Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
diskusi tanah 1.jpeg
Momen diskusi bertajuk Mewaspadai Pelanggaran HAM dalam Konflik Pertanahan dan Tata Ruang di Bali pada Rabu, 10 Desember 2025. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Koordinator Wilayah Bali Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ni Made Indrawati, mengatakan alih fungsi lahan di Bali telah terjadi sejak lama, secara masif mulai pada tahun 1990.

“Kalau kita lihat semakin maraknya alih fungsi lahan di Bali sebenarnya bukan baru sekarang, dari tahun 1990. Cuman tidak terekspos,” kata Indrawati kepada IDN Times di ASA Coffee, Denpasar, pada Rabu (10/12/2025).

Indrawati memaparkan, alih fungsi lahan semakin merebak di Bali karena adanya sistem Online Single Submission (OSS). OSS dengan konsep mempercepat perizinan usaha, kata Indrawati, menambah jumlah konflik pertanahan. Sebelum adanya OSS, ada sejumlah konflik pertanahan di Bali yang belum terselesaikan sejak puluhan tahun.

“Buktinya ada konflik pertanahan yang berpuluh-puluh tahun tidak terselesaikan. Itu semua alih fungsi lahan, rencana alih fungsi lahan dari pertanian ke pariwisata. Semua ujung-ujungnya akomodasi pariwisata,” imbuhnya.

Kewenangan dan kebijakan pertanahan masih belum memenuhi hak warga

Koordinator Wilayah Bali Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ni Made Indrawati. (IDN Times/Yuko Utami)

Ia menjelaskan pendampingannya kepada warga eks transmigran Timor Timur (Timtim) membutuhkan waktu 25 tahun penyelesaian konflik. Pada masa itu, ada wacana bahwa tanah yang ditempati eks transmigran Timtim akan dihutankan kembali. Namun, setelah Indrawati, KPA Bali, dan warga menelusuri, wacana menghutankan kembali lahan itu tidak sesuai, sebab ada temuan peruntukan pariwisata di dalamnya.

Perjuangan panjang selama seperempat abad itu membuahkan hasil. Warga di Sumberklampok yang merupakan eks transmigran Timtim mendapatkan hak atas tanah yang mereka garap selama berpuluh tahun.

Selain alih fungsi di kawasan darat, Indrawati juga mengungkapkan masih marak dugaan alih fungsi lahan di kawasan pesisir. Ia menegaskan, butuh kajian mendalam untuk memetakan alih fungsi lahan pada sejumlah kawasan di Bali.

Sementara itu, Agus Samijaya sebagai pengacara dan peneliti isu pertanahan, mengatakan bahwa OSS dengan tujuan memangkas regulasi dan birokrasi perizinan, justru jadi momok di daerah. Baginya, pemerintah daerah sebagai eksekutor di lapangan harus memperkuat kebijakan RTRW maupun RDTR. Termasuk memperjelas konteks proses pengadaan lahan, penggunaan lahan, dan distribusi lahan.

“Tidak bisa kemudian sekarang itu kewenangan ada di bidang tanah yang sifatnya sangat sentralistik,” kata Agus.

Dari 11 lokasi prioritas penanganan konflik agraria di Bali, hanya tiga yang terselesaikan

Pembangunan di daerah Canggu, Kabupaten Badung. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Indrawati menyampaikan juga pengamatannya bahwa alih fungsi lahan sebagian besar untuk akomodasi wisata, bahkan telah ada di wilayah yang tidak berfokus wisata seperti Buleleng.

“Buleleng itu dari lahan pertanian ke pembangunan hotel segala macam. Itu bukan baru sekarang sebenarnya. Masifnya, booming-nya baru sekarang,” tutur Indrawati.

KPA Bali memfokuskan penanganan konflik agraria pada 11 lokasi prioritas di Bali. Namun, hanya tiga yang terselesaikan. Yaitu konflik Tukad Unda di Kabupaten Klungkung, serta konflik si Sumberklampok dan Sumberkima di Kabupaten Buleleng. 

“Gianyar pun dari tahun 90-an malah lebih duluan Gianyar daripada Sumberklampok, dan sampai detik ini Gianyar ini masih mangkrak, masih belum diselesaikan oleh pemerintah,” kata dia.

Indrawati mengaku telah berdialog dan bertemu dengan pemerintah serta menyerahkan data temuan di lapangan. Namun, tidak ada kepastian dan penyelesaian konkret. Bagi Indrawati, harus ada penyusunan langkah strategis untuk menyelesaikan konflik agraria yang masih ada di Bali.

Konsep reforma agraria memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah

ilustrasi keadilan (pixabay.com/AJEL)

Indrawati menegaskan, langkah strategis yang krusial dengan menolak penguasaan tanah dari Bank Tanah. Ia menegaskan, Bank Tanah mengedepankan investasi dari pada kepentingan rakyat. Namun, jika tetap memakai Bank Tanah, Indrawati menegaskan konsepnya harus diperbarui. Gagasan itu ditawarkan oleh Agus Samijaya dalam riset doktoralnya.

“Tanah yang dikumpulkan oleh Bank Tanah harus diprioritaskan dulu untuk rakyat, bukan untuk pengusaha,” kata Indrawati. 

Baginya, penolakan maupun rekonsep Bank Tanah jadi krusial, sebab saat jumlah penduduk semakin bertambah, satu sisi luasan tanah semakin berkurang. Sehingga, prinsip untuk memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan tanah menjadi hal yang selalu dipegang oleh Indrawati yang telah bertahun-tahun di KPA.

“Menjawabnya dengan konsep reforma agraria sejati. Di mana tanah-tanah ada adalah lebih diprioritaskan untuk rakyat yang menggarap tanah itu sendiri, bukan untuk investor, bukan untuk pengusaha,” tegasnya.

Partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan tanah

Ilustrasi masyarakat adat. (IDN Times/Yuko Utami)

Pemerintah Pusat maupun Daerah bagi Agus harus melaksanakan tiga hal krusial dalam kebijakan atas tanah. Soal perizinan, Pemerintah Pusat harus melibatkan Pemerintah Daerah, satu sisi Pemerintah Daerah harus mensosialisasikan kepada masyarakat atas rencana tata ruang hingga perizinan atas tanah.

"Namun di satu sisi pemerintah daerahnya juga juga harus aware (sosialisasi) ke masyarakat gitu. Jangan seenaknya kemudian merubah RTRW, RDTR bersifat mulur mungkret (maju mundur) gitu,” tegasnya.

Agus memaparkan, jangan sampai ketegasan Pemerintah Daerah tergantung dari pihak yang ingin berinvestasi. Itu akan berdampak kepada kebijakan yang tidak maksimal. Ia juga menyoroti agar menghilangkan ego sektoral dalam pengelolaan tanah. Kebijakan harus terintegrasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

“Kalau tidak, tetap tumpang tindih sehingga tidak ada kepastian hukum,” ujar Agus. 

Selanjutnya hal yang sangat krusial adalah prinsip partisipasi warga dalam penyusunan kebijakan pertanahan di Bali.

“Libatkan partisipasi masyarakat secara optimal. Baik itu masyarakat petani, kelompok agraris, nelayan dan lain sebagainya termasuk desa adat,” tegas Agus. 

Jika kebijakan atas tanah yang adil telah terbangun, Agus juga menambahkan adanya penegakan hukum bagi pelanggar. Agus menegaskan, jika prinsip-prinsip itu belum terbangun, maka pelanggaran tata ruang dan alih fungsi lahan akan terus terjadi.

Editorial Team