Karangasem, IDN Times - Nengah Sutami begitu lihai menggunakan sepeda motor manualnya melewati jalan tanjakan tak rata. Berkelok-kelok di antara bebatuan dan tanah. Dia sudah akrab dengan medan di sana hingga cekatan di tengah medan yang sulit.
Pemandangan sekeliling sangat indah. Pegunungan, hutan, semak belukar, dan jurang, tetapi tanjakannya begitu memacu adrenalin. Saya tidak fokus menikmati pemandangan itu karena medan lumayan menantang.
Sutami adalah perempuan dari Dusun Manikaji. Warga dusun ini, katanya melakukan berbagai upaya agar ada perbaikan jalan. Dia sempat membuat video kerusakan jalan itu bersama teman-teman sekolahnya.
“Usaha Tami sama teman-teman, pertama kami itu buat video dokumenter. Lalu kami presentasikan, sampai kami dapat beberapa semen untuk beton jalannya,” kata Sutami.
Namun, bantuan itu hanya menyentuh ujung Dusun Manikaji. Sisanya masih belum beraspal, termasuk jalan menuju rumah Sutami. Akses jalan ini cukup memengaruhi perekonomian di Dusun Manikaji. Hasil pertanian maupun peternakan sulit untuk mereka pasarkan.
Ibu Sutami, Ni Ketut Genten, bercerita harga jual sapi di Dusun Manikaji jauh lebih murah ketimbang di dataran rendah. Menurut Genten, harga murah karena ongkos angkut perjalanan ke desa di dataran rendah. Sedangkan ukuran sapi miliknya lebih besar.
“Sapi di sini (Dusun Manikaji) lebih besar, harga Rp13 juta. Sedangkan di bawah (desa di dataran rendah), sapi bisa Rp15 juta padahal lebih kurus,” katanya.
Beternak sapi dan berkebun adalah mata pencaharian sebagian besar warga di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Genten, dibantu Sutami mencari rumput gajah untuk makanan sapi saban hari.
Dalam sehari, mereka bisa dua sampai tiga kali mencari rumput. Saat pagi, siang, dan senja hari. Ketika Sutami sibuk dengan aktivitas sekolah dan sebagai Ketua OSIS, Genten akan mencari rumput sendirian.
Genten tetap mengutamakan pendidikan anaknya. Dia sendiri tidak bersekolah. Kemiskinan dan akses pendidikan tidak memadai menjadi hambatan dia kala itu. Saat usia 20-an, Genten menikah. Dia bertekad, anak-anaknya bersekolah dan meraih impian. Kini, dua kakak Sutami sudah bekerja di Jepang.
“Saya bersyukur anak-anak saya punya semangat belajar. Saya ingin mereka punya mimpi dan berpendidikan,” kata Genten.
Akses jalan buruk ini turut menghantui para petani di Desa Ban. Nengah Sudana, petani sekaligus Kelian (Pemimpin) Adat di Dusun Manikaji, berkata, jalan buruk mengakibatkan harga pupuk ikut meningkat.
“Sekarang yang masih menjadi kendala di pertaniannya itu pupuk. Terutama dari akses membeli pupuk itu agak mahal karena kendala jalannya,” katanya.
Sudana dan petani lain tidak hanya menghadapi masalah di harga pupuk. Harga jual hasil panen di kebun Sudana ikut terpuruk. Setiap kali panen raya, singkong dan labu siam hanya seharga Rp1.000 per kilogram. Tak jarang mereka buang begitu saja. Tengkulak juga enggan mengambil hasil panen di Dusun Manikaji. Tengkulak baru pergi ke Dusun Manikaji ketika panen minimal Rp15.000 ke atas.
“Paling Rp15.000 ke atas itu baru mau diambil ke sini. Bahkan jarang itu mau diambil ke sini. Paling saya nganter sampai ke bawah menjual hasil pertanian,” ujar Sudana.
Sengkarut jalan desa dan jalan kabupaten
Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat pada 2024, panjang jalan di Kabupaten Karangasem 1.421,40km (kilometer), 84,54 persen merupakan jalan kabupaten.
Kepala Desa Ban, I Gede Tamu Sugiharta, menjelaskan perbaikan atas jalan rusak di desa terbagi berdasarkan status jalannya. Jalan di Dusun Manikaji dan sekitar 18km jalan di seluruh Desa Ban berstatus jalan kabupaten.
Tidak hanya jalan Dusun Manikaji, jalan kabupaten juga perlu perbaikan seperti Jalan Banjar Dinas Dulndungan menuju SD Negeri 4 Ban, Jalan Banjar Dinas Manikaji, Jalan Banjar Dinas Darmaji, Jalan Banjar Dinas Jatituhu, Jalan Banjar Dinas Bunga, dan Jalan Banjar Dinas Belong.
Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Karangasem, Wedasmara, mengatakan ada empat jalan kabupaten sedang dalam perbaikan dengan nilai anggaran Rp6,4 miliar. Yakni Jalan Dlundungan menuju Asti di Kecamatan Kubu, Jalan Dlundungan menuju Darmaji di Kecamatan Kubu, Jalan Batuampin–Kombang (Kecamatan Bebandem), dan Jalan Lean menuju Jalan Bangle di Desa Bunutan, Kecamatan Abang. Mereka ada rencana memperbaiki jalan di Dusun Manikaji dan sekitar.
“Kalau rencana sih ada. Banyak jalan yang kita rencanakan dan usulkan untuk diperbaiki. Tapi harus didukung anggaran yang cukup,” kata Wedasmara.
Kelian Desa Adat Manikaji, Sudana, bercerita proposal perbaikan jalan telah mereka usulkan ke Pemerintah Karangasem. Proposalnya menjadi satu dengan beberapa titik jalan yang rusak di Desa Ban.
Ada berbagai kendala perbaikan jalan di Dusun Manikaji. Kata Sudana, aspal hotmix sepanjang satu kilometer di Manikaji, nilainya lebih dari Rp1 miliar. Dia menduga, nilai proyek besar dengan akses jalan yang sulit membuat proyek ini memiliki tingkat risiko tinggi dan kerugian yang pasti.
“Jadi tingkat kerugian kontraktor untuk menalangi jalan-jalan seperti ini, kerugiannya sudah pasti. Makanya banyak kontaktor menolak kerja di sini.”
Pada 2024, kata Sudana, jalan Dusun Manikaji gagal tender, alias kontraktor tidak ingin mengambil proyek perbaikan jalan di desa ini. “Padahal jalan ada beberapa juga selain di sini, tapi tendernya gak mau ngambil,” katanya.
Berdamai dengan kondisi dan krisis air
Selain akses jalan, pertanian di Dusun Manikaji juga menghadapi kendala cuaca. Untuk tahun ini saja, kata Sudana, intensitas hujan tinggi, termasuk angin kencang. Biasanya angin kencang hanya terjadi 3-4 kali dalam satu tahun. Sekarang, dari Januari–April 2025, sudah tiga kali dan sangat berpengaruh terhadap musim panen.
Para petani ada kemungkinan gagal panen untuk tahun ini. Sudana mengungkapkan, petani di Desa Ban biasanya menanam palawija seperti kacang undis. Ada juga jenis tanaman lainnya seperti cabai, singkong, dan labu siam.
“Waktu bertani itu agak berkurang. Terus hasilnya itu kalau hujan terus-menerus, kan pertumbuhannya gak bagus khusus di sini (Dusun Manikaji). Kalau daerah-daerah lain mungkin bisa. Kalau di sini drastis. Soalnya musim panas, terlalu panas. Musim hujan, terlalu lembap di sini,” kata Sudana.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam laman resminya menyatakan, awal 2025, Indonesia, termasuk Bali–diwarnai hujan lebat hingga sangat lebat dengan angin kencang akibat Angin Monsun Asia dan La Nina. Sedangkan awal April–Juni, cuaca di Indonesia termasuk Bali, mulai memasuki peralihan musim kemarau.
Kondisi ini, katanya, ditandai suhu terik sejak pagi hingga siang hari, diikuti angin kencang dan hujan lokal dari sore hingga malam, namun tidak merata.
Ketika musim kering (kemarau) tiba, mereka kesulitan air bersih. Para petani Dusun Manikaji pun lebih memprioritaskan kebutuhan air untuk sehari-hari seperti minum, mandi, cuci, dan minuman ternak. Jadi mereka mengandalkan tabungan air hujan. Masing-masing keluarga memiliki cubang (tempat menampung air hujan).
Cubang ini berbentuk seperti kolam beratap, dengan kedalaman sekitar tiga meteran. Di bagian lisplang atau bawah atap genting rumah, terpasang bambu untuk mengalirkan air hujan ke cubang. Apabila air cubang menipis, mereka akan mencari ke sumber mata air yang berjarak 5–6 kilometer di atas Gunung Abang, di antara jurang.
Pada 2021, Dusun Manikaji dengan tiga dusun lain: Panek, Kaliaga, dan Pasti mendapat bantuan pipa galvanis sepanjang 3.000 meter dari donatur. Pipa ini untuk mengalirkan Mata Air Puncak Sari ke empat dusun itu, yang dikelola berkelompok.
Namun, pada 29-31 Oktober 2023, hutan di kawasan Manikaji kebakaran mencapai lebih 100 hektare dipicu cuaca panas. Peristiwa ini turut membakar pipa bantuan ini. Dusun Manikaji pun tidak dapat memanfaatkan pipa itu. Cubang begitu penting untuk warga. Kalau tidak punya cubang, mereka pasti tidak bisa beternak.
“Paling untuk minum saja sudah bersyukur. Untuk masak juga. Ada 2–5 keluarga yang tidak punya cubang. Mereka minta ke tetangga atau saudara. Ada sumber air kecil yang hanya cukup untuk 5-10 keluarga,” kata Sudana.
Berjibaku meraih hak atas air
Desa Ban dikelilingi tiga gunung. Yaitu Gunung Abang, Bukit Trunyan, dan Gunung Agung. Tanah di desa ini terbentuk dari aktivitas vulkanik Gunung Abang, dan Gunung Agung. Menurut Wakil Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bali, Oka Agastya, secara geologi, struktur tanah dan batuan di Desa Ban terbagi menjadi dua.
Pertama, tanah andisol. Tanah ini merupakan hasil dari pelapukan abu vulkanik muda yang bersumber dari Gunung Agung. Ciri-cirinya, warna tanah cenderung gelap, gembur, kaya bahan organik, dan memiliki daya serap air tinggi.
Kedua, tanah regosol. Tanah ini berasal dari pelapukan abu vulkanik yang belum mengalami pelapukan lanjut. Biasanya tersebar di sekitar Gunung Agung. Ciri-cirinya bertekstur kasar seperti kerikil-pasir kasar, warna cenderung abu-abu, hingga cokelat muda dengan kandungan humus rendah, dan daya serap airnya tinggi. Namun kelulusan air yang tinggi juga menyebabkan air tidak mudah terperangkap di lapisan tanah ini.
“Kedua jenis tanah ini tidak lepas dari aktivitas vulkanik, baik dari Gunung Abang di masa lalu, hingga Gunung Agung yang masih aktif saat ini,” kata Oka.
Sedangkan dari kondisi geologinya, Desa Ban dan sekitar tersusun atas batuan breksi vulkanik dan lava berkomposisi andesitik dari Formasi Kelompok Gunung Api Buyan, Beratan, dan Batur Purba. Ini diperkirakan terbentuk 30.000 tahun yang lalu dari aktivitas letusan Gunung Abang. Batuan paling muda yang ditemukan seperti tuff, lapili, dan breksi vulkanik. Breksi vulkanik ini bersumber dari Gunung Agung yang masih aktif hingga kini.
Kedua kondisi geologi ini, kata Oka, pastinya akan mengontrol sebaran air tanah dan air permukaan yang terdapat di daerah tersebut. Begitu juga kondisi topografi turut memengaruhi pola aliran air permukaan dan air tanah. Umumnya, Desa Ban dan sekitar yang berada di daerah kaki gunung api mempunyai potensi pemunculan mata air, terutama di daerah-daerah kontak lapisan batuan atau tebing.
Secara kepadatan, sumber air sangat dipengaruhi kondisi daerah resapan atau hulu. Keberadaan hutan atau vegetasi di daerah hulu sangat berperan penting dalam memerangkap, dan menyalurkan air hujan melalui akar-akarnya yang dapat memperlambat aliran permukaan (run-off). Sehingga air hujan optimal meresap ke tanah dan batuan.
Sutami pernah bercerita kalau dia dan teman-temannya pernah melakukan gerakan menanam di Lereng Gunung Abang. Tapi mereka kesulitan untuk merawatnya. Potensi kebakaran hutan di lereng gunung itu besar, apalagi pernah terjadi pada 29-31 Oktober 2023 karena cuaca panas. Kondisi ini, kata Oka, juga membuat kelangkaan air karena rentannya kebakaran hutan terjadi secara alami, ataupun ulah manusia saat pembukaan lahan pertanian.
“Selain itu, dampak perubahan iklim juga membuat kemampuan kita dalam mengelola daerah krisis air menjadi sulit. Karena tidak terprediksinya kapan musim hujan dan kemarau,” katanya.
Lantas, upaya realistis seperti apa untuk membantu pendistribusian air? Oka berpendapat, kendala distribusi air di sana lebih ke kondisi topografi. Sumber air, katanya, kebanyakan berada di daerah bawah atau dekat ceruk maupun jurang atau sungai.
Jadi, upaya paling memungkinkan adalah warga harus membuat pompa untuk menyalurkan ke bak penampungan di daerah lebih tinggi. Dari sini, katanya, akan terdistribusi melalui pipa ke beberapa rumah, dengan metode gravitasi.
Metode seperti itu sudah cukup lumrah digunakan di daerah pegunungan, termasuk beberapa daerah lain di Karangasem. Namun, kata Oka, kendala terbesarnya investasi sarana. Opsi lain, melalui kelompok-kelompok warga dengan membuat pengelola air berbasis komunitas. Ini bisa menjadi solusi dari warga untuk warga.
Menurut Oka misalkan, pertama, iuran untuk investasi sarana pompa, bak penampung air, hingga pipa penyalur. Kedua, warga bisa memetakan secara partisipatif sumber-sumber air alternatif, seperti mencari mata air yang mungkin dulu hilang direstorasi kembali dan lainnya.
Penganggaran dari pemerintah juga sangat dibutuhkan, karena biayanya cukup mahal. Jadi semua sangat bergantung pada kondisi lapangan.
“Memang, warga jadinya mesti berinvestasi pada sarana distribusi air. Tetapi PDAM atau perwakilan pemerintah daerah juga punya modal finansial untuk menginvestasikan sarana dan prasarana air,” ujarnya.
Sengkarut kondisi hak atas air di Bali adalah cerminan kondisi pengelolaan air di Indonesia. Staf Riset dan Kampanye Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), Sigit Karyadi Budiono, sejatinya warga Indonesia telah berupaya menghentikan praktik privatisasi air.
Cara tersebut melalui rekonstruksi kebijakan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Uji materi itu menegaskan bahwa air sebagai hak prioritas warga. Sigit memaparkan, kategori hak prioritas itu memuat kebutuhan air untuk konsumsi, rumah tangga, kebencanaan, pertanian rakyat, dan sebagainya.
“Hak prioritas itu harus diutamakan terlebih dahulu sebelum digunakan oleh kalangan bisnis, usaha, industri dan lain sebagainya,” kata Sigit.
Namun, hasil uji materi itu belum terimplementasi seutuhnya karena Sigit mengamati sistem distribusi air dari negara masih berorientasi pada bisnis atau komersialisasi. Kata Sigit, uji materi atas pasal bermasalah dalam UU Sumber Daya Air hanya batal di atas kebijakan. Namun, dominasi cara pandang ekonomi dalam mengelola air masih mengakar kuat.
Komersialisasi air akan berimplikasi pada sederet dampak seperti kerusakan sumber-sumber air, pencemaran akibat pengambilan air skala besar, dan lainnya. Sehingga, bagi Sigit, pembenahan infrastruktur tidak akan berdampak apabila orientasi negara masih tidak fokus pada air sebagai hak. Alhasil, jika instalasi air telah ada tetapi kemampuan warga mengakses air masih buruk karena harga yang mahal. Maka, fenomena itu adalah bentuk komersialisasi air yang akan berdampak pada sulitnya mengurai krisis air
Sigit berkata, keadilan atas air mungkin dilakukan dengan prinsip hak dalam model pengelolaan air. Misalnya, warga memiliki hak untuk berembuk atas tarif air yang akan mereka bayar. Maupun pengelolaan air oleh komunitas yang berorientasi pada hak. Sigit menegaskan, siapa pun lembaga pengelola airnya, jika masih berorientasi kepada air sebagai komoditas, maka akan sulit mencapai keadilan hak atas air.
“Siapa pun lembaganya, orientasinya harus kepada penghormatan, perlindungan, maupun pemenuhan hak atas air gitu,” ujarnya.