Perempuan Bali di Persimpangan Jalan: Diam atau Berani Bersuara?

Sudah saatnya untuk lebih menghargai peran perempuan

Penulis: Ufiya Amirah

Sistem dan realitas patriarki kerap menempatkan perempuan Bali sebagai makhluk kelas dua. Lagu Bu Darmi karya Nosstress dan novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer memantik pembahasan strategi perlawanan perempuan dan laki-laki terhadap patriarki, khususnya di Bali.

Apakah Perempuan Bali Punya Pilihan? Itulah topik yang diangkat dalam pembahasan di Taman Baca Kesiman (TBK), Jalan Sedap Malam Nomor 234, Kota Denpasar, Jumat, (25/3/2022). Lalu bagaimana suara-suara perempuan Bali kini? 

Baca Juga: Berkaca dari Kasus Ibu di Brebes Bunuh Anaknya, Apa Akar Masalahnya?

1. Darmi adalah sosok perempuan yang menggambarkan bagaimana terkungkungnya perempuan dalam patriarki adat di Bali

https://www.youtube.com/embed/K9e3NdMvujg

Lirik lagu Bu Darmi ditulis oleh Putu Deoris. Berangkat dari keprihatinannya terhadap perempuan Bali. Darmi adalah seorang istri sekaligus ibu yang harus memenuhi segala kebutuhan rumah tangga. Sebagai tulang punggung dan sebagai perempuan, ia juga disibukkan dengan upacara adat Bali.

Di balik harmonisnya keluarga dan keberlangsungan ritual adat, terdapat perempuan yang berjuang keras menahan lapar demi terpenuhinya kebutuhan keluarga dan tetap bertahan untuk adat yang tetap lestari.

Darma merupakan suami Darmi. Darma tak bekerja, namun memperbanyak utang. Darmi dihadapkan dengan beban ganda keluarga. Utang tak terbayar, Darmi menjadi sasaran kekerasan suaminya. Walaupun hidup begitu keras, berpisah dari sang suami dan menjadi janda bukanlah pilihan. Bagi Darmi, janda lebih seram daripada kematian. Adat dan sosial menerjemahkan sosok janda sebagai dosa tak berkesudahan.

Menurut Founder TBK, Gung Alit, realitas patriarki yang merugikan perempuan tak terlihat dan tertutup oleh label 'aman' dan 'damai'nya Bali. Demi menjaga stabilitas pariwisata Bali, patriarki menjadi hal yang dianggap biasa.

"Perempuan Bali, khususnya generasi saya, diselimuti oleh tradisi patriarki yang kuat, terutama di tingkat adat. Berbicara adat sama dengan institusi. Keputusan dalam institusi ditentukan oleh laki-laki. Rapat di desa adat didominasi oleh laki-laki. Keputusan tersebut akan dijalankan oleh warga, khususnya perempuan. Di sisi lain, adat juga muncul di ruang domestik. Apabila tidak dijalankan, seringkali perempuan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan dan dosa. Padahal keputusan dalam adat mayoritas diputuskan oleh laki-laki," jelas Gung Alit.

2. Cara Midah mendobrak nilai dan norma patriarki dalam keluarga dengan menjadi perempuan mandiri

Perempuan Bali di Persimpangan Jalan: Diam atau Berani Bersuara?(Kutukata.id)

Memiliki kesamaan dengan karya Pramoedya yang lain, novel Midah Si Manis Bergigi Emas berlatar tempat di Pulau Jawa. Namun demikian, bukan berarti sistem patriarki masyarakat Jawa tak terjadi di dalam norma sosial masyarakat Bali. Walaupun terdapat perbedaan, sistem patriarki di manapun tempatnya, tetap menjadikan perempuan sebagai makhluk nomor dua.

Midah adalah anak perempuan Haji Abdul dan tinggal di Jakarta. Awalnya ia dibesarkan dengan cara dimanja oleh orangtuanya. Namun sejak kehadiran adik-adiknya, Midah merasa ada perbedaan perlakuan dari ibu dan bapaknya. Midah menyukai musik keroncong, namun Haji Abdul lebih suka lagu Umi Kalsum.

Karena sang bapak tak suka aliran musik Midah, ia merusak piringan hitam koleksi musik anaknya. Midah merasa patah hati lantaran perilaku Haji Abdul yang memaksa untuk menyukai hal yang tak disukai Midah.

Bahkan saat beranjak dewasa, Midah dijodohkan dengan Haji Tebus. Pilihan itu atas keputusan bapaknya. Midah menjadi istri kedua dari sang suami. Midah baru mengetahui bahwa Haji Tebus melakukan poligami pasca pernikahan dan mengetahui istri pertama baru hamil beberapa bulan. Midah kabur dari kediaman Haji Tebus. Ia berusaha menjadi perempuan mandiri dengan bergabung bersama para pemusik keroncong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berbeda dengan Darmi yang berusaha bertahan dalam rumah tangganya lantaran ada nilai-nilai adat yang ia hormati, Midah melawan patriarki dengan cara kabur dan menjadi perempuan mandiri.

Bagi Dara dari Feminist Space, patriarki telah meregenerasi dan beranak pinak. Bahkan seringkali perempuan tak sadar turut serta melanggengkan sistem patriarki. Oleh karena itu, belajar dari Darmi dan Midah, generasi baru perlu memutus nilai-nilai patriarki.

"Patriarki bersifat turun menurun sehingga perempuan tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan terkadang merugikan dirinya sendiri. Perilaku dominan dari patriarki adalah laki-laki. Perempuan dituntut melahirkan anak laki-laki untuk dijadikan ahli waris. Padahal, perempuan juga memiliki hak untuk menjadi ahli waris. Dalam adat pun, peran laki-laki dan perempuan juga dikotak-kotakan. Maka sangat penting generasi baru untuk memiliki kesadaran tentang kesetaraan gender agar bisa memutus patriarki," ucap Dara.

3. Perempuan Bali dirugikan oleh nilai-nilai patriarki yang terinstitusi dalam adat dan budaya

Perempuan Bali di Persimpangan Jalan: Diam atau Berani Bersuara?(Dok.pribadi/Ufiya Amirah)

Perempuan asal Kabupaten Tabanan, Ni Luh Gede Nanda Gayatri, menuturkan bahwa ada banyak kerugian yang dialami perempuan dari nilai-nilai patriarki dalam adat. Baginya, ada tiga masalah patriarki yang krusial dihadapi perempuan Bali dalam kehidupan sehari-sehari.

Pertama, perempuan Bali mengalami beban ganda, sebagai istri dan ibu harus bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, juga harus mempersiapkan kebutuhan ritual adat.

"Ketika perempuan Bali sudah dewasa dan apalagi menikah, seorang perempuan Bali tidak hanya mengurusi dapur, anak, dan suami saja. Ada nilai-nilai adat, misalnya ritual yang harus mereka lakukan. Contohnya membuat banten (Upakara) sampai dengan melakukan upacara, saat ada upacara keagamaan di Bali," ucap Nanda, Sabtu (26/3/2022).

Kedua, dalam kegiatan sangkep (Rapat desa), perempuan tak memiliki hak bersuara dan laki-laki lah yang memutuskan perkara dalam rapat. Kemudian, perempuan yang menjalani keputusan tersebut.

"Dalam adat Bali, suara perempuan tidak begitu didengarkan. Hal ini terlihat dari sangkep yang di kebanyakan desa, hanya laki-laki yang boleh mengambil keputusan. Para perempuan cukup diam di rumah dan mengikuti saja apa yang sudah diputuskan oleh para laki-laki. Padahal perempuan Bali juga adalah manusia yang sudah seharusnya setara dalam hal pengambilan keputusan yang juga bagian dari dirinya," jelas Nanda.

Ketiga, sistem purusa dalam adat telah mempersulit perempuan dalam menghadapi kekerasan rumah tangga. Berkaca kepada Darmi, Nanda mengamini adanya keyakinan dalam masyarakat Bali bahwa begitu hinanya menjadi seorang janda yang harus kembali ke rumahnya. Sementara pada saat pernikahan, ia telah melakukan ritual upacara pamit.

"Sistem purusa dalam adat Bali menyebabkan seorang istri, ketika dia mengalami KDRT misalnya, akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari suaminya, dari keluarga suami. Entah karena alasan takut tidak dapat bertemu anaknya atau takut tidak akan mendapatkan tempat lagi di rumahnya karena sudah mepamit," kata Nanda.

4. Dari skup terkecil, parenting adalah akar perubahan dari patriarki ke demokrasi keluarga

https://www.youtube.com/embed/eazGTFpKOOA

Keluarga adalah skup terkecil dari masyarakat yang berperan penting dalam mempertahankan budaya patriarki. Nilai-nilai patriarki yang lebih mengagungkan laki-laki, tidak jarang jsutru dilanggengkan oleh perempuan sendiri.

Pengangungan kepada salah satu gender tanpa didasarkan pada kesetaraan, akan melegitimasi nilai-nilai dominasi dan menganggap gender lain yang tak lebih mulia daripadanya, akan dipandang sebagai gender lemah dan harus patuh pada gender yang memiliki dominasi tinggi. Pola parenting yang demokratis akan membentuk dan menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam keluarga.

Indira, peserta diskusi tersebut, menceritakan bagaimana ibunya memberikan kekuasaan berlebih pada saudara laki-lakinya. Tak jarang, Indira sebagai adik, diminta mengayomi sang kakak yang dianggap sebagai gender utama dalam keluarga.

"Ibu saya akan mengambilkan nasi dan lauk ke piring kakak saya. Kemudian menyiapkan minum dan segala kebutuhannya saat makan. Ibu juga tidak akan beranjak dari kursi makan, sebelum melihat kakak saya menghabiskan makanannya. Ketika ibu pergi, saya diminta menyiapkan makanan dan kebutuhan kakak lainnya. Padahal, kakak saya bisa dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri di rumah tanpa harus saya yang membantunya," kata Indira.

5. Menolak normalisasi patriarki dengan lebih kritis terhadap nilai-nilai adat

Perempuan Bali di Persimpangan Jalan: Diam atau Berani Bersuara?(Dok. Pribadi/Ufiya Amirah)

Dengan banyaknya kerugian yang dialami oleh perempuan Bali atas budaya patriarki, maka sudah seyogyanya para perempuan mencoba memikirkan ulang, berusaha membangun nilai-nilai demokratis dan setara, baik di dalam keluarga, tatanan sosial, maupun adat. Anggapan nak mule keto (ya emang begitu) perlu dipertanyakan dengan berpikir lebih kritis terhadap nilai dan norma patriarkis di Bali.

Nanda menuturkan bahwa generasi baru di Bali sedikit banyak telah memiliki awareness (kepedulian) atau kesadaran bagaimana tidak adilnya sistem patriarki dalam adat Bali. Namun demikian, ketika perempuan mencoba mendobrak nilai lama yang tak setara, seringkali dibenturkan dengan anggapan nak mule keto. Jika sudah dibenturkan dengan anggapan tersebut, biasanya perempuan yang kritis akan memilih diam dan melakukan perlawanan terhadap patriarki dengan cara mereka sendiri.

"Perempuan Bali juga seharusnya punya pilihan. Namun di mana pilihan itu ketika dibentrokkan dengan adat, perempuan Bali seolah-olah tidak punya pilihan dengan kata nak mule keto. Mirisnya lagi, dalam hal ritual adat di Bali, khususnya perempuan mempunyai kedudukan yang penting. Tetapi hal itu justru diromantisasi untuk semakin menginferiorkan perempuan Bali dalam kungkungan adat," jelas Nanda.

Gung Alit juga mengungkapkan bahwa masyarakat Bali perlu keluar dari zona nyaman semboyan Bali aman dan damai. Menurutnya pemikiran demikian telah mematikan budaya kritis yang bertolak belakang dengan budaya dan nilai-nilai sosial yang sudah mentradisi, misalnya dalam hal soal perempuan.

"Kita ingin membangun tradisi berpikir kritis. Pariwisata telah menjadi core producte ekonomi di Bali yang sering membuat kita terlena, puas. Hal ini berdampak pada zona nyaman masyarakat. Kita tak lagi mau berpikir rumit, yang ada ya terima saja. Sehingga, kita sangat perlu berpikir kritis, khususnya mengenai soal patriarki yang tidak kondusif terhadap perempuan Bali," ucap Gung Alit.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya