Polda Bali Hentikan Kasus Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung!

Polisi tak usut kasus yang saksi berdasarkan "Katanya"

Denpasar, IDN Times - Ada kabar baru terkait dugaan paedofil di ashram Klungkung. Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali, Irjen Petrus Reinhard Golose, mengungkapkan tidak akan melakukan penyidikan dan penyelidikan terkait kasus dugaan paedofil di ashram Klungkung. Petrus menyebut, pihaknya tak menyelidiki kasus berdasarkan pada Testimonium de Auditu, saksi yang berdasarkan "Katanya".

"Saya tak akan melakukan penyidikan dan penyelidikan yang saksi katanya," ungkap Petrus usai meresmikan Kapal Polisi PRG (Prawira Raksa Ghora) dan Pospolairud Serangan, Rabu (20/2).

1. Kasus ini dinilai dieksploitasi oleh orang tertentu yang tidak punya dasar yang baik

Polda Bali Hentikan Kasus Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung!IDN Times/Irma Yudistirani

Irjen Petrus mengatakan, dalam dugaan kasus ini harus menghargai hak asasi manusia. Menurutnya, kasus paedofil ini muncul pada tahun 2015 dan kejadiannya terjadi pada waktu sebelum tahun tersebut.

Menurutnya, dugaan kasus ini dieksploitasi oleh sejumlah orang-orang tertentu dengan tujuan lain. Menurutnya, dalam dugaan kasus ini harus melindungi pribadi dari korban yang kini sudah dewasa.

"Harus diingat bahwa kita harus mengamankan hak asasi orang. Paedofil ini dimunculkan pada 2015 dan kejadiannya pada sebelumnya. Kemudian dieksplore oleh orang-orang tertentu yang tidak punya dasar yang baik. Hanya mau eksploitasi berita untuk anak-anak," katanya, Rabu (20/2).

Baca Juga: SWAP Minta DPRD Klungkung Segera Bentuk Pansus Khusus Paedofil Ashram

2. "Ini menjadi mencederai tugas kami dari kepolisian"

Polda Bali Hentikan Kasus Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung!Arist Merdeka Sirait saat berada di ashram. (IDN Times/Imam Rosidin)

Ia menuturkan, kasus ini dibicarakan oleh orang yang tidak mengerti. Jadi, menurutnya jangan membicarakan persoalan ini kalau tidak memiliki data.

"Ini menjadi mencederai tugas kami dari kepolisian dan untuk menjaga privasi anak-anak. Dimunculkan, sementara korbannya sudah dewasa," ujarnya.

3. Polda Bali pernah menghubungi korban pada tanggal 5 Februari 2019

Polda Bali Hentikan Kasus Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung!IDN Times/Irma Yudistirani

Kabid Humas Polda Bali, Kombes Hengky Widjaja, dalam keterangan tertulisnya menyatakan telah melakukan pertemuan dengan tujuh orang yang dianggap tahu terkait kasus ini. Ketujuh orang itu menyatakan, bahwa benar saat pertemuan pada tahun 2015 lalu mendengar testimoni dari seorang yang mengaku sebagai korban.

Korban saat itu berusia di bawah 18 tahun yang mengaku mendapatkan pelecehan seksual dari guru spiritualnya di ashram. Pada mulanya menurut saksi-saksi itu, korban bersedia melapor ke polisi. Namun saat hari H, korban mengurungkan niatnya.

Setelah itu tim dari Polda Bali menghubungi korban tersebut yang saat ini berusia 24 tahun. Selama berkomunikasi, ia bersedia bertemu dengan penyidik pada tanggal 5 Februari 2019. Namun korban tersebut kembali mengurungkan niatnya.

"Ia mengirim pesan melalui WhatsApp yang isinya meminta maaf. Setelah merenung, ia tak mau lagi mengingat hal yang sudah lewat. Juga minta tolong jangan diganggu dan sudah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang," tulis Kombes Hengky dalam keterangan persnya.

Baca Juga: Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung, Arist: Tak Perlu Laporan Korban

4. Orang yang diduga sebagai korban enggan memberikan keterangan

Polda Bali Hentikan Kasus Dugaan Paedofil di Ashram Klungkung!Pixabay.com/Pexels

Dari informasi-informasi di atas, Polda Bali dalam hal ini Subdit IV Ditreskrimum mengklaim telah melakukan upaya secara maksimal terkait peristiwa itu. Namun mereka masih menemukan kendala, yaitu orang yang diduga sebagai korban enggan memberikan keterangan. Hal itu menyebabkan para penyidik tidak bisa mengumpulkan alat bukti untuk membuktikan kasus tersebut benar terjadi.

Kedua, penyidik tidak bisa melakukan penyidikan tanpa adanya keterangan korban (Korban masih hidup atau sehat). Karena keterangan saksi-saksi yang baru diperoleh hanyalah saksi yang mendengar cerita dari orang yang diduga sebagai korban, dan bukan saksi yang mengalami atau mengetahui peristiwa secara langsung (Testimonium de Auditu).

Ketiga, bahwa terhadap informasi adanya rekaman pengakuan pelaku, sampai saat ini penyidik memperolehnya. Bila benar ada rekaman tersebut, maka rekaman tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh alat bukti lain (Seperti keterangan korban, saksi, surat. ahli dan petunjuk). Di mana pengakuan pelaku baru bernilai sebagai alat bukti bila diucapkan di depan sidang pengadilan (Keterangan terdakwa).

Keempat, bahwa terkait dengan orang yang diduga sebagai korban tidak mau memberikan keterangan. Penyidik tidak bisa memaksa karena sesuai dengan pasal 5 huruf c Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa saksi dan korban berhak "memberikan keterangan tanpa tekanan."

"Harusnya kita bersama tak memaksa orang yang diduga sebagai korban untuk memberikan keterangan. Karena korban tak mau mengingat lagi trauma masa lalunya. Kita harus bersama melindungi hak korban yang sudah hidup tenang," tutupnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya