HopeHelps Unud Terbuka Menerima Pengaduan Korban

Gianyar, IDN Times - Kasus kekerasan seksual berbasis elektronik terjadi di lingkungan Universitas Udayana (Unud). April 2025 lalu, pelaku menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk mengedit foto korban tanpa persetujuan, menjadi foto bermuatan pornografi. Pelaku telah mendapatkan sanksi administratif berat berupa pemecatan sebagai mahasiswa Unud.
Kasus ini mencuat setelah beberapa akun di media sosial memviralkan perbuatan bejat pelaku. Kala itu, belum ada kepastian dari kampus terkait sanksi yang akan diberikan. Ketua HopeHelps Unud Periode 2024-2025, Fanisa Dwi Aulia Milani, mengungkapkan kasus kemarin ibarat gunung es.
1. Kasus seperti fenomena gunung es
Fanisa menilai, penggunaan AI oleh pelaku dalam mengedit foto korban termasuk modus baru. Meskipun tergolong modus baru, Fanisa mengamati kasus serupa bukan sekali terjadi di lingkungan kampus.
“Dari saya pribadi, merasa ini menjadi kasus baru dalam dunia perkembangan AI, secara jenis kekerasan seksual kan setiap tahunnya punya jenis yang baru. Ada beberapa pelaku lain yang tidak ter-blow up (tapi sudah diselesaikan). Jadi ini sudah terjadi berulang,” kata Fanisa saat diwawancara IDN Times pada Selasa lalu, 29 April 2025.
2. HopeHelps Unud terbuka menerima pengaduan korban
Fanisa menjelaskan, HopeHelps terbuka atas layanan pengaduan bagi korban kekerasan seksual. Namun, pada kasus sebelumnya, aduan yang masuk ditangani oleh lembaga mahasiswa serta pihak Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unud.
Sepanjang 2024, HopeHelps Unud menerima satu pengaduan kasus kekerasan seksual di lingkungan Unud. Sedangkan data dari HopeHelps Pusat ada sekitar 10 pengaduan yang terdata. Fanisa mengungkapkan, dari kasus tersebut sebagian tergolong dalam kasus revenge porn atau pornografi balas dendam.
“Kasus di tahun 2024 cukup banyak terutama kasus-kasus seperti revenge porn atau nonconsensual dissemination of intimate image (NCII),” jelas Fanisa.
3. Mendengarkan dan memahami korban kekerasan seksual
HopeHelps menerapkan beberapa mekanisme pascamenerima aduan korban. Fanisa mengungkapkan, penanganan pertama adalah dengan menerapkan PFA (Psychological First Aid) atau penanganan awal terhadap psikologis korban.
“Setelah PFA, nanti akan disesuaikan kepada korban, kasus ini ingin dibawa ke mana. Apakah ke ranah hukum, atau hanya pemulihan psikis,” kata Fanisa.
Selanjutnya, akan ada pengumpulan data-data ataupun bukti yang diperlukan dan selalu mendukung korban.
“Untuk ranah hukum dan psikis, kami juga bekerja sama dengan psikolog, dan bisa membantu untuk pelaporan ke ranah hukum jika diperlukan,” lanjutnya.
Psikolog Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah, Lyly Puspa Palupi, mengungkapkan,penanganan korban kekerasan seksual berbasis elektronik, sejak awal membutuhkan pendampingan.
“Secara psikologis biasanya pendampingan dari mulai asesmen (pemeriksaan) untuk memahami dampak kekerasan terhadap korban,” kata Lyly.
Setelah pemeriksaan awal, akan ada intervensi berupa penanganan sesuai kebutuhan korban, melalui psikoterapi dan psikoedukasi.
4. Pihak kampus harus tegas menindak pelaku
Berkaca dari kasus yang terjadi di Unud, Fanisa berharap agar pihak kampus Unud bersikap tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Harapan saya pribadi pastinya sama dengan korban, perlu adanya sanksi tegas secara langsung, tidak ditunda atau menunggu korban korban mem-blow-up kasusnya,” kata dia.