Pendiri PKP Community Centre, Ni Komang Sariadi. (pkpcommunitycentre.org)
Dahniar (55) dan Ni Komang Sariadi (40) bukanlah perempuan yang terindeks dalam IKG Indonesia periode 2018-2022. Cerita mereka mungkin tidak mewakili populasi perempuan di Indonesia secara keseluruhan yang tidak mendapatkan kesetaraan. Namun, setidaknya kisah mereka menjadi refleksi buat kita tentang wujud nyata patriarki, dan mendorong pemerintah agar melibatkan tim yang berperspektif pada perempuan dan anak:
Dahniar kini telah berusia 55 tahun dan memiliki tiga anak. Namun, 35 tahun silam ia mengubur mimpinya menjadi guru. Niar, sapaannya, sampai sengaja melanjutkan pendidikan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus agar bisa kuliah dan menjadi guru. Sang ayah sangat tahu bahwa Niar ingin melanjutkan kuliah. Tetapi ayah meminta Niar mengalah untuk kedua kakaknya, yang lebih dulu masuk perguruan tinggi di Kota Palembang dan Bandar Lampung.
Orangtua takut tidak cukup untuk membiayai kuliah ketiga anaknya. Padahal secara ekonomi, keluarganya tergolong mampu dan berpenghasilan menengah ke atas. Niar menyadari, sebagai anak perempuan dari keluarga suku Lampung, dirinya sedikit dikesampingkan dibandingkan anak laki-laki. Sehingga setelah menyelesaikan SPG, ia lebih banyak membantu pekerjaan orangtuanya di rumah.
"Kalau kata orang sekarang, gadis pengangguran gak kerja gak apa. Jadi bantu-bantu mamah di rumah aja," katanya.
Ni Komang Sariadi (40) hidup sebagai tunawisma di masa kecilnya. Ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, apalagi merasakan finansial yang layak. Ia tinggal terpisah dengan orangtua dan kedua saudaranya. Dalam ingatannya, ia selalu dititipkan ke sana-sini, dan pernah tinggal bersama adik kandung neneknya yang menjadi transmigran di Sulawesi. Ia merasa tidak seperti anak-anak Bali lainnya. Tinggal menetap bersama orangtua, saudara, nenek, kakek, sepupu dari generasi ke generasi. Situasi kemiskinan ini men-trigger dirinya untuk melakukan percobaan bunuh diri yang pertama di usia 10 tahun. Usia yang terlalu dini untuk merasakan keputusasaan.
Memasuki episode kedua, Sari remaja mulai hidup bersama orangtua, dan kedua kakaknya di Bali. Mereka punya rumah dari bambu. Tapi jangan membayangkan rumah bambu indah yang ditawarkan kepada wisatawan di Bali. Rumah--lebih tepatnya gubuk--itu berukuran 6 meter persegi. Kelima anggota keluarga ini tidur, belajar, memasak, dan melakukan aktivitas lainnya di dalam gubuk kecil itu.
"Kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena memang tidak ada pilihan," kata pendiri Pusat Kegiatan Perempuan (PKP) Community Centre di Kabupaten Gianyar ini Jumat lalu, 3 Mei 2024.
Ayahnya menyukai adu ayam. Namun, kesukaannya itu melewati batas dari Tradisi Tabuh Rah, yang seharusnya hanya sebagai penyucian Butha Yadnya tanpa embel-embel pertaruhan uang. Ayahnya terjebak ke dalam dunia gambling, perjudian sabung ayam atau tajen. Pergi selama 3-6 bulan, lalu pulang ke rumah sambil membawa jutaan utang akibat judi tajen.
Saat itulah mereka tidak mendapat respect dari orang-orang di sekitarnya. Karena kemiskinan dan punya ayah pejudi, suatu hari ada tetangga datang ke ayahnya untuk menawarkan pekerjaan di dunia prostitusi. Tetangganya ingin menjual ibu dan anak-anaknya ke bos-bos yang ada di sekitar sana.
"Eh, anakmu itu cantik-cantik. Seharusnya kamu gampang cari uang untuk sekolah mereka. Banyak itu yang menginginkan mereka (ibu, Sari, dan kakak kedua)," ujar Sari menirukan tetangganya.
Namun, ayahnya tidak buta. Ia sangat menyayangi keluarga, dan menolak mentah-mentah tawaran itu. Meskipun keluarga ini saling melindungi, tapi tidak cukup membuatnya kuat untuk menghadapi maupun merespon perilaku-perilaku buruk terhadap kehidupan mereka. Sehingga untuk kedua kalinya, Sari melakukan percobaan bunuh diri. Kali ini bersama kakaknya yang nomor dua. Kata Sari, mereka sama-sama tidak pintar bunuh diri. Keduanya tersangkut di pohon, dan berakhir di rumah sakit. Sari sering menjadikan cerita ini bahan candaan (dark jokes) kepada gadis-gadis ýang pernah diselamatkannya, karena mencoba bunuh diri. Bahwa dirinya sebagai mantan orang yang gagal bunuh diri.
"Karena banyak tuh yang kita bantu, ada gadis-gadis melukai tangannya, minum racun, apa gitu. Saya bilang, 'Kalau mau beneran bunuh diri, gak gitu caranya','" kata Sari yang terkekeh pada saat menceritakan ini.
Sari dewasa kini memasuki episode ketiga. Yaitu dunia pernikahan. Ia tidak punya gambaran sama sekali tentang apa itu pernikahan, dan aturan-aturannya setelah menikah. Ia tidak sadar mengikuti pola pernikahan yang sama di keluarga. Neneknya menikah di usia 15 tahun, dengan cara diambil di jalan dan diangkut semasa perang. Ibunya dipaksa menikah tanpa cinta di usia 16 tahun. Kabar ini sampai membuat neneknya Sari mengalami gangguan jiwa karena syok. Lalu kakaknya Sari menikah di usia 20 tahun. Pernikahan kakaknya ini agak berbeda karena atas dasar mencintai suami.
Berikutnya, Sari yang menikah sangat muda di bawah usia 20 tahun. Ia dan suami memiliki seorang anak perempuan. Selama pernikahan ini, ia mengalami depresi berat hingga membuat badannya tinggal tulang dan kulit. Berat badannya turun drastis menjadi 35 kilogram (kg), dari yang awalnya 53 kg. Ia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Keluarga Sari dan keluarga suami lantas mengajaknya untuk melakukan perjalanan spiritual. Mulai dari melukat (membersihkan diri memakai sarana sumber mata air), hingga ke tabib, dan balian atau dukun. Sampai akhirnya pernikahan itu hanya bertahan dua tahun. Atas kondisi mentalnya itu, kedua keluarga sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahan ini, meskipun Sari dan suami tidak mau berpisah.
Karena hidup di dalam masyarakat adat yang patrilineal, hak asuh anak jatuh ke tangan suami. Sari harus bersabar untuk menemui anaknya selama 16 tahun. Mau tak mau, Sari harus menghadapi ini. Ibunya berpesan agar Sari harus menyembuhkan diri dulu. Ibunya tidak mau melihat sang anak mati sia-sia karena sudah sering melakukan percobaan bunuh diri sejak kecil, dan badannya sangat kurus.
Sari merekam banyak hal di kehidupannya. Kemiskinan, pernikahan di bawah umur, direndahkan oleh lingkungan, hingga mental illness. Ia saat itu belum bisa memproses dan memahami, apa yang terjadi pada dirinya? Menurutnya, semesta memang mendesain kehidupan yang begitu indah ini bersama kotoran-kotoran yang ada. Jadi, mau gak mau ia tetap harus menjalankan ini begitu saja.
"Harus memastikan untuk menyembuhkan luka batin dulu. Itu penting. Ini yang akhirnya saya pelajari," katanya.
Penulis: Irma Yudistirani, Khusnul Hasana, Muhammad Nasir, Prayugo Utomo, Tama Wiguna, Wira Sanjiwani