Wawancara secara daring dengan Founder Griya Luhu Ida Bagus Mandhara Brasika alias Gus Nara. (IDN Times/Yuko Utami
Dalam sebuah wawancara di tempat lain, Gus Nara pernah menyatakan bahwa ia bercita-cita bangkrut. Pernyataan berani ini adalah suatu perumpamaan bahwa pemerintah sebagai otoritas belum mampu menyediakan model pengelolaan sampah yang ideal. Oleh sebab itu, ketika Griya Luhu masih ada itu berarti pengelolaan sampah di Bali masih menjadi persoalan.
“Nah jadi kalau lihat polanya, ini maksudnya pemerintah sendiri sebenarnya, ujung tombaknya pemerintah mengubah perilaku ini masih dengan cara-cara mau instan. Aku rasa ini akan cukup lamalah sampai kita beneran bangkrut ya, karena harusnya yang dilakukan adalah berpikir jangka panjang dan mengubah perilaku itu gak selesai dalam waktu dua bulan, satu tahun,” kata dia.
Ke depannya, Gus Nara dan pengelola Griya Luhu lainnya juga berencana menyusun model bisnis baru. Ia menilai, rencana ini perlu dilakukan karena Griya Luhu baru memperoleh keuntungan usaha yang sebelumnya sempat merugi dalam beberapa tahun.
Pengalaman berkesan selama mendirikan Griya Luhu, Gus Nara menemukan keluarga baru. Baginya, keluarga ini jauh lebih mahal daripada uang puluhan hingga ratusan juta.
“Saya nikah tahun 2020. Saat itu merekalah (masyarakat desa) yang memasak untuk acara nikahan saya dengan bahan-bahan lokal yang mereka mampu aja, dan itu menurut saya jauh lebih mahal daripada cuman uang berapa puluh juta ratusan juta. Saya bisa menemukan keluarga baru di masyarakat, membuat saya dan teman-teman tetap kuat,” jelas Gus Nara
Kini, total keseluruhan tim di Griya Luhu lebih dari 20 anggota. Masing-masing 10 anggota di bagian manajemen, dan 10 orang lainnya sebagai tenaga lapangan di bidang pilah sampah serta sopir pengangkutan. Di samping berproses dengan Griya Luhu, studinya di Inggris juga membuatnya turut berkolaborasi dengan 100 peneliti di dunia dalam riset menghitung emisi karbon dunia.