Ilustrasi olahan daging babi. (IDN Times/Ayu Afria)
Mardiana mengungkapkan, Bali sudah mandiri memenuhi kebutuhan daging babi sejak puluhan tahun yang lalu. Bali tidak pernah mengimpor daging maupun produk olahan babi dari luar wilayah. Begitu pula untuk urusan lalulintas ternak babi di wilayah Bali. Justru yang ada malah daging, olahan, hingga ternak babi dari Bali diekspor ke luar wilayah.
Angka ekspor Bali tersebut semakin meningkat tatkala ada serangan ASF di Sumatra Utara. Meski belum diketahui pasti angkanya, namun daging dan produk olahan babi dari Bali kini menjadi rujukan beberapa wilayah Indonesia, yang membutuhkan produk ini untuk konsumsi.
Bali sendiri masuk dalam daftar empat wilayah terbesar di Indonesia dengan populasi babi tertinggi. Yaitu Sumatara Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara.
Lumpuhnya peternakan babi di Sumatra Utara akibat ASF dan Hog Cholera, kini memposisikan Bali sebagai rujukan untuk produk daging babi skala nasional. Apalagi ada nilai surplus daging babi hingga 400 ton.
“Sudah swadaya. Artinya surplus 400 ton itu, pengolahan sudah, konsumsi masyarakat lokal sudah, kebutuhan upacara sudah. Nah itu. Ini target kami yang penting bagaimana ke depan para pengusaha kita mengisi kekosongan di DKI (Daerah Khusus Ibu Kota)," ungkapnya.
Aliran surplus daging babi dari Bali juga dikirim ke Solo, Freeport dan Singapura. Baik berupa babi hidup, daging, olahan sosis, daging asap, dendeng maupun lainnya.