Supanji mengaku, pemeliharaan kawasan WBD Subak Jatiluwih tidak ada dana yang diberikan oleh UNESCO sebagai pemberi status WBD.
“Tidak ada dana dari UNESCO. Tolong dicatat itu,” tegasnya.
Selain itu, menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya poin 22, bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya.
Dalam poin 33 menyebutkan, pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
“Artinya harus kita manfaatkan untuk bisa melindungi kawasan itu. Kalau tidak dimanfaatkan kan jadinya rusak,” ujar Supanji.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Pemkab Tabanan, disebutkan bahwa warga asli Jatiluwih belum merasakan dampak langsung dari status WBD yang ditetapkan oleh UNESCO.
Seorang warga Jatiluwih, I Gede Eka Wiguna, saat ditemui tim Humas Pemkab Tabanan di Kantor Perbekel Jatiluwih, Rabu (8/5) lalu, menyebutkan, dirinya kurang paham tentang WBD dan orang-orangnya seperti apa, serta apa imbas dari predikat tersebut.
“Tetapi kami yakin bila lembaga dunia (UNESCO) mengakui sistem subak di Jatiluwih, tentu karena ada keistimewaan tersendiri, meski secara langsung faedah status sebagai WBD belum dirasakan,” ujarnya.
Warga Banjar Jatiluwih Kangin, I Nengah Wirata, juga menyebutkan petani di Jatiluwih sudah menjaga lahan pertanian dengan sistem subak. Para petani di sana hanya meminta untuk dibantu pemeliharaan saluran air sehingga tidak bocor, dan sawah tetap mempunyai air.
“Kalau bisa digratiskan pajak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya sehingga beban kami makin ringan. Tolong jangan berpolemik tentang Jatiluwih bila memang belum melihat dan mendengar keadaan kami. Jangan hanya mendengarkan dari sumber yang kurang jelas,” ungkapnya.