Getak-Getuk Bias di Indeks Ketimpangan Gender

Rupanya belum banyak instansi yang responsif gender

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota periode 2018-2022, untuk mengukur ketimpangan gender di suatu wilayah. Hasilnya, BPS menyimpulkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik. Benarkah demikian?

Denpasar, IDN Times - Menurut BPS, menurunnya angka tersebut karena kesehatan reproduksi dan pemberdayaannya semakin baik. Coba kita beranjak masuk ke hal-hal teknis mereka ya. BPS menggunakan lima indikator untuk mengukur IKG ini. Pertama, dimensi kesehatan reproduksi dengan indikator proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan (faskes), dan indikator proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang melahirkan hidup pertama dalam dua tahun sebelumnya di bawah usia 20 tahun. Kedua, dimensi pemberdayaan yang meliputi persentase penduduk dengan pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA), dan persentase anggota legislatif. Ketiga, dimensi pasar tenaga kerja yang meliputi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Sebaiknya cermati baik-baik indikator-indikator di atas, sebelum masuk ke datanya.

Nilai indikator yang dipakai dari rentang 0–1. Semakin kecil angkanya, semakin membaik atau bagus. Jadi berdasarkan indikator di atas, IKG Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,459. Turun 0,006 poin dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 0,465. Kata BPS, perbaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan capaian dimensi kesehatan reproduksi dan pemberdayaan.

Untuk dimensi kesehatan reproduksi, ada perbaikan indikator perempuan melahirkan hidup tidak di faskes yang turun dari 15,4 persen tahun 2021 menjadi 14 persen pada 2022. Sedangkan dimensi pemberdayaan, dipengaruhi oleh persentase perempuan 25 tahun ke atas yang berpendidikan minimal SMA meningkat tinggi dibandingkan laki-laki. Persentase perempuan meningkat dari 34,87 persen tahun 2021 menjadi 36,95 persen pada 2022. Sedangkan persentase laki-laki meningkat dari 41,30 persen menjadi 42,06 persen pada tahun 2022.

Tapi kalau melihat angka di atas, persentase pendidikan perempuan terlihat lebih kecil dibandingkan laki-laki yang 42,06 persen. Nah, sebenarnya BPS ini menghitung GAP atau jarak indikator. Persentase perempuan selisih 2,08 persen. Sementara laki-laki selisihnya 0,76 persen. Selisihnya lebih besar perempuan daripada laki-laki. Makanya, BPS menyatakan pendidikan perempuan minimal SMA meningkat tinggi dibandingkan laki-laki. Sampai di sini, kamu sudah memahaminya, kan?

Namun bicara kuantitatif, kesimpulan BPS yang menyatakan bahwa kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik berdasarkan IKG di atas, konteksnya sangat generalisasi. Faktanya, IKG di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih di atas rata-rata nasional akibat budaya patriarki, angka perkawinan anak di Jawa Timur masih sangat tinggi, perempuan di DPRD Kota Denpasar hanya diwakili 4 orang dari 45 kursi, Niar di Bandar Lampung diminta mengalah demi kelanjutan kuliah kedua kakaknya, hingga Sari tak sadar telah meneruskan pola keluarganya yang menikah di bawah usia 20 tahun. Tercapainya kesetaraan gender di Indonesia tidak cukup diwakilkan oleh data kuantitatif jika melihat fakta-fakta tersebut. Lalu perkara dimensi kesehatan reproduksi, apakah pemerintah yang banyak fokus kepada ibu hamil cukup mewakili kesetaraan gender secara keseluruhan? Berikut ini hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh hyperlocal IDN Times di 13 provinsi.

1. Perempuan di NTB dianggap tidak bisa menyaingi laki-laki, dan angka perkawinan anak di Jatim sangat tinggi

BPS merilis IKG di Provinsi NTB sebesar 0,648 pada tahun 2022. Angka ini mengalami perbaikan atau turun 0,005 dari 0,658 pada tahun 2021. Meskipun dinilai ada perbaikan, faktanya keterwakilan perempuan NTB di lembaga legislatif sangat jomplang dibandingkan laki-laki. BPS NTB mencatat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hanya sebesar 1,59 persen. Sedangkan laki-laki 98,41 persen. Begitu pula proporsi anggota legislatif perempuan menurun dari 9,23 persen tahun 2018 menjadi 1,54 persen tahun 2019. Sedangkan proporsi anggota legislatif hanya naik sedikit menjadi 1,59 persen pada 2020, 2021, dan 2022.

Menurut Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) NTB, Madiana, budaya patriarki di NTB masih cukup kental. Perempuan dianggap tidak bisa menyaingi laki-laki. Tingginya ketimpangan gender itu terlihat dari partisipasi perempuan di legislatif dan ranah publik. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, hanya ada satu perempuan yang duduk di DPRD NTB. Selain itu, perempuan yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan juga masih sedikit. Perempuan hanya sebagai kepala organisasi perangkat daerah (OPD) yang posisinya menyentuh urusan perempuan.

"Dari segi pemahaman soal kesetaraan gender, pemerintah sudah paham. Karena beberapa regulasi, kita menghasilkan. Bagaimana pengarusutamaan gender masuk semua sektor pembangunan. Tetapi belum banyak instansi yang responsif gender. Pendekatan programnya belum responsif gender," kata Madiana Sabtu, 4 Mei 2024.

Sesuai peraturan, keterwakilan perempuan yang duduk di parlemen harus 30 persen, bukan dari pencalonannya saja. Sehingga Madiana menilai, partai politik (parpol) punya tanggung jawab untuk melakukan pengkaderan agar perempuan yang dicalonkan punya kapasitas, dan didukung secara finansial.

"Mengingat Pemilu kita transaksional, sehingga perempuan agak sulit lolos ke parlemen. Mungkin secara sosial dia punya modal sosial. Tapi terbentur izin suami, keuangan keluarga, apakah punya jabatan strategis di partai politik atau tidak. Jangan sampai perempuan hanya memenuhi kuota 30 persen saat pencalonan saja, tapi tidak dikaderisasi dengan baik," kata Madiana.

Beralih ke Provinsi Jawa Timur (Jatim). BPS merilis IKG di Jatim sebesar 0,440 pada tahun 2022. Angka itu turun 0,020 poin dibanding tahun 2021 yang tercatat 0,460. Meskipun turun, namun angka perkawinan anak di Jawa Timur sangat tinggi, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Kondisi ekonomi juga membuat perempuan di Jawa Timur memilih bekerja untuk membantu orangtuanya.

"Adanya pemahaman bahwa orangtua dengan menikahkan anaknya, dikira akan mengurangi beban ekonomi," kata Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Jatim, Dr TW Liswati.

Kita mundur sejenak ke tahun 2020. Jawa Timur pernah mencatat 9.453 pernikahan anak sepanjang tahun 2020 berdasarkan data dari Pengadilan Agama. Angka ini setara dengan 4,97 persen dari total 197.068 pernikahan. Persentase ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya 3,6 persen atau sebanyak 11.211 kasus dari total 340.613 pernikahan. Tingginya angka pernikahan anak ini membuat Gubernur Jawa Timur kala itu, Khofifah Indar Parawansa, menerbitkan Surat Edaran (SE) Tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang ditandatangani pada 18 Januari 2021. SE ini menjadi upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur untuk menekan angka pernikahan dini.

2. Sebagai Ibu Kotanya Provinsi Bali, IKG di Kota Denpasar berada di urutan 3 dengan ketimpangan gender tertinggi

Provinsi Bali memiliki IKG sebesar 0,321 pada tahun 2022. Angka ini justru meningkat 0,056 poin dari tahun sebelumnya. Itu artinya, ketimpangan gender di Bali mengalami kenaikan pada 2022, meskipun secara nasional berada di posisi 3 paling rendah. Kenaikan ini disebabkan oleh perempuan yang tidak melahirkan di faskes naik 0,019 poin dari tahun 2021–2022. Sedangkan perempuan yang melahirkan di bawah usia 20 tahun naik 0,013 poin dari tahun 2021–2022. Berarti, dimensi kesehatan reproduksinya menurun. Sementara TPAK laki-laki di Bali naik 4,62 persen dari tahun 2021--2022 dan perempuan hanya naik 2,01 persen dalam periode yang sama. Jadi ada GAP, sehingga pasar tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak setara.

Jika dilihat per kabupaten/kota, nilai IKG paling tinggi terjadi di Kabupaten Buleleng. Yaitu 0,462 poin. Indeksnya tinggi karena ada penurunan kinerja di kesehatan reproduksi. Yaitu proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup dalam dua tahun terakhir tidak di faskes mengalami kenaikan dari 0,070 pada tahun 2021 menjadi 0,102 pada tahun 2022. Begitu juga dengan perempuan yang melahirkan pertama di bawah usia 20 tahun mengalami kenaikan dari 0,269 pada tahun 2021 menjadi 0,348 pada 2022.

Selain kesehatan reproduksi, tingginya ketimpangan gender di Buleleng juga terlihat dari pasar tenaga kerja. TPAK meningkat tajam 5,5 persen dari 80,35 persen pada tahun 2021 menjadi 85,85 persen pada tahun 2022. Sedangkan TPAK perempuan mengalami penurunan 0,82 persen dari 66 persen pada 2021 menjadi 65,18 persen pada 2022. Inilah yang membuat adanya GAP pasar tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan.

Ketua Tim Analisis Statistik BPS Provinsi Bali, Ni Nyoman Jegeg Puspadewi, berpendapat ketimpangan ini mungkin berkaitan dengan masa pemulihan pandemik di tahun 2022. Ia menilai, kemungkinan besar tenaga kerja laki-lakinya lebih cepat terserap oleh pasar tenaga kerja daripada perempuan.

Sementara untuk kesehatan reproduksi, Jegeg berasumsi masih ada perempuan yang pada saat melahirkan sedang dalam perjalanan ke faskes. Walaupun seperti itu, kalau hanya ditemukan satu atau dua kasus lalu dibandingkan dengan tahun sebelumnya tidak ditemukan kasus sama sekali, maka itu tidak masuk ke dalam IKG. Selain itu, kemungkinan lainnya karena masyarakatnya berpindah tempat tinggal. Misalkan, tempat tinggal masyarakatnya di Buleleng. Tapi pada saat melahirkan dua tahun sebelumnya, itu tidak di Buleleng dan tidak di fasilitas kesehatan.

Ini juga berlaku bagi perempuan yang melahirkan pertama di bawah usia 20 tahun. Walaupun Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan menetapkan batasan minimal usia perkawinan adalah 19 tahun bagi calon pengantin laki laki dan perempuan, tetapi masih banyak ditemukan perempuan di bawah usia 20 tahun yang sudah melahirkan pertama.

“Memang yang itu kita harapkan ke depannya, peran dari bidan desa atau sosialisasi di tingkat sekolah-sekolah, bagaimana pentingnya menjaga kesehatan reproduksi,” kata Jegeg Jumat, 3 Mei 2024.

Ada yang menarik dengan Kota Denpasar jika melihat data di atas. Sebagai Ibu Kotanya Provinsi Bali, IKG di Kota denpasar berada di urutan 3 dengan ketimpangan gender tertinggi se-Provinsi Bali pada tahun 2022 yaitu 0,303. Pada tahun 2021 sebesar 0,212, tahun 2020 sebesar 0,348, tahun 2019 sebesar 0,271, dan pada tahun 2018 sebesar 0,313. Indeksnya tidak pernah menyentuh angka 0,1 seperti Kabupaten Klungkung, Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Gianyar. Jika ditelaah lebih dalam, ternyata persentase perempuan di legislatif paling kecil.

Merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Denpasar, tercatat ada tujuh parpol yang berhasil mengantarkan kadernya menduduki 45 kursi DPRD Kota Denpasar pada periode 2019-2024 (Perhatikan slide kedua). Namun dari 45 kursi itu, hanya 4 kursi saja yang diduduki oleh perempuan.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Denpasar, I Gusti Agung Sri Wetrawati, menyebutkan kesenjangan gender di Denpasar amat sangat signifikan. Isu kesetaraan gender seharusnya lebih dimunculkan, tidak sekadar retorika. Peran parpol sebagai instrumen sistem demokrasi semestinya mengambil langkah tegas dalam mengedukasi, dan sosialisasi kepada masyarakat tentang posisi mereka terkait isu kesetaraan gender.

“Satu langkah konkretnya adalah kaderisasi baik anggota, caleg, maupun upaya meloloskan perempuan dalam posisi strategis yang lebih sulit meraih sektor publik akibat dominasi sistem patriarki,” kata Sri dalam keterangan resminya.

Persoalan perempuan yang menjadi pemimpin, rasanya perlu belajar dari Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) di Medan, Sumatra Utara (Sumut). Mereka membentuk Kelas Perempuan Mandiri dan Berbudaya yang disingkat KELAPA MUDA. Menurut Ketua HAPSARI, Laili Zailani, sekolah perempuan ini merupakan model advokasi dan model kolaborasi untuk pemberdayaan perempuan marginal di akar rumput.

Pihaknya mengembangkan kepemimpinan perempuan agar memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas, dan kecakapan hidup dalam menyelesaikan persoalan pribadi, keluarga, dan berkontribusi melakukan perubahan sosial di lingkungannya. Para pesertanya berisi perempuan penyintas kekerasan dan kalangan marginal. Program ini dimulai dari skala terkecil. Misalkan, perempuan menjadi pemimpin di bisnis yang dibangunnya.

Lely memandang ketimpangan gender itu terlihat dari sisi kepemimpinan. Masih sedikit para perempuan yang mengisi pos-pos penting di pemerintahan dan legislatif. Satu faktornya tentu saja budaya patriarki yang masih melekat di tengah masyarakat.

“Di KELAPA MUDA ini sudah banyak bermunculan jiwa kepemimpinannya. Ini kami nilai efektif,” kata Lely.

Mereka dinilai berhasil menjalankan program ini dalam dua tahun terakhir. Sehingga KELAPA MUDA masuk ke dalam Program Strategis Daerah. Artinya, program ini akan dilaksanakan di 33 kabupaten/kota. Lely mengakui, pembiayaan KELAPA MUDA ini disokong oleh pemerintah. Meskipun begitu, ia melihat belum ada keseriusan dan konsisten untuk menekan ketimpangan gender di Sumut.

“Kita juga mendorong ada regulasi yang lugas terkait pemberdayaan perempuan di Sumut,” kata Lely.

3. Pemerintah siap gak ya menyediakan tim yang paham tentang makna kesetaraan gender sebenarnya?

Getak-Getuk Bias di Indeks Ketimpangan GenderIndeks Ketimpangan Gender (IKG) 2022 (IDN Times/Sukma Sakti)

Direktur Eksekutif Daerah PKBI (Perkumpulan Keluarga Bencana Indonesia) Bali, Ni Luh Eka Purni Astiti, punya pertanyaan kritis terkait indikator ini. Apakah parameter itu khusus untuk fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah saja, atau termasuk juga swasta? Ia mencurigai perempuan yang ditolong oleh faskes milik swasta, tidak masuk dalam indeks. Sebab bisa saja RS atau puskesmasnya jauh, sehingga perempuan memilih melakukan persalinan di bidan terdekat. Sebenarnya data-data kesehatan terkait persalinan di rumah sakit (RS) pemerintah dan swasta itu masih dalam upaya fix sinkronisasi menjadi satu data. Jadi ada kemungkinan layanan kesehatan yang ditindak oleh RS swasta, tidak tercatat dalam data yang dimiliki oleh pemerintah.

Situasi ini menjadi refleksi, bahwa data kesehatan di Indonesia masih perlu diperbaiki. Ia mencontohkan Klinik PKBI, yang statusnya sebagai klinik swasta. Karena sedang dalam proses akreditasi, pihaknya baru sekarang diwajibkan untuk melakukan sinkronisasi data kesehatan secara nasional. Itu berarti pada periode sebelum-sebelumnya, aksesibiltas data ke faskes swasta masih belum 100 persen berjalan.

“Jadi itu sih refleksinya, yang mungkin perlu di-cross check juga terkait dengan ini. Karena yang ditolong oleh tenaga kesehatan itu, bisa jadi levelnya di bidang-bidang desa gitu. Mungkin juga ada yang memang tidak di bidan desa atau fasilitas kesehatan karena masalah geografis,” kata Eka Jumat, 3 Mei 2024.

Indeks ini juga dinilai bias, karena indikatornya lebih berfokus pada kesehatan reproduksi perempuan. Namun kalau datanya dibuat berimbang dan intersektionalitas terhadap isu tertentu, permasalahannya adalah apakah ada data nasional yang diekstrak untuk itu? Sebab data-data BPS ini dikumpulkan secara periodik. Jadi tidak ada mekanisme untuk mengumpulkan data berdasarkan intersektionalitas--misalkan akses perempuan terhadap air dan sanitasi beserta dampaknya, atau program Keluarga Berencana (KB) vasektomi--karena datanya dianggap sporadis. Sekali lagi ini PR yang berat kalau membicarakan ketimpangan gender, tapi indikatornya lebih banyak dibebankan kepada perempuan.

Menurut Eka, untuk membuat kesimpulan ada kesetaraan atau ketimpangan gender di Indonesia, tidak cukup hanya diwakilkan dengan angka atau data kuantitatif. Perlu data kualitatif melalui pendekatan antropologi untuk menguatkan. Padahal kalau dalam konteks metode penelitian, data kualitatif juga sangat valid sebagai resources untuk pemerintah.

"Coba kita lihat indeks pembangunan pemuda dan indeks pembangunan manusia. Interseksionalitasnya akan kelihatan tuh di situ, dan mungkin akan mendapatkan beragam perspektif untuk membuat kesimpulan. Tapi pertanyaannya, apakah pemerintah siap untuk mengambil data kualitatif dengan kondisi masih bias terhadap gender? Selain data, menurut saya juga bagaimana perspektif orang yang mengambil data itu sendiri dalam menyebutkan bahwa kita ini sudah setara gender atau belum. PR-nya di sana," kata Eka.

Program KB ini semestinya tidak lagi menjadi urusan perempuan. Laki-laki pun harus menjalankan program ini melalui penggunaan alat kontrasepsi. Namun berdasarkan data yang diungkap oleh Kepala Bidang Keluarga Berencana Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Kabupaten Tabanan, Wayan Putra, baru 59 laki-laki yang menggunakan metode kontrasepsi kondom hingga Mei 2024. Sedangkan yang menggunakan media operasi (vasektomi) nihil.

Pada tahun 2023, laki-laki yang menggunakan kontrasepsi kondom tercatat 155 orang, dan baru dua orang yang menjalani vasektomi. Peserta KB terbanyak di Tabanan pada 2024 justru didominasi oleh perempuan. Yaitu pengguna kontrasepsi suntikan 654 orang, IUD (intrauterine device) 280 orang, tubektomi 132 orang, implan 95 orang, dan pil 63 orang.

Putra menilai, alasan laki-laki tidak menjalani vasektomi karena metode ini bukan untuk menunda kelahiran. Melainkan bersifat mengakhiri untuk memiliki anak. Makanya setiap menjalani tubektomi dan vasektomi, dianjurkan bagi pasangan usia subur yang sudah tidak menginginkan keturunan. Layanan ini juga hanya bisa diakses di Rumah Sakit Umum Daeah (RSUD) Tabanan dan RSUD Nyitdah.

Peserta vasektomi dan tubektomi bahkan tidak dikenakan biaya, dan malah mendapatkan kompensasi uang sebesar Rp450 ribu karena tidak bekerja selama pemulihan operasi.

"Diberikannya langsung sekalian. Tidak dihitung per hari," ujar Putra.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan tetap melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan partisipasi peserta KB baru baik laki-laki maupun perempuan. Seperti memberikan akses mudah pelayanan KB rutin di rumah sakit pemerintah, swasta, klinik, puskesmas, puskesmas pembantu, dan praktik mandiri bidan.

4. Niar dan Sari hidup di era 80-90. Pada era itu, mereka menjadi bagian orang yang menormalisasi budaya patriarki

Getak-Getuk Bias di Indeks Ketimpangan GenderPendiri PKP Community Centre, Ni Komang Sariadi. (pkpcommunitycentre.org)

Dahniar (55) dan Ni Komang Sariadi (40) bukanlah perempuan yang terindeks dalam IKG Indonesia periode 2018-2022. Cerita mereka mungkin tidak mewakili populasi perempuan di Indonesia secara keseluruhan yang tidak mendapatkan kesetaraan. Namun, setidaknya kisah mereka menjadi refleksi buat kita tentang wujud nyata patriarki, dan mendorong pemerintah agar melibatkan tim yang berperspektif pada perempuan dan anak:

Dahniar kini telah berusia 55 tahun dan memiliki tiga anak. Namun, 35 tahun silam ia mengubur mimpinya menjadi guru. Niar, sapaannya, sampai sengaja melanjutkan pendidikan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus agar bisa kuliah dan menjadi guru. Sang ayah sangat tahu bahwa Niar ingin melanjutkan kuliah. Tetapi ayah meminta Niar mengalah untuk kedua kakaknya, yang lebih dulu masuk perguruan tinggi di Kota Palembang dan Bandar Lampung.

Orangtua takut tidak cukup untuk membiayai kuliah ketiga anaknya. Padahal secara ekonomi, keluarganya tergolong mampu dan berpenghasilan menengah ke atas. Niar menyadari, sebagai anak perempuan dari keluarga suku Lampung, dirinya sedikit dikesampingkan dibandingkan anak laki-laki. Sehingga setelah menyelesaikan SPG, ia lebih banyak membantu pekerjaan orangtuanya di rumah.

"Kalau kata orang sekarang, gadis pengangguran gak kerja gak apa. Jadi bantu-bantu mamah di rumah aja," katanya.

Ni Komang Sariadi (40) hidup sebagai tunawisma di masa kecilnya. Ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, apalagi merasakan finansial yang layak. Ia tinggal terpisah dengan orangtua dan kedua saudaranya. Dalam ingatannya, ia selalu dititipkan ke sana-sini, dan pernah tinggal bersama adik kandung neneknya yang menjadi transmigran di Sulawesi. Ia merasa tidak seperti anak-anak Bali lainnya. Tinggal menetap bersama orangtua, saudara, nenek, kakek, sepupu dari generasi ke generasi. Situasi kemiskinan ini men-trigger dirinya untuk melakukan percobaan bunuh diri yang pertama di usia 10 tahun. Usia yang terlalu dini untuk merasakan keputusasaan.

Memasuki episode kedua, Sari remaja mulai hidup bersama orangtua, dan kedua kakaknya di Bali. Mereka punya rumah dari bambu. Tapi jangan membayangkan rumah bambu indah yang ditawarkan kepada wisatawan di Bali. Rumah--lebih tepatnya gubuk--itu berukuran 6 meter persegi. Kelima anggota keluarga ini tidur, belajar, memasak, dan melakukan aktivitas lainnya di dalam gubuk kecil itu.

"Kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena memang tidak ada pilihan," kata pendiri Pusat Kegiatan Perempuan (PKP) Community Centre di Kabupaten Gianyar ini Jumat lalu, 3 Mei 2024.

Ayahnya menyukai adu ayam. Namun, kesukaannya itu melewati batas dari Tradisi Tabuh Rah, yang seharusnya hanya sebagai penyucian Butha Yadnya tanpa embel-embel pertaruhan uang. Ayahnya terjebak ke dalam dunia gambling, perjudian sabung ayam atau tajen. Pergi selama 3-6 bulan, lalu pulang ke rumah sambil membawa jutaan utang akibat judi tajen.

Saat itulah mereka tidak mendapat respect dari orang-orang di sekitarnya. Karena kemiskinan dan punya ayah pejudi, suatu hari ada tetangga datang ke ayahnya untuk menawarkan pekerjaan di dunia prostitusi. Tetangganya ingin menjual ibu dan anak-anaknya ke bos-bos yang ada di sekitar sana.

"Eh, anakmu itu cantik-cantik. Seharusnya kamu gampang cari uang untuk sekolah mereka. Banyak itu yang menginginkan mereka (ibu, Sari, dan kakak kedua)," ujar Sari menirukan tetangganya.

Namun, ayahnya tidak buta. Ia sangat menyayangi keluarga, dan menolak mentah-mentah tawaran itu. Meskipun keluarga ini saling melindungi, tapi tidak cukup membuatnya kuat untuk menghadapi maupun merespon perilaku-perilaku buruk terhadap kehidupan mereka. Sehingga untuk kedua kalinya, Sari melakukan percobaan bunuh diri. Kali ini bersama kakaknya yang nomor dua. Kata Sari, mereka sama-sama tidak pintar bunuh diri. Keduanya tersangkut di pohon, dan berakhir di rumah sakit. Sari sering menjadikan cerita ini bahan candaan (dark jokes) kepada gadis-gadis ýang pernah diselamatkannya, karena mencoba bunuh diri. Bahwa dirinya sebagai mantan orang yang gagal bunuh diri.

"Karena banyak tuh yang kita bantu, ada gadis-gadis melukai tangannya, minum racun, apa gitu. Saya bilang, 'Kalau mau beneran bunuh diri, gak gitu caranya','" kata Sari yang terkekeh pada saat menceritakan ini.

Sari dewasa kini memasuki episode ketiga. Yaitu dunia pernikahan. Ia tidak punya gambaran sama sekali tentang apa itu pernikahan, dan aturan-aturannya setelah menikah. Ia tidak sadar mengikuti pola pernikahan yang sama di keluarga. Neneknya menikah di usia 15 tahun, dengan cara diambil di jalan dan diangkut semasa perang. Ibunya dipaksa menikah tanpa cinta di usia 16 tahun. Kabar ini sampai membuat neneknya Sari mengalami gangguan jiwa karena syok. Lalu kakaknya Sari menikah di usia 20 tahun. Pernikahan kakaknya ini agak berbeda karena atas dasar mencintai suami.

Berikutnya, Sari yang menikah sangat muda di bawah usia 20 tahun. Ia dan suami memiliki seorang anak perempuan. Selama pernikahan ini, ia mengalami depresi berat hingga membuat badannya tinggal tulang dan kulit. Berat badannya turun drastis menjadi 35 kilogram (kg), dari yang awalnya 53 kg. Ia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Keluarga Sari dan keluarga suami lantas mengajaknya untuk melakukan perjalanan spiritual. Mulai dari melukat (membersihkan diri memakai sarana sumber mata air), hingga ke tabib, dan balian atau dukun. Sampai akhirnya pernikahan itu hanya bertahan dua tahun. Atas kondisi mentalnya itu, kedua keluarga sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahan ini, meskipun Sari dan suami tidak mau berpisah.

Karena hidup di dalam masyarakat adat yang patrilineal, hak asuh anak jatuh ke tangan suami. Sari harus bersabar untuk menemui anaknya selama 16 tahun. Mau tak mau, Sari harus menghadapi ini. Ibunya berpesan agar Sari harus menyembuhkan diri dulu. Ibunya tidak mau melihat sang anak mati sia-sia karena sudah sering melakukan percobaan bunuh diri sejak kecil, dan badannya sangat kurus.

Sari merekam banyak hal di kehidupannya. Kemiskinan, pernikahan di bawah umur, direndahkan oleh lingkungan, hingga mental illness. Ia saat itu belum bisa memproses dan memahami, apa yang terjadi pada dirinya? Menurutnya, semesta memang mendesain kehidupan yang begitu indah ini bersama kotoran-kotoran yang ada. Jadi, mau gak mau ia tetap harus menjalankan ini begitu saja.

"Harus memastikan untuk menyembuhkan luka batin dulu. Itu penting. Ini yang akhirnya saya pelajari," katanya.

Penulis: Irma Yudistirani, Khusnul Hasana, Muhammad Nasir, Prayugo Utomo, Tama Wiguna, Wira Sanjiwani

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya