Jakarta, IDN Times - Jumlah pemilih golongan putih (golput) diprediksi akan meningkat menjelang Pilpres 2019. Lembaga Survei Indikator merilis jumlah pemilih golput meningkat menjadi 20 persen.
Angka golput bisa saja bertambah dengan adanya swing voters yang akhirnya memutuskan menjadi golput. Meski barisan golput selalu ada di setiap Pemilu, namun mereka memiliki alasan sendiri mengapa memilih tidak memberikan suaranya kepada kontestan Pemilu.
Umumnya pemilih golput timbul karena beberapa alasan. Di antaranya tidak ada capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, tersangkut kasus hak asasi manusia (HAM), maupun masalah intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Pemerintah sendiri tidak melarang siapa pun untuk menjadi golput. Tapi kasusnya menjadi berbeda jika ada pihak yang sengaja mengajak orang lain untuk menjadi golput. Tidak main-main, mereka yang mendorong orang lain menjadi golput akan berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
Setidaknya ada dua pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, yang menjelaskan tentang ancaman bagi mereka yang mengajak orang golput. Yaitu:
- Pasal 292
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
- Pasal 301 ayat 3
Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Lantas, bagaimana kedua kubu capres-cawapres melihat kelompok golput? Apakah mereka merasa diuntungkan atau dirugikan?