Ilustrasi perawat. IDN Times/Wira Sanjiwani
Kepala perawat Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bali Mandara (RSBM) Provinsi Bali, Made Arik Mulyanti (38), di sela-sela menjalani isolasi mandiri, bersedia diwawancarai oleh IDN Times melalui sambungan telepon, pada Jumat (19/3/2021). Hasil tes swabnya positif COVID-19 sejak awal Maret 2021 lalu.
Ia merawat pasien COVID-19 yang tanpa disertai gangguan nebul atau gangguan respiratori (Pernapasan), atau tidak bergejala berat di Ruangan Isolasi Sandat Cempaka. “Kalau pasien itu dirawat di sana, otomatis pasien itu membahayakan petugas karena ruangannya tidak bertekanan negatif,” ungkapnya.
Rumah sakit (RS) di tempatnya bekerja terdapat dua ruangan rawat inap bagi pasien COVID-19 yakni Ruang Isolasi Jepun dan Ruang Isolasi Sandat Cempaka. Apabila Ruang Isolasi Jepun penuh, sedangkan pasien di Ruang Sandat Cempaka harus dipindah ke ruang bertekanan negatif, maka akan dilakukan barter pasien. Artinya, apabila di Ruang Jepun ada pasien yang sudah bisa dilepas alat nebulizernya, maka pasien tersebut akan diisolasi di Ruang Sandat Cempaka.
Jumlah kasus yang ia tangani sempat menurun di pertengahan Januari 2021, namun melonjak lagi. Pada pertengahan Februari 2021, kasusnya menurun lagi dan sekarang stabil di atas angka 30-an orang yang dirawat di RSBM.
“Awal kami merawat pasien COVID itu. Kami ini kan rasa takut itu pasti ada. Proteksi diri pasti ditingkatkan. Seiring dengan berjalannya waktu, karena mungkin kami juga sudah capek, sudah lelah mungkin ya. Akhirnya kok kayaknya kami itu bersahabat dengan pasien COVID-19 gitu lho. Sama virusnya."
Menurutnya, hampir sebagian besar para perawat pernah terpapar COVID-19. Karena paham pekerjaannya sangat berisiko, ia bersama rekannya selalu menjaga imunitas tubuh dengan mengonsumsi vitamin. Dulunya memang mendapatkan jatah vitamin. Namun sejak jatah itu terhenti, ia dan rekannya berinisiatif untuk iuran membeli vitamin.
“Kami mengumpulkan uang kas Rp10 ribu per bulan atau mungkin kalau vitaminnya pertengahan sudah habis, kami nambah lagi untuk penambahan uang kas," jelasnya.
“Terus terang itu, saya sempat pasiennya 52 (Orang). Belum lagi pasien yang mengalami perburukan. Kalau pasien ada perburukan, otomatis timnya kami juga berkurang jadinya jaga. Call-nya bunyi. Sana-sini bunyi. Tidak tahu kita temannya ada di mana posisinya," imbuhnya.
Arik menyadari bahwa seorang perawat memang harus tangguh. Perawat harus melakukan tindakan ke pasien, dan melengkapi dokumentasi. Apalagi ketika jumlah pasien COVID-19 banyak, mereka sampai tidak sempat istirahat.
“Hampir kebanyakan begitu. Perawat memang tidak ada jam istirahatnya. Pada saat kami melakukan tindakan, apalagi itu tanggung jawab kita, rasa lapar itu memang nggak ada. Perawat itu bagaikan tenaga serabutan yang harus mengambil pekerjaan semuanya. Harus mengambil pekerjaan semuanya sampai tindakan delegatif dari dokternya. Sampai tindakan penunjang-penunjang yang lain, dari unit lain,” ungkapnya.
Perempuan asal Kelurahan Kerobokan, Kabupaten Badung ini mengaku memerlukan psikolog klinis untuk para perawat. Ia tidak menampik beban kerja dan tanggung jawab yang besar, membuat tingkat stres para perawat semakin tinggi. Ia berencana mengusulkan kebutuhan psikolog agar stres dan kecemasan yang dialami para perawat, terutama perawat pasien COVID-19 dapat teratasi.
“Sebenarnya dulu itu ada katanya, fasilitas psikolog klinis yang ke ruangan ke ruangan kami. Untuk mengedukasi kami. Tapi selama ruangan COVID dibuka (Ruang Sandat Cempaka diubah menjadi ruang perawatan COVID-19), itu nggak ada. Belum pernah ada psikolog ke ruangan,” ungkapnya.
“Kayaknya kalau menurut saya itu sangat butuh sekali ya. Soalnya faktor tingkat stres perawat itu kok tinggi banget ya saya lihat. Kadang-kadang karena kebanyakan bebannya, kami itu sampai panik gitu lho. Oh ya ini belum, oh ini ternyata belum. Gitu."