Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRT

Ini baru yang terlapor...

Denpasar, IDN Times - Ratusan perempuan memadati wantilan di areal gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daeah (DPRD) Provinsi Bali, Jalan DR Kusuman Atmaja, Denpasar, Jumat (30/11). Mereka berkumpul untuk mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera sahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Padahal RUU PKS ini selalu menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) sejak tiga tahun yang lalu.

"RUU PKS ini selalu masuk prolegnas sejak 3 tahun terakhir. Tapi ini selalu dinomorduakan dan karena ada beberapa fraksi yang tidak setuju," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Ni Luh Putu Nilawati, Jumat (30/11) siang.

1. Perempuan wajib dilindungi oleh seluruh lapisan masyarakat

Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRTunsplash.com/Radu Florin

Nilawati menilai, saat ini Indonesia sudah darurat kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, ia ingin seluruh elemen masyarakat pemerintah, parlemen, aktivis, perempuan, tokoh agama, dan masyarakat umum sadar bahwa kekerasan perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Termasuk kekerasan terhadap anak-anak yang wajib untuk dicegah.

"Harus dilindungi korbannya dan ditindak pelakunya. Lalu membuat strategi dan solidaritas bersama untuk mencari cara mencegah perlindungan terhadap perempuan," lanjutnya.

Baca Juga: Awas Dipenjara 4 Tahun Jika Suka Menghina Fisik Seseorang di Medsos

2. Kasus kekerasan terhadap perempuan di Bali terbilang cukup tinggi

Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRTunsplash.com/Ben Blennerhassett

Ia menuturkan kasus kekerasan terhadap perempuan di Bali cukup tinggi. Dari data LBH APIK sejak Januari hingga November 2018, ada 116 kasus yang ditangani. Kendati tak merinci secara pasti, namun sebagian besar kasusnya berupa Kekerasan dalam Rumah Tinggi (KDRT). Sisanya ada yang berupa kekerasan verbal dan kekerasan seksual.

Namun di angka nasional, kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 384.446 kasus pada tahun 2017. Sementara dari data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dalam sehari ada 35 perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Artinya, di tiap provinsi selalu ada satu kasus dalam sehari.

"Ini baru yang terlapor dan tertangani. Banyak di sana yang belum terlapor," terangnya.

3. Mengapa kekerasan perempuan terus tinggi?

Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRTpexels/Pixabay

Ia menambahkan, penyebab angka ini tinggi karena lemahnya peraturan yang mengatur larangan kekerasan terhadap perempuan. Ia mencontohkan kasus yang ada di Lombok, yaitu Baiq Nuril yang harusnya menjadi korban justru kini menjadi tersangka. Ia menilai UU ITE ternyata lebih kuat ketimbang UU Kekerasan Seksual.

"UU kita hanya KUHP yang hanya ada sentuhan fisik, persetubuhan dan pencabulan. Secara verbal dan di media sosial juga belum ada. Jadi korban yang melapor justru bisa terkena ITE," katanya.

Selain itu, penyebab lainnya adalah faktor ekonomi dan adanya pihak ketiga atau perselingkuhan. Selain itu, pelaku kekerasan seksual juga biasanya orang-orang terdekat. Misalnya bapak ke anaknya, guru ke murid, paman ke keponakan, kakek ke cucunya dan lainnya. Hal tersebut membuat para perempuan ini tidak berani melaporkan.

4. LBH Apik Bali juga mengampanyekan diskriminasi terhadap ODHA

Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRTPixabay.com/rebcenter-moscow

Dalam acara ini, mereka juga mengampanyekan tentang bagaimana melawan diskrimnasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Menurutnya, hal ini penting karena para ODHA selalu mendapat cap negatif atau stigma yang buruk dari masyarakat.

"Kasus terbaru memang kebanyakan kekerasan dalam rumah tangga. Namun ada juga yang berupa diskriminasi para ODHA dari keluarga besarnya dan masyarakat," ungkapnya. 

Contoh kasus yang ia temui adalah masih banyak ODHA tidak melaporkan atau memeriksakan dirinya. Mereka sebagian besar takut didiskriminasi dan dijauhi keluarga serta masyarakat. Selain itu, yang di daerah seperti Bangli dan Buleleng juga banyak yang pindah ke Denpasar untuk menghindari stigma negatif.

5. Sekali lagi ditegaskan, bahwa edukasi seksual sangat perlu diajarkan sejak dini

Minim Perlindungan, Ratusan Perempuan di Bali Jadi Korban KDRTUnsplash/Duypham

Baca Juga: Data Dinkes Bali: 7246 Orang di Denpasar Terjangkit HIV & AIDS

Sementara itu, Yurike Ferinandus, seorang survivor atau orang yang mampu bertahan dan melawan kekerasan teehadap perempuan, mengungkapkan jika perempuan yang menjadi korban dan mendapatkan kekerasan kini semakin banyak.

"Kita tak bisa pungkiri bahwa kekerasan terhadap perempuan masih ada. Korban yang mengalami kekerasan ini tidak berani melaporkan karena pelaku biasanya orang terdekat," terangnya.

Terkait diskriminasi terhadap ODHA, ia mengisahkan banyak perempuan yang tertular dari suaminya. Setelah suaminya meninggal, para perempuan ini mendapat perlakuan diskriminasi dari keluarga besarnya.

"Banyak yang secara langsung dipulangkan ke rumahnya atau bahkan diusir," ucapnya.

Selama ini stigma di masyarakat, Humasn Immunodeficiency Virus (HIV) bisa tertular hanya dengan bersalaman. Padahal virus ini hanya menular jika melakukan hubungan seksual tanpa alat pengaman.

Untuk itu penting banget sebenanrya memberikan pendidikan seksual sedini mungkin. Anak-anak juga perlu diberikan pengetahuan soal HIV dan AIDS.

"Stigma selama ini, begitu mengetahui ada yang orang terinfeksi, langsung dijauhi. Mereka tak mengetahui edukasi yang benar," ucapnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya