Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Gus Nara: Griya Luhu Bertahan Karena Kekuatan Masyarakat

Dokumentasi Tim Griya Luhu saat bersama masyarakat. (Dok Istimewa/Griya Luhu)

Gianyar, IDN Times - Perjalanan Ida Bagus Mandhara Brasika mendirikan usaha rintisan Griya Luhu begitu kompleks. Lelaki berusia 33 tahun ini melihat persoalan sampah di Bali sebagai tantangan sekaligus peluang.

Gus Nara, begitu Ia akrab disapa, menemukan masalah sampah di Bali belum menyentuh perubahan lingkungan di skala terkecil, khususnya masyarakat. Fenomena itu diperparah saat beberapa pemengaruh lingkungan di Bali menjadikan masyarakat lokal sebagai objek program. Seperti apa kisah Gus Nara, berikut selengkapnya.

1. Berawal dari komunitas

Ilustrasi pilah sampah. (IDN Times/Yuko Utami)

Kala itu di akhir 2017, Gus Nara baru saja menyelesaikan studi magister teknologi lingkungan di Imperial College London. Sebagai tanggung jawab penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Gus Nara membentuk komunitas Griya Luhu yang berfokus pada edukasi dan pengabdian pilah sampah sejak skala rumah tangga hingga desa. 

Lelaki yang kini melanjutkan pendidikan S3 (Phd) di Universitas Exeter, Inggris ini bercerita ide mendirikan Griya Luhu telah ada sejak lama, tetapi mengembangkan ide di dunia pemerintahan tidak mudah.

“Sebelum saya jadi dosen, saya kerja di dinas lingkungan hidup. Cuma, di dinas ada birokrasilah. Jadi banyak ide-ide saya yang tidak bisa saya kerjakan di pemerintahan langsung,” ungkap Gus Nara saat dihubungi pada Rabu, 8 Januari 2024.

Sementara, persoalan lain yang ditemukannya adalah pemengaruh di Bali hanya menyentuh kalangan tertentu dalam gerakan pengelolaan sampah. “Gagasan awalnya sih ingin buat masyarakat itu jadi subjek atau pelaku dari perubahan pengolahan sampah gitu. Gak cuma jadi objek saja. Gak hanya dikasih proyekan-proyekan aja, tapi jadi pelaku perubahan itu sendiri,” ujar lelaki yang masih menjadi dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana (Unud).

Berawal dari komunitas dengan sistem relawan, Gus Nara merasakan kerja mengelola sampah belum maksimal. Sehingga dari badan hukum yayasan, di tahun 2023, Griya Luhu secara legal menjadi perusahaan rintisan berbentuk perseroan terbatas (PT).

2. Menggabungkan teknologi dan pendekatan berbasis kelokalan pada masyarakat

Aplikasi Griya Luhu di Play Store. (Dok. Play Store/Google Play)

Pada tahun 2020, Griya Luhu menciptaka aplikasi yang dapat ditemukan di PlayStore. Aplikasi itu bernama Griya Luhu Nasabah, yang khusus untuk para nasabah melihat hasil tabungan mereka di bank sampah masing-masing. Sedangkan Griya Luhu App digunakan petugas bank sampah di masing-masing desa untuk mencatat sampah yang disetorkan nasabah. Ada pula big data yang dimiliki Griya Luhu adalah server utama yang dapat diakses pengelola Griya Luhu.

Semula, membersamai masyarakat  untuk melakukan perubahan perilaku dalam sampah tidaklah mudah. Gus Nara dan rekannya di Griya Luhu mempelajari isu lokal di setiap desa. Seperti saat mengetahui bahwa satu desa memiliki kasus demam berdarah yang tinggi, Gus Nara meyakinkan dengan pengelolaan sampah dari masyarakat mampu menurunkan kasus demam berdarah. 

“Jadi kita gunakan isu lokal, terus pendekatannya juga. Meskipun saya kuliah luar negeri, saya membiasakan ketika ketemu masyarakat tuh gak memposisikan diri sebagai orang yang lebih tinggi. Tapi ya sama kayak mereka, ngobrol dengan bahasa yang sama, makan hal yang sama dengan mereka,” jelasnya.

Pandemi Covid-19 membuat tiga bank sampah tidak dapat beroperasi maksimal. Sehingga lahirlah Griya Luhu App yang menyelamatkan tiga bank sampah sekaligus melebarkan sayap Griya Luhu. Bersama dengan kakak kelasnya di masa sekolah, Griya Luhu App mampu menumbuhkan 80-an bank sampah di Kabupaten Gianyar. Kini, Griya Luhu telah mengelola sekitar 300 400-an unit bank sampah. Aplikasi Griya Luhu saat ini juga telah digunakan di luar Bali seperti Jawa dan Kalimantan. Pihaknya juga bekerja sama dengan beberapa negara seperti Kanada, Swiss, dan Jepang.

Melalui data yang didapatkan dari aplikasi, Gus Nara dan Tim Griya Luhu mampu melakukan evaluasi. Misalnya, ketika ditemukan pemilahan sampah yang tidak maksimal, maka Tim Griya Luhu akan melakukan pendampingan lanjutan pada desa-desa yang masih membutuhkan. Gus Nara berpendapaf, praktik inilah yang membuat Griya Luhu berbeda yaitu tetap berkomitmen mendampingi masyarakat dengan pendekatan data serta aspek lokal. 

3. Temukan keluarga baru hingga rencana ke depan

Wawancara secara daring dengan Founder Griya Luhu Ida Bagus Mandhara Brasika alias Gus Nara. (IDN Times/Yuko Utami

Dalam sebuah wawancara di tempat lain, Gus Nara pernah menyatakan bahwa ia bercita-cita bangkrut. Pernyataan berani ini adalah suatu perumpamaan bahwa pemerintah sebagai otoritas belum mampu menyediakan model pengelolaan sampah yang ideal. Oleh sebab itu, ketika Griya Luhu masih ada  itu berarti pengelolaan sampah di Bali masih menjadi persoalan. 

“Nah jadi kalau lihat polanya, ini maksudnya pemerintah sendiri sebenarnya, ujung tombaknya pemerintah mengubah perilaku ini masih dengan cara-cara mau instan. Aku rasa ini akan cukup lamalah sampai kita beneran bangkrut ya, karena harusnya yang dilakukan adalah berpikir jangka panjang dan mengubah perilaku itu gak selesai dalam waktu dua bulan, satu tahun,” kata dia.

Ke depannya, Gus Nara dan pengelola Griya Luhu lainnya juga berencana menyusun model bisnis baru. Ia menilai, rencana ini perlu dilakukan karena Griya Luhu baru memperoleh keuntungan usaha yang sebelumnya sempat merugi dalam beberapa tahun.

Pengalaman berkesan selama mendirikan Griya Luhu, Gus Nara menemukan keluarga baru. Baginya, keluarga ini jauh lebih mahal daripada uang puluhan hingga ratusan juta.

“Saya nikah tahun 2020. Saat itu merekalah (masyarakat desa) yang memasak untuk acara nikahan saya dengan bahan-bahan lokal yang mereka mampu aja, dan itu menurut saya jauh lebih mahal daripada cuman uang berapa puluh juta ratusan juta. Saya bisa menemukan keluarga baru di masyarakat, membuat saya dan teman-teman tetap kuat,” jelas Gus Nara

Kini, total keseluruhan tim di Griya Luhu lebih dari 20 anggota. Masing-masing 10 anggota di bagian manajemen, dan 10 orang lainnya sebagai tenaga lapangan di bidang pilah sampah serta sopir pengangkutan. Di samping berproses dengan Griya Luhu, studinya di Inggris juga membuatnya turut berkolaborasi dengan 100 peneliti di dunia dalam riset menghitung emisi karbon dunia.

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us