnya bukan berarti itu buruk.

“Denpasar wilayah perkotaan. Informasinya lebih mudah, lembaga layanan lebih mudah diakses, dan adanya keterbukaan pikiran lebih berani melapor,” ungkap Yastini.

Yastini menambahkan, jumlah kasus dapat berubah, juga tergantung dari pelapornya. Selain Kota Denpasar, Buleleng dan Badung secara berturut-turut sebagai urutan kedua dan ketiga kabupaten di Bali dengan catatan kasus kekerasan anak terbanyak.

2. Kekerasan seksual mendominasi

ilustrasi anak (pexels.com/Mikhail Nilov)

Total ada 361 kasus kekerasan terhadap anak di Bali. Dari angka itu, kekerasan seksual yang mendominasi. Urutan kedua, ada kekerasan psikis yang pelakunya berasal dari keluarga hingga temannya korban lewat media sosial (medsos).

Ketiga, ada beberapa kasus konflik pengasuhan anak yang diterima lembaga layanan teknis. Yastini menjelaskan, konflik ini terjadi saat orangtua anak akan proses bercerai atau sudah bercerai, tetapi mereka merebutkan hak asuh anak. Ada juga jenis kekerasan lainnya yang dialami anak seperti kekerasan fisik dan penelantaran anak.

“Paling banyak terjadi memang kekerasan seksual dari 361 kasus yang ada,” ujar Yastini.

3. Pelapor didominasi orangtua korban

Ilustrasi orang tua dan anak (pexels.com/MatthiasZomer)

Yastini menjelaskan, dari sisi pelapor didominasi oleh orangtua anak. Namun, ada pula orang lain atau tidak ada hubungan keluarga dengan korban sebagai pelapor. Biasanya pelapor tipe ini melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga.

“Ada juga yang melaporkan kasus inses, beberapa orang luar yang melaporkan biasanya gurunya atau pihak lain yang tahu,” terang Yastini.

Contohnya, terungkap kasus inses di Singaraja. Para pelaku adalah kakek, paman, dan tetangga korban dilaporkan oleh pihak yang tidak memiliki hubungan darah dengan korban. Pelaporan dari masyarakat ini, dijelaskan Yastini, segera mendapatkan pendampingan langsung dari lembaga layanan teknis. Misalnya, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Meskipun fungsi KPAD Bali berdasarkan UU Perlindungan Anak dan Perda Perlindungan Anak lebih banyak pada sisi pengawasan, Yastini mendorong seluruh pihak untuk berani dalam melaporkan segala bentuk kekerasan terhadap anak.

Editorial Team