Alasan Kenapa Tikus di Bali Dipanggil dengan Nama Jero Ketut

Tikus, jika mendengar nama hewan pengerat satu ini ada banyak bayangan tentangnya. Hewan pemakan apa saja termasuk hasil panen petani, makanan di dapur, dan penyebab wabah mematikan pes atau black death.
Reputasi tikus dari sisi cerita modern juga tidak baik. Lagu Iwan Fals berjudul Tikus-Tikus Kantor misalnya, representasi tikus dalam lagu ini ibarat pejabat korup yang mengambil uang negara. Sementara, kucing ibaratkan aparat penegak hukum yang tidak menangkap si tikus.
Meskipun representasi tikus dalam budaya modern amat buruk, ternyata cerita rakyat Bali tidak menganggap tikus demikian. Ini terlihat dalam cerita Rakyat Tikus dan Garuda, yang mana tikus dengan akal liciknya berhasil menyelamatkan hewan ternak warga dari terkaman garuda. Lalu bagaimana sumber sastra masa lalu Bali menuliskan tikus? Baca selengkapnya di bawah ini.
Cerita rakyat dan gelar kehormatan untuk tikus
Cerita Rakyat Tikus dan Garuda ini tidak pasti berawal dari mana, hanya tertulis bahwa Prabu Suliawana mengadakan sayembara untuk menangkap garuda yang telah memakan ternak warga. Hanya tikus yang berani menjalani sayembara ini dan berhasil membuat garuda tertipu.
Garuda tertipu karena taktik tikus membujuk rayunya dengan iming-iming akan dicarikan kutu. Saat lengah dan garuda telah tertidur, tikus malah mencabuti bulu garuda sampai habis. Karena tak berbulu lagi, garuda tak bisa terbang dan memangsa ternak warga. Melihat ini, Parbu Suliawana memberikan emas kepada tikus, tapi tikus menolaknya. Akhirnya, tikus diberi gelar kehormatan bernama Jero Ketut.
Lontar menuliskan agar petani tidak bermusuhan dengan hama
Selain cerita rakyat di atas, ternyata sumber naskah kuno lontar Bali menuliskan agar petani di Bali tidak bermusuhan dengan hama. Lontar Sri Purana Tattwa ini juga menuliskan, bahwa Sang Hyang Rambut Sakenan bertugas sebagai penjaga sawah dari hama tikus dan belalang. Tujuan menghindari permusuhan dengan hama seperti tikus, dijelaskan dalam lontar sebagai bentuk untuk menjaga keseimbangan alam.
Alih-alih membasmi tikus dengan membunuhnya, lontar ini menyarankan petani agar melaksanakan ritual. Ritual ini menyajikan suguhan untuk tikus agar tidak merusak tanaman dan area sawah. Suguhan itu berupa sesajen berisi nasi merah dengan dua lembar daun sukun di hulu sawah, kemudian ditebarkan sekeliling sawah diiringi dengan doa khusus. Sesajen ini ibarat juga sebagai negosiasi dan permohonan dari para petani agar tanaman tumbuh dengan baik dan sehat.
Petani memiliki mantra khusus
Sesajen tidak hanya sekadar dihaturkan, ada mantra maupun doa yang mengalun. Doa yang dipanjatkan dalam Bahasa Bali, seperti berikut ini.
“Niki tiang nawegang ring Jero Ketut niki, ampunang ngusak asik, titiang nunas keselametan, mangde mekaon.”
Mantra tersebut berarti, “Saya mohon kepada Jero Ketut (panggilan halus kepada tikus), jangan mengganggu, saya mohon keselamatan, supaya pergi.”
Ada juga perbedaan sesajen yang digunakan, tergantung tradisi di setiap daerah. Selain nasi merah, ada juga berupa segehan cacahan poleng medaging bawang jahe sabilang bucu, nganggen kau bulu tatakanne. Artinya, sesajen berupa nasi putih hitam berisi bawang, jahe di setiap sudut, menggunakan tempurung kelapa sebagai alasnya.
Jika tikus membandel, petani akan melakukan ngaben atau upacara pembakaran mayat tikus-tikus dengan sesajen, dan pemangku merapalkan mantra agar tikus tenang di alam baka. Kalau di daerahmu, tikus itu dapat perlakuan khusus seperti di Bali, atau langsung dibasmi? Yuk bagikan cerita kamu.