Denpasar, IDN Times – Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan masih marak terjadi di Bali. Terlebih kini di masa pandemik COVID-19, anak-anak dan perempuan semakin rentan menjadi korban kekerasan. Beban dan tekanan hidup yang semakin berat, membuat keamanan mereka turut terancam.
Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali, Anak Agung Sagung Anie Asmoro SS mengungkapkan bahwa selama pandemik ini lebih banyak terjadi kasus perebutan hak asuh anak. Baik oleh pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, maupun yang sama kewarganegaraannya.
“Yang jelas kasus yang banyak selama pendemik ini adalah kasus perebutan hak asuh. Dan yang jadi korban tetap anak. Pengaduan perebutan hak asuh yang paling banyak,” jelas Anak Agung Sagung Anie Asmoro.
Menurutnya kasus perebutan hak asuh anak ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan mediasi. Namun berhasil tidaknya mediasi juga tergantung kepada itikad baik orangtua. “Mereka mementingkan kepentingan anaknya atau masing-masing dari diri mereka saja,” jelasnya.
Sementara itu Founder Bali Woman Crisis Center (WCC) Ni Nengah Budawati mengungkapkan selama pandemik ini dalam satu bulan pihaknya menangani 10 sampai 12 kasus, meliputi kekerasan seksual yang cenderung dilakukan oleh orang terdekat, kekerasan dalam rumah rumah tangga (KDRT), dan persoalan pola asuh antara orangtua dan anak. Sebagian besar korban adalah ibu rumah tangga, anak-anak, remaja.
"Kekerasan yang pernah dialami pada Ibu dan Bapak, cenderung berpengaruh pada anak-anaknya dan anak-anaknya bisa mengulang hal yang sama. Jadi menurut kami, mencerabut akar permasalahan itu lebih baik. Kami selalu berusaha untuk memediasi di tingkat desa. Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa kekerasan itu bisa terjadi berulang kali," terangnya, Sabtu (25/7/2020).
"Ingat, jangan pernah merasa menyesal karena melaporkan saudara kita yang telah melakukan kekerasan. Mereka dipenjara bukan karena laporan kamu, tapi karena memang perbuatan mereka. Jadi jangan pernah takut untuk melapor," tegasnya.