PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di Sungai

Bisa gak ya Indonesia punya sanitasi layak pada tahun 2030?

Mina (51) dan keponakannya harus mengantre bersama ratusan orang setiap mau buang air besar (BAB) di ponten (jamban) umum. Seharian bisa sampai tiga orang yang mengantre. Ia pun harus mengeluarkan Rp1.000 kalau mau BAB di sana. Mina tak punya jamban pribadi di rumahnya. Ukuran rumahnya saja 3x4 meter dan berdiri di bantaran rel kereta daerah Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Simokerto, Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

Denpasar, IDN Times - Mina sudah puluhan tahun tinggal di bantaran rel kereta. Mending mengantre di jamban umum ketimbang buang air besar sembarangan (BABS) di kali (sungai). Bukannya tak mau memiliki jamban pribadi, Mina saja bersyukur sudah bisa membangun kamar mandi beberapa bulan lalu. Setidaknya itu mengurangi ketergantungannya pada jamban umum.

"Aslinya kepengin, tapi ya gimana gak punya uang. Saya gak ada uang. Bisa saja kalau dibuat jamban, pokoknya ada biayanya," kata Mina kepada IDN Times, Sabtu (3/6/2023).

Jamban umum ini merupakan bantuan dari pihak luar, yang dikelola oleh Yani. Dari enam unit toilet, hanya satu toilet yang rusak dan otomatis tidak dapat digunakan. Penggunaannya memang untuk orang-orang yang tinggal di bantaran kereta. Terkadang ada orang lain yang numpang BAB di sini.

Yani membersihkan tempat tersebut setiap hari, dan memakai jasa sedot WC setahun sekali. Namun kalau lagi hujan-hujanan, dikurasnya harus 10 bulan sekali. Ia mengaku pendapatannya mulai menurun. Sebab masyarakat sudah banyak yang memiliki jamban sendiri.

"Sekarang sehari dapat Rp30 ribu. Kalau dulu ya lebih dari itu," ujar Yani.

Ada 60 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di bantaran rel kereta Kelurahan Tambakrejo, dan tak semuanya memiliki jamban pribadi. Meski begitu, perlahan-lahan mereka mulai berinisiatif membuat jamban sendiri.

"Jumlah Kepala Keluarga (KK) di sini ada 60. Satu rumah ada yang dua tiga KK, tapi tidak semua memiliki jamban," kata Ketua RT setempat, Ahmad Husaini.

Lain cerita dengan Sunarti, yang sama-sama tinggal di bantaran rel kereta tapi di daerah Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Surabaya. Dulu ia sama seperti Mina, yaitu pengguna jamban umum. Namun awal tahun 2000-an, ia membangun jamban sendiri di rumahnya. Bukan memakai uang pribadi, ia berinisiatif meminta bantuan ke Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui puskesmas setempat. Kini semua warga di sana punya jamban sendiri meski tinggal di atas tanah milik KAI (Kereta Api Indonesia).

"Kalau campur (jamban umum) kan gak enak. Kalau satunya bersihan satu enggak kan gimana. Kalau punya sendiri kan enak," tutur Wakil Ketua RT tersebut.

Beralih ke kawasan Cikaso, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Puluhan lubang pipa paralon pembuangan limbah rumah tangga di kawasan ini banyak yang mengarah ke Sungai Solokan. Dari air sisa bekas mandi, air cuci piring, hingga tinja terbuang ke sungai. Dayat, warga Cikaso, mengakui bahwa limbah di jamban rumahnya memang tidak masuk ke dalam septic tank. Rumahnya sendiri berada di kawasan padat penduduk dengan lahan terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat septic tank. Makanya ia memanfaatkan sungai di depan rumah sebagai tempat pembuangan.

"Dari dulu. Bukan cuma rumah saya, banyak rumah yang memang buang kotorannya langsung ke sungai," kata Dayat kepada IDN Times, Jumat (2/6/2023).

Sebenarnya ada jamban komunal (jamban digunakan lebih dari satu keluarga) di daerah itu. Namun kata Dayat, kondisinya tidak nyaman. Selain itu, hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet yang bisa dipakai. Sehingga warga lebih memilih BAB di rumahnya sendiri.

"Adanya seperti ini, jadi kita manfaatkan saja. Susah juga kalau sekarang harus buat septic tank pas rumah udah ada kan?" sebutnya.

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di SungaiInfografis Persentase rumah tangga sanitasi layak di Indonesia tahun 2022. (IDN Times/Sukma Shakti)

Cerita-cerita Mina, Yani, Sunarti, dan Dayat adalah gambaran kecil di lapangan bahwa warga Indonesia belum memiliki akses sanitasi layak. Menurut UNICEF, hampir 25 juta orang Indonesia tidak memakai toilet. Mereka memilih BAB di sungai, ladang, parit, hutan, dan ruang terbuka lainnya. Belum lagi, pembuangan limbah tinjanya yang tidak dikelola dengan baik berisiko menyebarkan penyakit diare. Lalu data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2023 menyebutkan 30,15 juta jiwa masih BABS dari total 287,76 juta (jiwa) penduduk Indonesia.

PBB memiliki target untuk menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs] atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Satu di antara targetnya (termasuk Indonesia) adalah semua orang memiliki akses universal terhadap air bersih dan sanitasi layak pada tahun 2030. Jadi, Indonesia menargetkan 100 persen rumah tangga bersanitasi layak pada tahun 2030.

Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun 2022 sebesar 80,92 persen. Masih tersisa 19,08 persen rumah tangga lagi untuk mengejar akses sanitasi layak. Atau setidaknya Pemerintah Indonesia harus memperbaiki akses sanitasi tidak layak minimal 2,4 persen per tahun.

Kira-kira pemerintah daerah sudah melakukan upaya apa saja ya untuk memenuhi target tersebut, dan apa kendala sebenarnya? Berikut ini hasil liputan kolaborasi 12 regional IDN Times.

Antara akses sanitasi layak, perilaku warga, hingga ikut perkataan orang tua zaman dulu 'jangan BAB di dalam rumah'

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di Sungai(IDN Times/Sukma Shakti)

Seluruh kabupaten/kota di Indonesia kini mengejar target 100 persen Open Defecation Free (ODF) atau memiliki perilaku bebas buang air besar sembarangan (BABS). Provinsi Lampung mengklaim lima daerahnya telah mendeklarasikan ODF yaitu Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Pringsewu. Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Febri Ekawati, menyebutkan pencapaian ODF tersebut artinya warga mendapatkan akses air bersih dan sanitasi yang layak. Kalau secara akses dan fasilitas mungkin bisa terpenuhi. Karena faktanya, Kota Metro termasuk daerah kecil yang mudah dijangkau dan kesadaran warganya cukup tinggi.

Klaim ODF itu juga belum tentu menjamin 100 persen warga konsisten tidak berperilaku BABS. Ia menilai, perilaku manusia bisa berubah-ubah jika tidak diawasi dengan benar. Tugas pemerintah kabupaten/kota seharusnya terus melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Febrilia mengambil contoh Kabupaten Pringsewu yang sudah mendeklarasikan ODF tahun 2017. Namun dari laporan yang ia terima, warganya kembali BABS ke sungai.

“Ya itu kalau secara fasilitas, mereka sudah memiliki sarana toilet yang sehat. Tapi kalau perilakunya kembali seperti dulu ya sama saja. Soalnya kita kan dapat laporan dari masyarakat dan kawan jurnalis di sana, warganya kembali lagi (BABS) ke kolam dan sungai,” ungkapnya, Jumat (2/6/2023).

ODF perlu mendapatkan perhatian khusus. Menurut data YKWS, 6 kabupaten/kota di Provinsi Lampung memiliki akses sanitasi dan air bersih terendah. Sebut saja Pesisir Barat, Tanggamus, Pesawaran, Bandar Lampung, Mesuji, dan Lampung Utara.

Kalau bicara soal data, kondisi itu juga ditemukan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Hanya 38 desa dari total 133 desa di Kabupaten Tabanan yang masuk dalam kategori ODF pada tahun 2022. Berikut ini wilayahnya:

  • Kecamatan Pupuan: Desa Munduk Temu, Desa Belatungan, Desa Padangan, Desa Sanda, Desa Pupuan Sawah, Desa Pajahan, dan Desa Pupuan
  • Kecamatan Kediri: Desa Pejaten, Desa Beraban, Desa Cepaka, dan Desa Nyambu
  • Kecamatan Kerambitan: Desa Kesiut, Desa Timpag, Desa Kukuh, dan Desa Kerambitan
  • Kecamatan Marga: Desa Tua, Desa Peken Blayu, Desa Selanbawak, Desa Marga Dajan Puri, dan Desa Cau Belayu
  • Kecamatan Penebel: Desa Jatiluwih dan Desa Buruan
  • Kecamatan Selemadeg: Desa Bajera Utara, Desa Manikyang, Desa Serampingan, Desa Wanagiri Kauh, dan Desa Selemadeg
  • Kecamatan Selemadeg Timur: Desa Bantas, Desa Gadungan, Desa Megati, Desa Beraban, Desa Tangguntiti, Desa Tegalmengkeb, dan Desa Mambang
  • Kecamatan Selemadeg Barat: Desa Mundeh, Desa Mundeh Kauh, Desa Angkah, dan Desa Lalang Linggah.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Tabanan, I Made Supardi Yadnya, mengungkapkan akses sanitasi layak di Kabupaten Tabanan berdasarkan data nasional sudah mencapai 97,6 persen. Tapi 2,4 persen warganya belum terakses sanitasi layak.

"Untuk mencapai ODF itu, seluruh KK dalam satu desa harus memiliki jamban sehat. Jadi apabila ada satu saja yang tidak memiliki atau masih BABS, maka ODF tidak bisa dideklarasikan," ujarnya.

Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Menurut Supardi, warga tidak punya jamban karena alasan ekonomi, ada yang punya jamban di samping aliran sungai atau got, hingga lahan untuk lokasi membangun septic tank tidak cukup.

Sebagai pusat pariwisata internasional, Nusa Penida adalah Kecamatan di Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali yang warganya juga paling banyak tidak memiliki jamban. Sebanyak 325 KK di Kecamatan Nusa Penida tidak memiliki jamban. Sedangkan sisanya, 45 KK, ada di Klungkung Daratan (Meliputi Kecamatan Dawan, Kecamatan Banjarangkan, Kecamatan Klungkung).

Nampaknya daerah-daerah yang dikelilingi sungai besar ini memang punya permasalahan serupa. Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan ini contohnya. Mayoritas warganya lebih memilih membuang hasil limbah tinja ke bantaran sungai. Dalam catatan Ketua Forum Kota Sehat Kota Banjarmasin, Faturrahman, sekitar 14 ribu saluran jamban di sana dibuang ke sungai.

"Ini terus kita perjuangkan agar perlahan berkurang (membuang limbah tinja ke sungai). Harapannya warga bisa mengerti dan sadar," katanya.

Status jamban-jamban tersebut terbagi dalam dua kriteria. Pertama, jamban tertutup yang dimiliki satu keluarga tertentu. Kedua, jamban terbuka yang dimanfaatkan bersama oleh kelompok warga di suatu wilayah. Tetapi apalah arti jamban tertutup dan terbuka, jika mereka tetap membuang limbahnya langsung ke aliran sungai, tanpa ada fasilitas sanitasi maupun filter untuk menyaring tinja.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Serang, Provinsi Banten, mencatat 29.753 KK di Kota Serang masih berperilaku BABS pada tahun 2020. Rinciannya adalah:

  • Kecamatan Kasemen: 8.216 KK (menjadi daerah terbanyak BAB di kebun)
  • Kecamatan Curug: 6.036 KK
  • Kecamatan Serang: 5.449 KK
  • Kecamatan Walantaka: 5.189 KK
  • Kecamatan Taktakan 4.328 KK
  • Kecamatan Cipocok: 641 KK.

Menariknya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, Muhammad Ikbal, menyebutkan warga yang BAB di kebun masih memegang perkataan orang tua zaman dulu, yaitu "Jangan BAB di dalam rumah."

"Penyebabnya tingkat pengetahuan dan kesadaran yang masih rendah. Selain itu tidak ada air bersih dan warga tidak mampu," kata Ikbal, Rabu (12/2/2022) lalu.

Sementara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) baru 6,28 persen warga yang memiliki sanitasi aman. Masing-masing tersebar di tujuh kabupaten/kota (Data Dinas Kesehatan Provinsi NTB per 24 Mei 2023):

  • Lombok Barat: 19,82 persen
  • Lombok Tengah: 3 persen
  • Sumbawa: 6,53 persen
  • Dompu: 1,93 persen
  • Bima: 11,12 persen
  • Sumbawa Barat: 17,74 persen
  • Kota Bima: 13,52 persen.

Akses sanitasi aman adalah fasilitas sanitasi rumah tangga yang terhubung dengan septic tank, atau terhubung dengan sistem perpipaan yang diolah melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD). Akses sanitasi yang masuk kategori aman umumnya disedot rutin satu kali selama 3-5 tahun, lumpur tinja diolah lebih lanjut ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), dan merupakan Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL).

Sedangkan sanitasi layak di Provinsi NTB telah mencapai 98,7 persen atau 1.525.025 KK. Warga NTB yang sudah punya akses fasilitas sanitasi layak 100 persen tersebar di tujuh kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Lombok Utara dan Kota Bima. Sedangkan Dompu baru 94,14 persen warga yang punya akses sanitasi layak; Bima 92,08 persen; dan Kota Mataram 95,69 persen.

Akses sanitasi layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan. Syarat itu di antaranya kloset menggunakan leher angsa; tempat pengolahan setempat tinja menggunakan tangki septik kedap dan dilengkapi unit pengolahan lanjutan untuk wilayah perkotaan; atau kloset dengan leher angsa dilengkapi lubang penampungan pada bagian bawah untuk wilayah pedesaan.

Syarat untuk memenuhi ODF dan kriteria jamban sehat

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di SungaiInfografis pengertian BABS dan ODF (IDN Times/Sukma Shakti)

Merujuk pada laman dinkes.batangharikab.go.id, satu komunitas warga telah memenuhi syarat ODF apabila:

  1. Semua warga telah BAB hanya di jamban dan membuang tinja/kotoran bayi hanya ke jamban
  2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar
  3. Tidak ada bau tidak sedap akibat pembuangan tinja/kotoran manusia
  4. Ada peningkatan kualitas jamban supaya semua menuju jamban sehat
  5. Ada mekanisme monitoring peningkatan kualitas jamban
  6. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh warga untuk mencegah kejadian BABS
  7. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat warga untuk mencapai 100 persen KK mempunyai jamban sehat
  8. Sekolah di komunitas tersebut menyediakan sarana jamban dan tempat cuci tangan (dengan sabun) yang dapat digunakan murid-murid pada jam sekolah
  9. Analisa kekuatan kelembagaan di kabupaten menjadi sangat penting untuk menciptakan kelembagaan, dan mekanisme pelaksanaan kegiatan yang efektif serta efisien sehingga tujuan masyarakat ODF dapat tercapai.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kriteria jamban sehat harus memenuhi syarat di antaranya:

  1. Tidak mencemari air
  2. Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau, sungai, dan laut
  3. Tidak mencemari tanah permukaan
  4. Tidak BABS di kebun, pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian
  5. Bebas dari serangga
  6. Jika menggunakan bak atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
  7. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang nyamuk. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung harus tertutup
  8. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
  9. Aman digunakan oleh pemakainya
  10. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran dengan pasangan batu atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lain yang ada di daerah setempat
  11. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
  12. Lantai jamban rata dan miring ke arah saluran lubang kotoran. Jangan membuang plastik, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena dapat menyumbat saluran. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena
    jamban akan cepat penuh. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati.
    Gunakan pipa berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
  13. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
  14. Jamban harus berdinding dan berpintu. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap, sehingga pemakainya terhindar dari kehujanan dan kepanasan.

Pendanaan tidak akan menjadi kendala jika ada komitmen. Warga dan pemda setempat harus saling mendukung

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di SungaiPonten umum di bantaran rel kereta kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Simokerto Surabaya. (IDN Times/khusnul Hasana).

Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Febri Ekawati, menggandeng beberapa pihak seperti sanitarian puskesmas untuk mengumpulkan warga di satu kelurahan atau desa yang akses sanitasinya buruk. Targetnya adalah mengubah pola warga untuk berpikir hidup sehat. Misalnya, dampak buruk air yang kotor itu seperti apa, dampak makanan yang terkontaminasi lalat terhadap kesehatan apa saja, dan lainnya. Tapi tentu saja pendekatan seperti ini tidak mudah dan tidak bisa instan.

Untuk itu ia juga mendekati tokoh penting warga misalnya kader posyandu, tokoh agama, hingga aparatur desa. Mereka lalu dilatih bagaimana cara membangun infrastruktur sehat dengan teknologi yang lebih murah.

“Lalu mengadvokasi atau memicu pemerintah desa atau kelurahan untuk mengalokasikan sebagian dana desanya untuk membantu menstimulan rumah tangga yang memang tidak mampu untuk membangun fasilitas. Selain kita juga mengalokasikan ya. Karena YKWS juga ada support dari donor untuk membantu secara fisik meskipun tidak banyak,” jelasnya.

Pihaknya juga mendorong pemerintah daerah (pemda) agar melahirkan regulasi untuk mempercepat peningkatan akses sanitasi  layak. Tetapi kembali lagi, manusia dan pemdanya memiliki karakteristik berbeda-beda. Respon tiap daerah di kabupaten/kota Provinsi Lampung cukup beragam terhadap program pendorongan sanitasi dan air bersih ini.

“Ada yang gampang, ada yang sulit. Kayak Pesawaran dan Tanggamus contohnya. Dari dulu diadvokasi, tapi ya begitu. Makanya itu tadi harus ada komitmen, dan birokrasinya mendukung. Kalau pucuk pimpinannya peduli, tapi di tatanan birokrasinya tidak peduli, ya sama saja tidak bakal bisa jalan,” ujarnya.

Lembaga pemerintah di tingkat desa sampai kabupaten/kota, ketika ditanyai kendalanya, mayoritas menjawab karena terbatas soal biaya. Padahal menurut Febri, itu bukan permasalahan.

“Kalau masalahnya anggaran, kok kabupaten/kota lainnya bisa? Jadi memang tergantung pemerintahnya, mau komitmen atau tidak. Kalau 3 tahun ini dana desa alasannya digunakan untuk penanggulangan COVID-19, berarti sekarang sudah bisa dialokasikan (untuk sanitasi) dong?” katanya.

Kalau pemerintahnya tidak bisa sendiri, bisa juga dengan menggandeng lembaga lain seperti perguruan tinggi dan perusahaan swasta. Perguruan tinggi dapat menyampaikan idenya mengenai permasalahan sanitasi di lahan padat penduduk, seperti Bandar Lampung.

“PTN kan punya orang cerdas. Gandenglah di sana. Kemudian Bandar Lampung juga banyak perusahaan besar. Gunakan dana CSR-nya untuk itu. Karena kalau ngomongin sanitasi ini ujungnya bisa ke stunting lho. Apalagi stunting sedang hot-hotnya di Indonesia,” sebutnya.

Ia menyebutkan, 60 persen penyebab stunting karena kualitas sanitasi dan air bersih. Maka tak heran daerah dengan sanitasi rendah seperti Pesawaran, Tanggamus, dan Lampung Utara angka stuntingnya naik.

“Dengan catatan stunting di rumah tangga miskin. Ini bisa digunakan sebagai pemicuan juga ke warga dan pemerintah. Makanya memang cukup lama ya upaya kita untuk bisa mengubah semuanya ini. Tapi kalau gak bergerak sekarang, mau sampai kapan?” tukasnya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Bandar Lampung, Khaidarmansyah, mengatakan kesadaran warga tentang budaya BABS, sanitasi, dan air bersih ini harus terus ditanamkan. Menurut dia, komitmennya tidak bisa dari pemerintah saja.

“Semua harus bisa komitmen, termasuk warga baik dalam pemanfaatan maupun berperilaku tadi,” ujarnya.

Ia mengakui, puskesmas di wilayahnya kini telah memiliki fasilitas air dan sanitasi yang lebih baik setelah adanya program WASH in HCF dari YKWS. Termasuk toilet ramah gender dan disabilitas.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya punya kendala sendiri ketika ingin menargetkan pembangunan jamban rumah tangga di tepi sungai, dan bantaran rel kereta. Yaitu status rumah tersebut merupakan rumah sewa. Pihaknya juga akan berhadapan dengan pemilik ponten umum (ponten komunal) jika jamban rumah tangga itu dipasang.

"Ponten komunal ini marah. Lah aku lak gak oleh (aku kan gak dapat untung) yang paling penting warga jangan sampai BABS, kalau ada ponten umum ya monggo," kata Kepala DLH Kota Surabaya, Agus Hebi.

Kini sudah ada 6.000 titik jamban rumah tangga yang sudah terbangun per Mei 2023. DLH Kota Surabaya menargetkan 8.000 titik pemukiman pada tahun 2023, dan Mei ini harus sudah ODF.

Sebenarnya warga Kota Surabaya bisa mengajukan bantuan jamban di rumahnya secara gratis, meskipun bukan tanah pribadi. Tinggal datang ke kelurahan untuk mengajukan bantuan jamban, lalu menyerahkan KTP Surabaya dan berstatus warga miskin. Mungkin ulasan di atas belum memuaskan. Sekarang coba melihat upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan berikut ini.

Jasa sedot WC dibuang ke TPA Mandung untuk diolah menjadi pupuk tinja. Pupuknya sih diberikan secara gratis, namun...

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di SungaiIPLT di TPA Mandung, Tabanan (Dok.IDN Times/Istimewa)

Pemkab Tabanan, Provinsi Bali, membangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mandung, Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan. Limbah tinja dari warga Tabanan dibawa ke IPLT untuk diolah menjadi pupuk organik. Produksinya sih cukup melimpah, yaitu 10 ton per bulan. Namun warga Tabanan masih awam menggunakan pupuk tinja. Jadi tidak ada yang datang ke TPA Mandung untuk mengambil pupuk tinja meski diberikan secara gratis.

Pupuk ini akhirnya dipakai untuk menyuburkan tanaman di Taman Kota, tanaman di kantor lingkungan Pemkab Tabanan, taman di TPA Mandung, dan tanaman di kebun bank sampah.

"Warga belum familiar menggunakan pupuk tinja manusia. Juga secara kepercayaan, pupuk tinja dianggap memberi aura negatif jika dipakai di persawahan atau pekarangan," jelas Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPA Mandung, I Wayan Atmaja, Jumat (2/6/2023).

Pernyataan itu mungkin ada benarnya. Perbekel Desa Tegal Jadi sekaligus seorang petani, Made Muliana, menganggap lahan sawah itu disucikan. Sehingga menggunakan pupuk tinja manusia kemungkinan dianggap memberikan aura negatif.

"Tetapi jika dipakai di pekarangan untuk tanaman kebun dan bunga sepertinya masih boleh. Saya juga baru tahu ada pupuk dari tinja di TPA Mandung," terangnya.

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di SungaiIPLT di TPA Mandung, Tabanan (Dok.IDN Times/Istimewa)

TPA Mandung menerima dua hingga tiga tangki tinja setiap hari, untuk diolah menjadi pupuk organik di IPLT. Satu tangki rata-rata berisi tiga meter kubik tinja. Tinja ini diambil dari pengurasan septic tank warga Tabanan. TPA Mandung menetapkan tarif buang dan angkut dengan sistem e-retribusi sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2021. Besaran tarif retribusi jasa kuras tinja untuk sekali sedot ini maksimal 3 meter kubik, dengan jarak dari jalan ke septic tank maksimal 50 meter untuk wilayah:

  • Kecamatan Tabanan dan Kediri: Rp300 ribu
  • Kecamatan Kerambitan, Penebel dan Marga: Rp350 ribu
  • Kecamatan Selemadeg, Selemadeg Timur dan Baturiti: Rp400 ribu
  • Kecamatan Pupuan dan Selemadeg Barat: Rp450 ribu.

Apabila jarak septic tank dari jalan lebih dari 50 meter, maka kelebihannya dihitung Rp2.500 per meter. Besarnya tarif retribusi membuang limbah tinja ke IPLT, untuk sekali buang volume maksimal 3 meter kubik sebesar Rp60 ribu.

Mereka menggunakan sistem anaerobik untuk mengolah tinja menjadi pupuk. Sistem ini dinilai tidak menghasilkan bau yang menyengat meski diolah di tempat terbuka. Tinja dipisahkan dari air dengan sistem gravitasi. Lumpur tinja yang mengendap lalu dibiarkan sampai mengering di kolam penampungan. Setelah kering, barulah dipindahkan. Sementara air limbahnya disaring dengan sistem gravitasi dan melewati beberapa kolam penyaringan. Sehingga hasil akhirnya dalam kondisi aman selama dibuang ke lingkungan sekitar.

IPLT menghasilkan rata-rata 10 ton pupuk organik per bulan, dan yang dipakai sekitar enam ton dalam sebulan. Empat ton sisanya disimpan ke tempat kompos atau lahan kosong di TPA Mandung. Pupuk ini terkadang dipakai untuk menutupi sampah di TPA Mandung.

Pengelola tambang emas di Tapanuli Selatan butuh tujuh tahun untuk menjadikan wilayah sekitar tambangnya bebas BABS/ODF. Perlu melibatkan pemda hingga koramil biar warga di sana sadar secara mandiri

PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di Sungai(IDN Times/Sukma Shakti)

Pengelola Tambang Emas Batang Toru, PT Agincourt Resources (PTAR), menjadikan wilayah sekitar tambangnya bebas BABS/ODF selama tujuh tahun terakhir atau dari 2015-2022. Wilayahnya meliputi Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Muara Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Provinsi Sumatra Utara. Mereka telah menggelontorkan Rp1,16 miliar sejak tahun 2015 untuk memenuhi program tersebut, mengedukasi masyarakat tentang sanitasi dan perilaku hidup sehat.

Awalnya, pada tahun 2015, diare menjadi penyakit yang masuk 10 besar di Kabupaten Tapanuli Selatan. Seiring banyaknya kasus penyakit yang disebabkan oleh sanitasi dan adanya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 Tentang STBM, PTAR bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Puskesmas Batang Toru untuk menginisiasi program STBM di Kecamatan Batang Toru.

Kegiatan pertama yang mereka lakukan adalah assessment kepada warga terhadap tingkat kepemilikan jamban di Kecamatan Batang Toru. Hasil assessment menunjukkan 72 persen warga belum memiliki jamban. Berangkat dari data itulah mereka melakukan beberapa kegiatan seperti sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pelatihan kewirausahaan jamban, dan pemicuan. Namun selama periode 2015-2016, usaha yang mereka lakukan itu belum mendapatkan hasil. Bahkan sebagian warga menolak karena merasa kondisi kesehatannya baik-baik saja.

Pada tahun 2017, mereka mengajak Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara untuk berkolaborasi menjadi tenaga ahli sanitasi, dan melibatkan Koramil 01 Batangtoru di desa-desa potensial. Hasilnya, dua desa di Kecamatan Batang Toru, yaitu Desa Telo dan Desa Batu Hula, berhasil mendeklarasikan Stop BABS di tahun yang sama.

Pada prinsipnya, fokus utama dari program STBM agar terbebas BABS adalah kesadaran warganya, bukan membangun jamban. Jadi kalau ada warga yang bersedia membangun jamban, itu karena dampak dari keberhasilan program tersebut. Selama itu pula seluruh desa di Kecamatan Batang Toru juga terus-terusan mendapatkan pendampingan dari sanitarian, bidan desa, dan kader STBM sampai warganya menjadi berdaya. Secara bertahap hingga tahun 2022, terdapat 23 desa (100 persen) telah mendeklarasikan Stop BABS.

Untuk mempercepat proses itu, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan. Pertama, mengadvokasi atau mengadakan kegiatan untuk mendorong perubahan perilaku agar lebih banyak fasilitas sanitasi yang terbangun secara mandiri. Kedua, menghilangkan subsidi sanitasi karena menyebabkan ketergantungan warga yang mengancam keberlanjutan program ini. Ketiga, mendorong warga untuk merancang program secara mandiri dan bersedia bertanggung jawab.

Pj Sekda Tapsel, M Frananda, berharap program ini ditularkan ke 13 kecamatan lain di Tapsel dengan durasi lebih cepat per kecamatan. Batang Toru dan Muara Toru bisa menjadi contoh karena dianggap berhasil mengimplementasikannya.

“Mimpi saya dulu di setiap sungai ada tulisan ‘Sungai Bukan MCK’ agar sungai tidak hanya indah, tapi juga membuat warga sehat,” kata Frananda.

Penulis: Rohmah Mustaurida, Khusnul Hasana, Wayan Antara, Wira Sanjiwani, Hamdani, Debbie Sutrisno, Khaerul Anwar, Muhammad Nasir, Arifin Alamudi

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya