Facebook.com/aryawedakarnaofficial
Pada tanggal 28 Oktober 2020, sekitar 30 orang yang mengatasnamakan sebagai Shandi Murti berdemo di depan Kantor DPD RI Bali, Jalan Cok Tresna, Renon, Kota Denpasar. Menurut video yang beredar, Wedakarna siap menerima warga di kantornya, tepatnya di Ruang Rapat Pancasila, pada pukul 12.00 Wita. Namun massa menolak dan memilih berorasi di luar pagar.
Massa mengaku kecewa atas pernyataan Wedakarna di video yang viral tersebut. Ia menyebutkan bahwa Bhatara di dalam pura tersebut bukanlah dewa.
“Kami di sini sangat kecewa kepada Wedakarna atas statement yang disampaikan kemarin dalam videonya. Melecehkan Ratu Gede Mecaling, masyarakat Nusa Penida sangat marah dan kami sangat kecewa dengan pernyataan Wedakarna tersebut. Tolong Wedakarna segera datang ke Nusa (Penida) meminta maaf sama masyarakat Nusa Penida. Itu poinnya,” ujar Nengah Jana, warga asal Nusa Penida.
Wedakarna turun ke halaman dan mempersilakan pendemo masuk ke kantornya. Ketika menghampiri massa, ada telapak tangan yang dilayangkan ke arah kepala Wedakarna hingga terjadinya ricuh. Aparat kepolisian dan petugas keamanan tampak berjaga-jaga pada saat kejadian. Wedakarna lalu melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Daerah (Polda) Bali dan melakukan visum atas dugaan penganiayaan. Pengaduan itu tertulis dalam laporan dengan bukti P/401/X/2020/Ditreskrimum. Pihaknya melaporkan Gusti Angkasa Permana dan kawan-kawan.
Dalam keterangan laporan dugaan Tindak Pidana Penganiayaan atau kekerasan secara bersama-sama Pasal 351 KUHP atau 170 KUHP, AWK mengaku dipukul pada bagian pipi kanan, luka lecet di tangan kanan, dan kepala bagian tengah terasa sakit (nyeri). Tindakan tersebut diduga dilakukan oleh tiga orang. Barang bukti yang diamankan adalah satu unit handycam merek Sony yang telah pecah, dan sebuah flashdisk berisi rekaman pemukulan.
Direktorat Reskrimum Polda Bali memproses kasus itu. Dikonfirmasi pada Rabu (4/11/2020), Kasubdit I Direktorat Reskrimum Polda Bali, AKBP Imam Ismail, mengatakan masih melakukan pemeriksaan saksi. Dua orang saksi telah diperiksa pada Selasa (3/11/2020).
"Kami sudah memeriksa dua saksi kemarin," jelasnya.
Selain dua saksi, Dit Reskrimum Polda Bali juga akan memanggil tiga orang saksi. Apabila pemeriksaan terlapor sudah selesai, berikutnya akan dilakukan gelar perkara.
"Kami akan memanggil tiga orang saksi lagi. Jadi totalnya ada lima saksi kami periksa," tambahnya.
Sementara itu Panglima Puskor Hindunesia, Dewa Made Sudewa, mengaku menurunkan beberapa orangnya untuk mendukung apapun pergerakan terkait hal ini. Ia pun mengaku ikut tersinggung atas pernyataan Wedakarna.
“Apapun yang dilakukan Ajik Ngurah (Sesepuh Shandi Murti I Gusti Ngurah Harta), kami Puskor akan saling dukung. Itu yang kami lakukan. Kami tetap kompak menjaga taksu Bali karena kami sudah dilecehkan sebagai orang Bali. Siapa yang nggak tersinggung, semua akan tersinggung yang jadi orang Bali,” jelas Dewa Made Sudewa.
Sesepuh Perguruan Sandi Murti, I Gusti Ngurah Harta (Turah), menjelaskan kedatangan massa ke Kantor DPD RI merupakan undangan dari Wedakarna sendiri yang ingin mengajak untuk berdialog.
“Kita memang tidak kasih anak-anak dialog. Kami ke sana hanya ingin demo dan orasi supaya mendengarkan unek-unek masyarakat Bali. Sebab masyarakat Bali sangat tersinggung sekali dengan pelecehan-pelecehan simbol-simbol yang dipuja oleh masyarakat Bali,” ungkap Turah.
Pihak Sandi Murti sendiri mengaku enggan berdialog karena datang bukan untuk kompromi. Atas pemukulan itu, Turah mengaku karena masyarakat terpancing oleh sikap Wedakarna yang mengepalkan tangan ke arah warga.
“Tidak ada pemukulan. Gak ada. Teman-teman bercita-cita ingin meraba kepalanya raja gitu lho. Itu saja. Biar pernah meraba kepalanya raja, cuman dipegang gitu saja,” jelasnya.
Kasus ini berujung pada saling lapor. Giliran Turah melaporkan Wedakarna ke Polda Bali, pada Jumat (30/10/2020) pagi, atas dugaan pelecehan simbol-simbol agama Hindu Bali dan ceramahnya yang dinilai menyarankan generasi muda melakukan seks bebas asal menggunakan pengaman.