Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
kamis manis bali
Kamis Manis Bali berdiskusi dengan anak muda di Lapangan Renon pada 29 November 2025 lalu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Denpasar, IDN Times - Pernak Piknik 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Lapangan Niti Mandala Renon, Kota Denpasar pada 29 November 2025 lalu menjadi ruang diskusi yang nyaman buat para pengunjungnya. Kelompok lingkaran kecil itu semakin membesar, karena dibuat penasaran mendengar cerita dari Komunitas Kamis Manis Bali tentang para perempuan di Papua yang menjadi korban kekerasan dan pembunuhan. Mereka mencontohkan kematian Ima Selepole dan Aminera Kabak.

Kedua perempuan ini diperkosa, dan dianiaya di area Kebun Kampung Baru Statistik Ujung, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Sekujur tubuhnya dipenuhi tusukan dan sayatan benda tajam. Aminera meninggal di tempat kejadian perkara (TKP) saat polisi tiba. Sedangkan Ima terluka para karena vaginanya disayat benda tajam. Ia meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit.

Kamis Manis Bali menggugah kesadaran bahwa membela hak asasi manusia (HAM) orang Papua bisa dari mana saja, termasuk di Bali. Koordinator Kamis Manis Bali, Renny Wanimbo, mengatakan kekerasan yang dialami perempuan Papua nyata adanya. Perempuan asal Papua ini mengamati, selama ini bingkai isu-isu terhadap Papua tidak cukup menggambarkan kejadian sebenarnya di Papua.

“Mereka (pengunjung Pernak Piknik 16 HAKTP) tidak tahu, yang mungkin mereka konsumsi hanya lewat media. Dengan adanya kegiatan hari ini, mereka bisa tahu bahwa hal-hal yang terjadi di Papua itu sangat benar kayak gitu,” tutur Renny kepada IDN Times, Sabtu (29/11/2025).

Jangan diam, lawan kekerasan dengan bersuara

Foto cerita para perempuan Papua yang menjadi korban kekerasan. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Selain perempuan Papua, bagi Renny, kekerasan juga membayangi perempuan di seluruh Indonesia. Jadi, melawan kekerasan adalah perjuangan utama, sebab kebebasan berpendapat termasuk sarana perjuangan yang telah diatur dalam undang-undang.

“Jangan diam pada hal-hal kekerasan. Kalau kami sudah rasa itu kekerasan, harus berbicara. Jangan diam, karena sudah ada hukum yang menjadi dasar,” tegasnya.

Renny meyakini, kesempatan bercerita tentang perjuangan perempuan Papua melawan kekerasan di Pernak Piknik 16 HAKTP ini mampu menumbuhkan kesadaran atas HAM di Papua. Ia juga menyoroti narasi yang beredar di media, tidak sepenuhnya menggambarkan berbagai kekerasan yang dialami orang Papua.

“Jadi mereka tidak jadi bimbang dengan narasi-narasi yang ada di media kayak gitu, karena mereka langsung bertanya kepada kami orang-orang Papua, dan kami menjelaskan sesuai apa yang terjadi di tanah Papua,” katanya.

Kegiatan diskusi ini membuatnya bersyukur karena dapat berbagi cerita. Sebagai orang asli Papua, Renny dapat membagikan kisah sebenarnya di Tanah Papua. Ia berharap kegiatan Pernak Piknik dapat berlangsung secara kontinu.

Edukasi hak asasi manusia dan kekerasan militer di Papua

Kamis Manis Bali berdiskusi dengan anak muda di Lapangan Renon pada 29 November 2025 lalu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Andreas Paulus Kurpay, yang juga dari Kamis Manis Bali, merasa senang terlibat sebagai kolaborator Pernak Piknik. Baginya, agenda ini dapat menjadi notifikasi bagi perempuan maupun laki-laki di luar Papua, bahwa kekerasan militer dan negara masih terjadi.

“Bagaimana kekerasan militer, kekerasan negara yang hari Ini terjadi di Papua, kawan-kawan bisa dapat mengetahuinya,” tutur Andreas. 

Ia tidak menyangka, pengunjung diskusi Kamis Manis Bali begitu antusias mendengarkan kisah mereka. Ia berharap kegiatan diskusi ini dapat berlangsung dua minggu sekali, atau sebulan sekali.

“Mungkin untuk kegiatan hari ini bisa sebulan sekali atau seminggu sekali atau dua minggu sekali begitu, karena sangat bagus begitu,” kata dia.

Memotivasi warga lainnya untuk berani bersuara

Kamis Manis Bali berdiskusi dengan anak muda di Lapangan Renon pada 29 November 2025 lalu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Andreas memaparkan, selama ini perempuan Papua berkutat dalam berbagai kekerasan. Penguasaan tambang membuat warga sekitar terpinggirkan dari hak-haknya. Posisi perempuan Papua kian terhimpit. Kekerasan militer dan bentuk lainnya membuat perempuan mengalami trauma dan ketakutan.

“Jadi ini (kekerasan) bukan menjadi kelemahan, tapi ini menjadi kekuatan untuk kawan-kawan lain yang di luar Papua juga bisa ikut sertakan untuk memperjuangkan,” tegas Andreas.

Ia juga berpesan bagi orang Papua, perempuan maupun laki-laki yang belum bersuara, agar mulai berbicara dan bercerita. Cerita yang dapat memotivasi perjuangan dan kebebasan berpendapat, termasuk berserikat.

Editorial Team