Denpasar, IDN Times – Pemerintah Pusat telah mengambil kebijakan untuk mengurangi penyebaran COVID-19 atau virus corona, melalui social distancing. Social distancing atau jarak sosial adalah strategi mitigasi komunitas untuk membatasi penyebaran COVID-19. Setiap orang diminta untuk menjaga jarak satu sama lain, hingga mengurangi sosialisasi di kerumunan massa. Maka jalan yang terbaik adalah diam di rumah.
Kalau di Pulau Bali, seluruh warga harus diam di rumah hingga 30 Maret 2020, seperti yang ditetapkan oleh Gubernur I Wayan Koster. Bahkan upacara persembahyangan dibatasi jumlah orangnya, pengarakan ogoh-ogoh sebelum Nyepi ditiadakan, dan sejumlah objek wisata ditutup untuk Warga Negara Asing (WNA) seperti di Nusa Penida misalnya.
Kita mungkin tahu kabar berita ini. Tetapi bagaimana dengan para tuna netra? Apakah mereka tahu dengan imbauan-imbauan tersebut? Sudahkah sosialisasi ini menjangkau para penyandang disabilitas lainnya?
Seorang anggota komunitas Teratai, I Made Jery Juliawan (27), berbagi pengalamannya terkait social distancing yang dilakukannya secara mandiri tanpa ada yang memberitahunya. Kepada IDN Times, Jery menduga kondisi yang sama juga banyak dialami oleh tuna netra di Indonesia. Berikut hasil wawancara IDN Times via telepon terkait pengalamannya tersebut: