Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Foto hanya ilustrasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota periode 2018-2022, untuk mengukur ketimpangan gender di suatu wilayah. Hasilnya, BPS menyimpulkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik. Benarkah demikian?

Denpasar, IDN Times - Menurut BPS, IKG pada 2022 sebesar 0,459 atau turun 0,0006 dibandingkan 2021. Menurunnya angka ini dipengaruhi oleh kesehatan reproduksi dan pemberdayaan yang semakin baik. Indeks ini menggunakan lima indikator yang terbagi dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi kesehatan reproduksi dengan indikator proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan (faskes), dan indikator proporsi perempuan usia 15–49 tahun yang melahirkan hidup pertama dalam dua tahun sebelumnya di bawah usia 20 tahun. Kedua, dimensi pemberdayaan yang meliputi persentase penduduk dengan pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA), dan persentase anggota legislatif. Ketiga, dimensi pasar tenaga kerja yang meliputi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).

Pada dimensi kesehatan reproduksi, perempuan melahirkan tidak di faskes turun dari 15,4 persen tahun 2021 menjadi 14 persen pada 2022. Itu berarti semakin banyak perempuan hamil yang mengakses faskes untuk melakukan persalinan. Pada dimensi pemberdayaan, persentase perempuan meningkat dari 34,87 persen tahun 2021 menjadi 36,95 persen pada 2022. Sedangkan persentase laki-laki meningkat dari 41,30 persen menjadi 42,06 persen pada 2022. Khusus untuk pemberdayaan, BPS menghitung GAP atau jarak indikator. Persentase perempuan selisih 2,08 persen. Sementara laki-laki selisihnya 0,76 persen. Selisihnya lebih besar perempuan daripada laki-laki. Untuk itu, BPS menyimpulkan bahwa pendidikan perempuan minimal SMA meningkat tinggi dibandingkan laki-laki.

Namun, tercapainya kesetaraan gender di Indonesia di atas tidak cukup diwakilkan oleh data kuantitatif. Karena dari hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh hyperlocal IDN Times di 13 provinsi, pendekatan program-program pemerintah masih belum responsif gender.

1. Perempuan di NTB dianggap tidak bisa menyaingi laki-laki, dan angka perkawinan anak di Jatim sangat tinggi

BPS merilis IKG di Provinsi NTB sebesar 0,648 pada 2022. Angka ini mengalami perbaikan atau turun 0,005 dari 0,658 pada tahun 2021. Meskipun dinilai ada perbaikan, faktanya keterwakilan perempuan NTB di lembaga legislatif sangat jomplang dibandingkan laki-laki. BPS NTB mencatat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hanya sebesar 1,59 persen. Sedangkan laki-laki 98,41 persen. Begitu pula proporsi anggota legislatif perempuan menurun dari 9,23 persen tahun 2018 menjadi 1,54 persen tahun 2019. Sedangkan proporsi anggota legislatif hanya naik sedikit menjadi 1,59 persen pada 2020, 2021, dan 2022.

Menurut Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) NTB, Madiana, budaya patriarki di NTB masih cukup kental. Perempuan dianggap tidak bisa menyaingi laki-laki. Tingginya ketimpangan gender itu terlihat dari partisipasi perempuan di legislatif dan ranah publik. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, hanya ada satu perempuan yang duduk di DPRD NTB. Selain itu, perempuan yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan juga masih sedikit. Perempuan hanya sebagai kepala organisasi perangkat daerah (OPD) yang posisinya menyentuh urusan perempuan.

"Dari segi pemahaman soal kesetaraan gender, pemerintah sudah paham. Karena beberapa regulasi, kita menghasilkan. Bagaimana pengarusutamaan gender masuk semua sektor pembangunan. Tetapi belum banyak instansi yang responsif gender. Pendekatan programnya belum responsif gender," kata Madiana Sabtu, 4 Mei 2024.

Sesuai peraturan, keterwakilan perempuan yang duduk di parlemen harus 30 persen, bukan dari pencalonannya saja. Sehingga Madiana menilai, partai politik (parpol) punya tanggung jawab untuk melakukan pengkaderan agar perempuan yang dicalonkan punya kapasitas, dan didukung secara finansial.

"Mengingat Pemilu kita transaksional, sehingga perempuan agak sulit lolos ke parlemen. Mungkin secara sosial dia punya modal sosial. Tapi terbentur izin suami, keuangan keluarga, apakah punya jabatan strategis di partai politik atau tidak. Jangan sampai perempuan hanya memenuhi kuota 30 persen saat pencalonan saja, tapi tidak dikaderisasi dengan baik," kata Madiana.

Beralih ke Provinsi Jawa Timur (Jatim). BPS merilis IKG di Jatim sebesar 0,440 pada tahun 2022. Angka itu turun 0,020 poin dibanding tahun 2021 yang tercatat 0,460. Meskipun turun, namun angka perkawinan anak di Jawa Timur sangat tinggi, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Kondisi ekonomi juga membuat perempuan di Jawa Timur memilih bekerja untuk membantu orangtuanya.

"Adanya pemahaman bahwa orangtua dengan menikahkan anaknya, dikira akan mengurangi beban ekonomi," kata Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Jatim, Dr TW Liswati.

Kita mundur sejenak ke tahun 2020. Jawa Timur pernah mencatat 9.453 pernikahan anak sepanjang tahun 2020 berdasarkan data dari Pengadilan Agama. Angka ini setara dengan 4,97 persen dari total 197.068 pernikahan. Persentase ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya 3,6 persen atau sebanyak 11.211 kasus dari total 340.613 pernikahan. Tingginya angka pernikahan anak ini membuat Gubernur Jawa Timur kala itu, Khofifah Indar Parawansa, menerbitkan Surat Edaran (SE) Tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang ditandatangani pada 18 Januari 2021. SE ini menjadi upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur untuk menekan angka pernikahan dini.

2. Sebagai Ibu Kotanya Provinsi Bali, IKG di Kota Denpasar berada di urutan 3 dengan ketimpangan gender tertinggi

Editorial Team

Tonton lebih seru di