UU ITE Makin 'Berbahaya': Dimanfaatkan Untuk Balas Dendam

Benarkah demikian? Kalau menurutmu gimana?

Badung, IDN Times - Sejak Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pertama kali disahkan tahun 2008 lalu, banyak sekali kasus-kasus yang berkaitan dengan ITE terkuak dan telah memakan banyak korban.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, hingga 31 Oktober 2018, terdapat 381 orang di Indonesia dijerat atau dilaporkan telah melanggar UU ITE, khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2). Namun, menurut SAFEnet, pelanggar UU ITE tersebut justru merupakan korban karena kekuasaan.

Untuk itu, PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE) dibentuk sebagai wadah bagi korban UU ITE untuk support group, advokasi, dan pengorganisasian. Karena tahun politik nanti rentan banyak korban yang berjatuhan, dan pembungkaman kritik semakin masif.

1. Hampir 90 persen kasus dijerat atas tuduhan pencemaran nama baik

UU ITE Makin 'Berbahaya': Dimanfaatkan Untuk Balas Dendampenningtonsheriff.org

Baca Juga: Bandara di Bali Utara Gunakan Tanah Desa adat Kubutambahan & Sanih

Muhammad Arsyad, Koordinator PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE), mengungkap sekitar 381 orang di Indonesia jadi pelanggar UU ITE, dan 90 persen di antaranya dijerat atas tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan ujaran kebencian (Hate speech).

Padahal sebagian besar orang yang terjerat oleh kasus tersebut memiliki niat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan membela hak-hak rakyat kecil.

"Mereka kebanyakan tak berniat mengujar kebencian. Tapi, mengkritisi kebijakan yang ada, atau mencari keadilan terkait hak-hak mereka," katanya, di Kuta Utara, Minggu (4/11) sore.

Ia mencontohkan kasus Anindya Sabrina di Surabaya. Saat itu, Sabrina dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual di asrama Papua Surabaya. Selain itu, juga ada kasus Deni Erliana, yang dilaporkan oleh pengembang karena membela hak-hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih.

Kasus terbaru adalah Fathur Rokhman, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), yang melaporkan Pemimpin Redaksi Serat.id, ke Polda Jawa Tengah dengan pasal 27 ayat (3). Laporan itu terkait dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh Fathur.

"Ini harus dihapuskan karena UU ini ternyata digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat masyarakat," lanjutnya.

2. UU ITE seharusnya menjerat orang yang mengujar kebencian, bukan yang mencari keadilan dan mengkritik kebijakan

UU ITE Makin 'Berbahaya': Dimanfaatkan Untuk Balas Dendamtechadvisor.co.uk

Arsyad, menambahkan ada tiga poin pokok yang menjadi tuntutan PAKU ITE. Pertama adalah menghapus seluruh pasal karet di dalam UU ITE, terutama pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Kedua adlah menghentikan segala bentuk kriminalisasi menggunakan UU ITE. Ketiga, memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai dengan amanah konstitusi.

Pasalnya, jika tak segera dihapuskan, UU ITE memiliki dampak yang sangat buruk. Ia berujar, UU ini bisa membuat masyarakat tak lagi kritis dan takut untuk menyuarakan pendapatnya.

Seandainya pemerintah memang tak bisa mencabut dan harus merevisi, maka yang perlu diperhatikan adalah prosesnya yang lebih diperketat. Artinya, yang harus ditindak itu orang-orang yang berniat mengujar kebencian, bukan orang yang mencari keadilan dan mengkritik kebijakan.

Jadi, prosedurnya harus diperketat dan diperinci lebih jelas agar tak menyebabkan multi tafsir. Seperti dalam pasal 27 ayat 3 yang terbukti masih bersifat karet, multi tafsir dan gampang disalahgunakan.

3. UU ITE dimanfaatkan untuk balas dendam

UU ITE Makin 'Berbahaya': Dimanfaatkan Untuk Balas DendamIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Bukan Dukun, Bali Akan Kembangkan Balian Pengobat Tradisional Herbal

Koordinator Regional SAFEnet, Damar Juniarta, mengatakan ada beberapa alasan mengapa banyak laporan yang menggunakan UU ITE. Di antaranya karena balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok.

Ia menambahkan, para pelapor ini kebanyakan berasal dari Aparatur Negara, pengambil kebijakan, dan para pemilik modal. Sementara yang terlapor sebagian besar adalah masyarakat kecil.

Ia sering menemukan kasus orang yang terjerat UU ITE adalah mereka yang tengah memperjuangkan hidupnya. Misalnya, hubungan antara karyawan dan pengusaha. Saat karyawan mencoba menyatakan pendapatnya bahwa sistem kerjanya harus lebih baik, namun yang terjadi justru dilaporkan ke polisi dengan UU ITE.

"Undang-undang ini menjadi wadah pemilik modal atau yang memiliki kekuasaan untuk membungkam suara-suara masyarakat terhadap kebijakan yang tak pro rakyat," katanya.

Selain itu, pasal penodaan Agama juga dianggap terlalu subjektif, dan itu menjadi kelemahannya. Maka, tidak ada cara yang lebih baik untuk memperbaiki aturan tersebut selain menghapusnya.

"Pidana itu harus ketat. Aturannya harus ketat, kalau ketat tak boleh karet," tutupnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya