Denpasar, IDN Times - H-2 Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Bali, rumah Komang (nama samaran) didatangi orang tak dikenal sekitar pukul 19.00 Wita. Komang buru-buru ingin keluar dari toilet saat mendengar percakapan samar adiknya. Orang ini mencari ibu dan ayahnya. Sampai akhirnya ia melihat sang adik sudah menggenggam lembaran uang berjumlah Rp750 ribu. Uang itu distaples bersama kertas bergambar wajah calon legislatif, presiden, dan wakil presiden yang harus dicoblos.
“Siapa nama orang yang ngasih? Masih bisa dikembalikan ini.” Tak lama setelah menanyakan ini kepada adiknya, orang tersebut sudah pergi. Malam itu juga, Komang mengajak keluarganya berdiskusi dengan bahasa yang sederhana. Uang ini adalah ‘serangan fajar’ yang tidak konstan menyejahterakan siapa pun. Ini justru meninggalkan jejak buruk bagi keluarga, karena dianggap mewajarkan ‘serangan fajar’. Keluarga menjadi tidak murni memilih calon berdasarkan gagasan yang baru atau sesuai dengan kebutuhan rakyat. Komang bersitegang, dan sampai menawarkan uang pribadinya jika keluarga memang sangat membutuhkan. Namun, ia kecewa mendengar respon keluarga yang sepakat untuk membagi uang tersebut Rp150 ribu per orang.
“Ini jujur ya, saya sedih dengan respon keluarga. Kalau misalnya ada kebutuhan yang diambil dari uang itu, maaf, saya gak mau makan. Karena saya tahu uang itu dari mana,” suara Komang bergetar saat menceritakan itu pada IDN Times Sabtu, 27 Juli 2024.
Tindakan Komang merupakan bagian dari integritas di dalam sembilan nilai antikorupsi. Ia tidak ingin keluarganya mewajarkan perilaku koruptif karena sedang membutuhkan uang. Dalam Buku Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Dengan Kerugian Kecil (Petty Corruption) Berdasarkan Analisa Ekonomi Dalam Hukum (Economic Analysis of Law) yang diterbitkan Adab pada 2023, korupsi kecil (petty corruption) bisa terjadi karena ada kebutuhan atau corruption by need. Perilaku keluarganya Komang membawa celah bagi seseorang untuk menyalahgunakan kewenangan apabila terus dibiarkan dan diwajarkan.
Berdasarkan hasil Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), dari 11.000 sampel yang disurvei melalui wawancara, sebanyak 4.466 orang pernah ditawari uang/barang/fasilitas untuk memilih kandidat tertentu saat kampanye pilkades/pilkada/pemilu. Sementara dalam Dimensi Persepsi Terhadap Perilaku Koruptif di Masyarakat, sebanyak 3.256 orang menganggap wajar seseorang mengajak anggota keluarganya untuk mendapatkan lebih banyak imbalan (uang, sembako, barang, pulsa, dan lainnya) saat kampanye pilkades/pilkada/pemilu.
Menurut Direktur Magetan Center Corruption Watch, Beni Ardi, masyarakat sudah terbiasa dengan praktik politik uang di pesta demokrasi. Ia memperkirakan praktik ini akan kembali terulang pada Pilkada 2024.
"Tradisi amplop politik ini dianggap biasa. Sebagian besar masyarakat tanpa rasa bersalah mendulang uang dalam aktivitas politik. Bahkan mengajak anggota keluarga lainnya untuk menerima amplop. Padahal ini termasuk budaya koruptif," katanya.
Beni menilai, partai politik (parpol) dan lembaga kurang memberikan edukasi antikorupsi kepada masyarakat. Parpol hanya mementingkan suara dengan mengabaikan nilai-nilai antikorupsi. Asumsi ini benar-benar terjadi di Provinsi Bali. Seorang calon legislatif yang menjadi tim sukses (timses) kepala daerah telah mempolitisasi program bantuan pemerintah berupa dana hibah.
Wayan (nama samaran) bercerita, beberapa bulan sebelum Pileg 2024, timses ini gencar mendatangi desa-desa dadia (klan) untuk memfasilitasi masyarakat yang membutuhkan dana hibah. Wayan lalu mengajukan bantuan hibah sekitar Rp200 jutaan. Meskipun tidak disebutkan secara gamblang, Wayan–sebagai penerima hibah–merasa diarahkan untuk memilih timses tersebut apabila ingin mendapatkan hibah.
Setelah beberapa bulan menunggu, dana hibah yang dijanjikan akhirnya cair. Namun, hibahnya dipotong sekitar 30 persen. Pihak Wayan menerima dana sekitar Rp140 jutaan. Wayan tidak tahu pihak mana dan siapa yang memotong dana tersebut. Wayan hanya diminta untuk membuat proposal kasar saja. Sementara, perevisian proposal dan laporan pertanggungjawabannya (LPJ) dibuatkan oleh pihak lain.
"Kami tidak perlu repot membuat apa pun. Tinggal terima bersih. Potongan sekitar 30 persen itu seperti biaya jasa untuk membuat LPJ. Kalau kami masyarakat, jujur tidak masalah. Hibah bisa cair saja sudah sangat bersyukur," tulis Wayan via WhatsApp pada Minggu, 28 Juli 2024.