Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pelecehan, kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)
ilustrasi pelecehan, kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Denpasar, IDN Times - Kasus kekerasan berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Denpasar selama triwulan I tahun 2025 sebanyak 20 kasus. Kekerasan ini meliputi fisik, psikis, dan seksual. Sementara, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara seksual ada 2 kasus. 

Kepala UPTD PPA Kota Denpasar, Gusti Ayu Sunarti, mengatakan jumlah kasus kekerasan di Kota Denpasar saat ini hampir sama dengan pendataan di triwulan pertama tahun 2025. Sementara secara asal korban dan pelaku, Sunarti mengatakan sebagian besar adalah bukan warga asli Kota Denpasar.

“Kebanyakan korban dan pelaku warga pendatang bukan warga asli Kota Denpasar,” ujar Sunarti. 

Kasus kekerasan seksual kerap terjadi di lingkungan terdekat korban. Kondisi ini kerap menimbulkan ketidakadilan terhadap hak-hak korban. Korban kerap dipaksa berdamai dengan pelaku, embel-embelnya dengan penyelesaian secara adat.

1. KPAD Bali akan atensi dan tindak tegas jika ada kekerasan seksual diselesaikan secara adat

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, menyampaikan pihaknya belum pernah menangani kasus kekerasan yang diselesaikan secara adat. Yastini menekankan, jika ada kasus kekerasan seksual diselesaikan secara adat, maka pihaknya akan segera mengirimkan laporan kepada aparat penegak hukum (APH) dan lembaga UPTD PPA setempat. 

“Kalau ada pengaduan dugaan akan didamaikan atau prosesnya terhambat, maka kami akan mengoordinasikan dengan polda untuk atensi dan juga kami menyurati ke polres/polresta,” kata Yastini.

Ia menegaskan, kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan secara adat. Sebab itu adalah tanda kemunduran pemajuan hak-hak bagi para korban.

2. Selain upaya hukum, perlu pendampingan dan pemulihan korban

ilustrasi pendampingan korban (pexels.com/shvets-production)

Selain upaya hukum hingga proses persidangan, penanganan korban kekerasan seksual tak dapat berhenti di sana. Ada langkah-langkah pendampingan dan pemulihan korban. Lembaga pelayanan pada tingkat kabupaten/kota, yakni UPTD PPA, berperan penting dalam proses ini. 

Yastini mengungkapkan, UPTD PPA juga mampu berperan sebagai pendamping bagi korban dalam pelaporan proses hukum kekerasan seksual.

“UPTD PPA agar melakukan pendampingan bagi korban dalam pelaporan dan proses hukumnya,” kata dia. 

3. Penyelesaian kekerasan seksual masih jauh dari pemenuhan keadilan korban

ilustrasi korban kekerasan (pexels.com/martproduction)

Berdasarkan Kajian Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Budaya: Pemaksaan Perkawinan yang ditulis Rostiawati Justina, penyelesaian kasus kekerasan seksual masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan korban, misalnya pemaksaan perkawinan. 

Menikahkan perempuan korban perkosaan dengan pelakunya, artinya ada pemaksaan hubungan seks dalam perkawinan. Justina menyatakan, potensi korban perempuan mengalami kekerasan seksual bisa terjadi kedua kalinya dan membahayakan kesehatan reproduksi korban.

Pemerintah tak dapat diam terhadap upaya-upaya memarjinalkan hak korban. Mereka harus aktif turun ke warga memberikan pemahaman, bahwa pemenuhan keadilan hukum dan hak-hak korban kekerasan seksual adalah fokus utama.

Editorial Team