Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Polres Badung Terima Tiga Kasus Pencabulan Anak Sekolah

Ilustrasi. IDN Times/Arief Rahmat

Badung, IDN Times – Belum genap dua bulan dari awal tahun 2020, Kepolisian Resor (Polres) Badung telah menerima dan menangani tiga kasus pencabulan terhadap anak di wilayah hukumnya. Kasus asusila ini terbongkar atas pengakuan korban, yang kebanyakan sudah tidak tahan terhadap perbuatan keji pelaku. Dua kasus di antaranya, pelaku merupakan oknum tenaga pendidik yang seharusnya menjadi pelindung anak didik.

1. Kasus pertama dialami oleh dua siswi SD di Mengwi. Ia dicabuli oleh oknum guru olahraga

IDN Times/Ayu Afria

Kasus pertama adalah seorang guru olahraga Sekolah Dasar (SD) di Mengwi, AAKW (53), yang mencabuli dua siswi berinisial TF (13) sebanyak sembilan kali, dan KDAP (12) sebanyak 10 kali. Tersangka beralasan ada ketertarikan fisik terhadap korban.

Tersangka memberikan uang penutup mulut sebesar Rp50 ribu kepada TF, dan menjanjikan akan membelikan sepatu untuk KDAP. Untuk melancarkan aksi, korban diancam nilainya jelek dan tidak naik kelas. Perbuatan tersebut dilakukan rentang Juni 2018 hingga Januari 2019. Namun terhadap KDAP, pelecehan seksual tersebut terakhir kali terjadi pada 11 Januari 2020. Tersangka hanya membuka pakaian dan melihat alat vital korban.

2. Kasus kedua adalah siswa SD yang disodomi oleh tukang kebun

Dok.IDN Times/Istimewa

Kasus kedua dialami oleh seorang siswa SD berinisial AF (10) asal Mengwi. Ia menjadi korban pencabulan oleh tukang kebun berinisial F (57) asal Jember, Jawa Timur. Pencabulan tersebut terjadi pada bulan Juni 2019 hingga 8 Februari 2020, di kebun tempat tinggal tersangka wilayah Kecamatan Mengwi.

Dalam LP-B/48/II/2020/Bali/Res Bdg tanggal 8 Februari 2020, korban diajak jalan-jalan oleh tersangka, lalu disodomi. Korban diberi imbalan berupa makanan, minuman, mainan, dan uang. Ketika dimintai keterangan di Mapolres Badung, tersangka mengaku tertarik dengan korban sehingga menimbulkan nafsu.

3. Kasus ketiga adalah seorang siswi SMA yang dicabuli sejak SD oleh oknum gurunya sendiri

pexels/marina shatskih

Seorang siswi kelas I Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kuta Utara, IAMOCD (16), menjadi korban pencabulan oknum Kepala Sekolah, WS (43) asal Dalung. Perbuatan tersebut dilakukan sejak SD kurun waktu Juli 2016 hingga 11 Januari 2020. Korban yang saat itu masih kelas 6 SD dijadikan pacar oleh WS, dan dirayu untuk melakukan hubungan badan di empat lokasi berbeda. Kasus ini dilaporkan dengan bukti lapor LP-B/70/II/2020/Bali/Res Bdg, tanggal 22 Februari 2020.

4.Kapolres Badung meminta orangtua lebih aware kepada perubahan anak

unsplash/timmarshall

Kapolres Badung, AKBP Roby Septiadi, melihat kasus pencabulan ini terungkap setelah korbannya mengadukan perbuatan bejat tersebut kepada orang-orang terdekat dan keluarganya. Menurutnya, tiga kasus pencabulan anak ini lumayan banyak, apalagi di awal tahun 2020.

“Para orangtua untuk lebih peduli lagi dengan lingkungan pergaulan anak-anaknya ya kan, dan lebih open lagi memerhatikan perubahan-perubahan yang ada di anak kita, gitu kan. Jadi ada perubahan terkait mungkin perubahan fisik atau mungkin psikisnya, kejiwaannya itu harus mulai aware (Sadar) gitu lho,” ungkap Roby, Senin (24/2).

5.Penasihat Lembaga Bantuan Hukum Bali Woman Crisis Center tegaskan dalil suka sama suka pada persetubuhan anak tidak bisa dibenarkan

Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Pixabay.com/Pexels)

Pengacara sekaligus Penasihat Lembaga Bantuan Hukum Bali Woman Crisis Center (LBH Bali WCC), Ni Nengah Budawati (45), menyatakan bahwa dalil suka sama suka yang menjadi alasan hingga terjadinya persetubuhan anak di bawah umur, tidak dapat dibenarkan sama sekali. Terutama bagi para tenaga pendidik yang melakukan perbuatan bejat tersebut kepada anak didiknya.

Ia menilai, dengan adanya kejadian persetubuhan anak antara tenaga pendidik dan siswinya ini, ada kemunduran di dunia pendidikan.

“Sering masyarakat ungkapkan bahasa suka sama suka. Nggak ada itu dalil suka sama suka. Itu kan gurunya. Terkait sampai seorang guru, itu sudah luar biasa kejam karena dianggap sebagai pelindung tapi malah melakukan kejahatan. Kalau begini, perlu dicek sekolah-sekolah lain kemungkinan ada seperti itu,” tegas Budawati.

Menurut Budawati, para pelaku menganggap korban sudah dewasa. Karena dari fisiknya sudah besar meskipun kelas VI SD. Hal tersebut dijadikan alasan para pelaku untuk melakukan persetubuhan anak.

“Kelas VI SD itu agak berbodi bongsor, dianggap sudah besar. Menjadi alasan. Secara mindset, mindset si anak mau dan suka sama dia. Masyarakat juga berpikir begitu,” katanya.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Badung, I Ketut Widia Astika, kepada IDN Times hanya menjelaskan secara singkat bahwa pihaknya sangat prihatin atas kejadian tersebut.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ayu Afria Ulita Ermalia
Irma Yudistirani
Ayu Afria Ulita Ermalia
EditorAyu Afria Ulita Ermalia
Follow Us