Hindari Pelanggaran HAM, Sejuk Latih Keterampilan Jurnalis di Bali

Media ikut memberitakan isu minoritas dengan cara yang bias

Badung, IDN Times - Isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) hingga kriminalisasi yang muncul di tengah proses politik rupanya tak hanya dialami oleh Indonesia saja. Negara-negara di Asia Tenggara pun mengalami hal demikian.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) banyak terjadi pula di berbagai negara manapun. Seperti memarginalkan kelompok-kelompok minoritas hingga diskriminalisasi terhadap jurnalis. Untuk itulah Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan International Association of Religion Journalists (IARJ) dan Institute for Peace and Democracy (IPD) Universitas Udayana mengadakan keterampilan jurnalis sekaligus berbagi pengalaman antarnegara Asia Tenggara, dalam workshop bertema “The Nexus between Freedom of Religion or Belief, and Freedom of Expression in Southeast Asia” di Ayodya Resort Nusa Dua, Badung dari tanggal 18-20 Maret.

1. Negara Asia Tenggara berbagi pengalamannya dalam menyikapi ancaman politik identitas

Hindari Pelanggaran HAM, Sejuk Latih Keterampilan Jurnalis di BaliIDN Times/Irma Yudistirani

Workshop ini menghadirkan para ahli HAM, para jurnalis hingga akademisi di kawasan Asia Tenggara, Timor Leste dan Northeast India. Mereka dilibatkan untuk berbagi pengalamannya dalam menyikapi ancaman politik identitas dan otoritarianisme terhadap hak-hak serta kebebasan warga untuk berekspresi.

Targetnya, workshop ini bisa memperkuat keterampilan para jurnalis dan media di seluruh Asia Tenggara dalam melaporkan isu-isu keberagaman di negaranya, dengan tujuan mengurangi dan menghentikan menjamurnya politik sektarian di kawasan.

2. "Tidak bisa dipungkiri media ikut memberitakan isu-isu minoritas dengan cara yang bias bahkan ikut menstigma"

Hindari Pelanggaran HAM, Sejuk Latih Keterampilan Jurnalis di BaliIDN Times/Irma Yudistirani

Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Ahmad Junaidi, turut mengungkapkan kecemasannya dengan adanya politik identitas di negara-negara kawasan yang memicu pelanggaran hak-hak warga berbeda agama, etnis dan ekspresi politik.

Menurut pria yang akrab disapa Alex ini, proses politik seperti pemilu di Indonesia dan negara Asia Tenggara turut memarginalkan kelompok-kelompok minoritas dan mengkriminaslisasi jurnalis.

“Regresi politik di Asia Tenggara ditingkahi dengan meningkatnya kriminalisasi terhadap jurnalis di negara-negara Asia Tenggara. Namun begitu, tidak bisa dipungkiri media ikut memberitakan isu-isu minoritas dengan cara yang bias bahkan ikut menstigma,” ujar editor Jakarta Post ini.

3. Forum ini diharapkan juga melibatkan mahasiswa dari berbagai negara

Hindari Pelanggaran HAM, Sejuk Latih Keterampilan Jurnalis di BaliIDN Times/Irma Yudistirani

Workshop ini dimanfaatkan sebagai forum berbagi yang melibatkan stake holder, pemangku kepentingan yang lebih menampilkan nilai-nilai toleransinya, moderasi sekaligus menghormati kebebasan berekspresi.

"Sejak awal kita mendukung inisiatif seperti ini. Bagus sekali yang menyelenggarakan adalah para jurnalis bekerja sama dengan civil society. Bagusnya lagi itu tidak hanya melibatkan Indonesia, tetapi juga melibatkan negara Asean lainnya. Jadi menurut saya ini adalah bagian dari upaya kita memberdayakan semua pemangku kepentingan supaya ikut dalam proses meng-Aseankan masyarakat dan memasyarakatkan Asean dari semua aspek, seperti kerja sama politik, kerja sama ekonomi, sosial budaya dan lainnya," ujar Alex.

Workshop ini tak hanya diikuti oleh jurnalis dan akademisi. Mahasiswa dari Universitas Udayana turut hadir di sini. Seperti I Gusti Ayu Diah Pramesti. Mahasiswi semester enam jurusan Ilmu Komunikasi (FISIP) ini menilai forum tersebut sebagai ajang diskusi yang membahas masalah tentang media massa, identitas politik, agama, dan sistem pemerintahan di masing-masing negara peserta.

Ia mengaku mendapatkan gambaran nyata ketika jurnalis senior Khaosod, Pravit Rojanaphruk, mengungkapkan sistem monarki yang dianut Thailand.

"Saya jadi permasalahannya ketika para pemimpin yang selesai menjabat, diteruskan kepemimpinannya ke generasi berikutnya. Terus tentang bagaimana Presiden Filipina yang keras, mengintimidasi perempuan, dan rasis," ungkap Diah, sapaan akrabnya.

Ia berharap, forum seperti ini ke depannya tak hanya melibatkan jurnalis dan akademisi. Tetapi juga melibatkan para mahasiswa dari berbagai negara. "Biar kita tahu bagaimana pandangan dan tanggapan mereka terhadap negaranya," tutupnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya