Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
koster gubernur bali.jpg
Gubernur Bali, Wayan Koster dalam momen Raperda Bali 28 Juli 2025 (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Mengenakan busana adat Bali serba putih, Gubernur Bali, Wayan Koster, menyampaikan jawabannya atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Pembahasan Raperda sebelumnya tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2025.

Semula, Koster berbicara dengan nada datar dan sedikit penekanan pada beberapa topik krusial. Ketika menjawab soal polemik desa adat dan Majelis Desa Adat (MDA) Bali, nada berbicaranya meninggi.

“Saya tahu untuk merontokkan Bali ini mudah, satu titik desanya. Jadi, itu tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap siapa pun yang mau mengganggu desa adat,” kata Koster di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, pada Senin (28/7/2025).

Seperti apa pembahasan selanjutnya? Berikut selengkapnya.

1. Polemik MDA Bali harus menemukan solusi

ilustrasi Bali (unsplash.com/Ruben Hutabarat)

Polemik kewenangan Majelis Desa Adat (MDA) Bali, menurut Gubernur Bali, Wayan Koster, harus ada solusi yang tepat. Koster mengajak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali untuk mengelola perbedaan pendapat tanpa ada polemik terbuka di ruang publik. Bagi Koster, polemik desa adat yang muncul ke publik berdampak negatif terhadap desa adat di Bali.

“Secara khusus saya ingin menyampaikan bahwa ada yang mengganggu desa adat. Saya tahu. Ada yang menginginkan agar desa ini tidak kuat seperti sekarang,” ujarnya.

Menurut Koster, pengaruh budaya luar merusak desa adat secara perlahan. Ia mengingat, masa pemerintah orde baru tak ada yang peduli soal desa adat di Bali. Masa Pemerintahan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra mulai merangkul desa adat dengan payung hukum Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 3 Tahun 2003, dan kini dengan beberapa perubahan menjadi Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.

2. Pengurus desa adat di Bali ngayah, Koster kasihan

Ilustrasi Bali (Image by Alit Suarnegara from Pixabay)

Koster menjelaskan, pada masa lalu, pengurus desa adat mengerjakan berbagai urusan adat dengan sistem ngayah (tulus ikhlas tanpa gaji). Masa itu ada beberapa pemerintah daerah mengapresiasi dengan upah sekitar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu, tapi ada juga yang tak menerima upah.

“Sehingga keberadaan desa adat waktu itu yang punya peranan begitu besar terhadap Bali, menjaga budaya Bali tidak terurus dengan baik karena regulasinya yang kurang kokoh,” kata dia.

Adanya Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 menjadi penguat eksistensi keberadaan desa adat di Bali. Berdasarkan Perda itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali telah menganggarkan dana untuk desa adat Bali sebesar Rp300 juta per desa adat.

3. Koster mengakui masih ada kekurangan dalam implementasi desa adat di Bali

Momen Raperda tentang Perubahan APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2025. (IDN Times/Yuko Utami)

Koster menyinggung ada pihak yang mencoba mengusik desa adat. Namun, Ia enggan menyebutkan pihak itu dan menegaskan ada pihak yang menggunakan media sosial untuk mencari popularitas.

“Berpolemik di media sosial adalah sesuatu yang tidak produktif dan tidak menyelesaikan masalah, yang kita butuhkan adalah cara-cara beradab, bermartabat untuk mengurusi Bali ini semua,” kata laki-laki asal Desa Sembiran ini.

Ia juga mengakui kekurangan sejumlah hal di desa adat.

“Bahwa ada yang kurang-kurang sedikit, iya. Belum sempurna, iya. Tapi kondisi sekarang sudah jauh lebih bagus daripada situasi sebelumnya,” ujarnya.

Editorial Team