Istilah Rojali-Rocita Seolah Menyudutkan Pengunjung Mal

Gianyar, IDN Times - Rombongan jarang beli (rojali) sampai rombongan cuci mata (rocita), hingga berbagai istilah lainnya. Semuanya merujuk pada satu kondisi, yaitu lemahnya daya beli di Indonesia. Dayu Widiari, pekerja magang kantor hukum di Bali, mengaku baru pertama kali mendengar istilah rojali dan rocita.
“Rojali dan rocita sebenarnya istilah baru yang saya dengar,” kata Dayu kepada IDN Times Rabu lalu, 20 Agustus 2025.
Dayu berselancar sejenak untuk mengetahui makna dari istilah rojali dan rocita. Baginya, sebelum istilah itu merebak, pola masyarakat untuk melihat-lihat saja ke mal telah terjadi sejak lama.
“Pola masyarakat untuk datang ke mal sekadar melihat atau cuci mata, tidak membeli rasanya memang sudah marak terjadi sejak dulu,” lanjutnya.
Lalu, bagaimana anak muda di Bali memaknai istilah rojali dan rocita ini? Berikut informasi selengkapnya.
1. Sebelum ke mal, Dayu telah berencana membeli sesuatu

Alih-alih mal, Dayu mengatakan beberapa lokasi melepas penat favoritnya adalah kedai makan bakmi ayam di daerah Renon, Pantai Sanur, hingga Taman Baca Kesiman. Sebelum ke lokasi bercengkrama dan makan-makan, Dayu telah menyesuaikan bujetnya. Kebiasaannya ini membuat Dayu jarang ke mal.
“Saya cukup jarang ke mal. Mungkin sebulan hanya 1 kali atau bahkan tidak. Tergantung ada yang ingin dibeli,” jelas perempuan berusia 22 tahun itu.
Sebelum berkunjung ke mal, Dayu telah merencanakan pembelian. Ia tidak pernah ke mal tanpa rencana membeli benda tertentu, seperti pakaian maupun hadiah kecil untut beberapa acara. Dayu memandang mal sebagai ruang konsumsi. Sebab mal tidak menjadi pilihan utama baginya untuk melepas penat.
2. Mal jadi tempat melihat-lihat, survei produk langsung, belanjanya lewat marketplace

Fitarini, seorang mahasiswa kampus ternama di Bali mengaku relate (sepaham) dengan istilah rojali dan rocita. Sebab ia merasa itu. Perempuan berusia 20 tahun ini berkata, rojali-rocita sesuai dengan kondisinya saat ini sebagai mahasiswa. Ia menjadikan mal sebagai tempat rekreasi sekaligus survei produk secara luring.
“Mungkin untuk anak-anak muda, jujur yang gak ada duit dari orangtua segala macam, yang bekal pas-pasan itu kayak jadiin mal sebagai tempat untuk melihat-lihat secara real life (langsung),” jelas perempuan yang karib disapa Fita ini, pada Sabtu (23/08/2025).
Fita mencontohkan saat dirinya ingin membeli merek produk perawatan kulit hingga kosmetik, Ia akan ke mal untuk mencoba produk uji coba yang biasa terlihat di setiap toko. Cara itu memudahkannya untuk berbelanja di toko daring (e-marketplace). Karena bagi Fita, belanja di toko daring jauh lebih murah daripada di mal.
Senada dengan Fita, Dayu mengatakan sejak ada toko daring, pola konsumsinya berubah. Kini, Ia kerap mengeksplorasi berbagai jenis makanan lewat toko daring, yang sebelumnya asing bagi Dayu. Ia juga kerap melihat inspirasi pakaian lewat toko daring.
3. Sinyal daya beli warga melemah, otoritas tak boleh lengah

Bagi Fita, istilah rojali-rocita akan cukup mengganggu jika terus-menerus diulang. Sebab, tak ada yang salah dari melihat-lihat tanpa berbelanja di mal. Istilah rojali-rocita seolah menyudutkan pengunjung mal yang tidak berbelanja karena daya beli masyarakat sedang melemah.
“Kayaknya gak ada salahnya sih kita cuma cuci mata yang mungkin kayak little bit annoying (sedikit mengganggu), kalau misalkan ditekan-tekan (produknya), terus kayak itu (istilah rojali-rocita),” papar Fita.
Ia melanjutkan, fenomena pengunjung mal tak berbelanja adalah sinyal melemahnya daya beli dan ekonomi. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK), pajak melambung tinggi, dan persoalan lainnya menimbulkan kecemasan atas situasi ekonomi masyarakat Indonesia. Kebiasaan untuk berbelanja di mal sebelumnya sulit dilepas karena telah menjadi gaya hidup.
Fita berkata, “mungkin sebelumnya kayak suka belanja segala macam, tapi ya karena kemampuan yang menurun, gak ada uang gitu. Jadi kayak prefer (cenderung) untuk ngelihat-ngelihat aja.”