Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Tanjung Benoa
Aktivitas di Pantai Tanjung Benoa (IDN Times/Ayu Afria)

Denpasar, IDN Times - Sektor pariwista di Bali masih diwarnai dengan eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap anak. Fakta yang paling mudah dijumpai adalah banyaknya anak-anak yang mengadu nasib berjualan tisu, jepit rambut, hingga aksesori di titik-titik tertentu.

Koordinator Nasional Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPAT), Andy Ardian, mengatakan sektor pariwisata di Bali memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun di balik kesuksesan ini ternyata ada tantangan besar yang perlu diantisipasi, terutama terkait eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap anak di sektor informal maupun formal.

"Kita tahu bahwa dunia pariwisata adalah dunia yang juga rentan pada anak-anak. Mereka bisa saja terdampak dari dampak-dampak negatif, seperti keterlibatan mereka sebagai pekerja anak terus kemudian eksploitatif juga," terangnya, Senin (29/9/2025).

1. Ekploitasi anak di Bali lebih tinggi

Koordinator Nasional ECPAT, Andy Ardian (IDN Times/Ayu Afria)

Koordinator Nasional ECPAT, Andy Ardian, mengatakan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 mencatat sekitar 1,27 juta anak di Indonesia, atau 2,17 persen dari populasi usia 5–17 tahun masih terlibat sebagai pekerja anak. Artinya, 2 hingga 3 dari setiap 100 anak Indonesia tidak menikmati masa kanak-kanak sebagaimana mestinya.

Di Provinsi Bali sendiri, data BPS 2024 menunjukkan angka yang lebih tinggi. Yakni 2,97 persen anak usia 10-17 tahun. Banyak di antaranya bekerja di sektor pariwisata, mulai dari pedagang kecil, pengamen, pekerja spa, hingga akomodasi informal. Lingkungan ini sarat risiko eksploitasi dengan pengawasan yang terbatas.

"Banyak pekerja anak di Bali terlibat dalam sektor yang sangat rentan terhadap eksploitasi, yang menimbulkan risiko serius terhadap perkembangan fisik dan mental mereka, sekaligus membatasi akses terhadap pendidikan dan layanan sosial yang penting," terangnya.

2. Bali harus menyadari konsep perlindungan anak menjadi bagian pariwisata berkelanjutan

Aktivitas di Pantai Tanjung Benoa (IDN Times/Ayu Afria)

ECPAT Indonesia bersama Asosiasi Tur dan Travel Belanda (ANVR) dan Riksja Travel telah menginisiasi sebuah program untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual, serta ekonomi di destinasi wisata di Bali. Asosiasi Tur dan Travel Belanda (ANVR) dan Riksja Travel telah berhasil membentuk konsorsium lintas negara yang terdiri dari Destination Management Companies (DMCs) di Indonesia dan Belanda, serta berkomitmen untuk menghapuskan pekerja anak di sektor pariwisata Indonesia.

Para anggota konsorsium telah berjanji untuk memastikan bisnis dan rantai pasok mereka bebas dari pekerja anak. Targetnya adalah jumlah korban dapat berkurang bahkan sampai zero pekerja anak dan eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap anak di Bali.

"Di masyarakat internasional sendiri yang namanya pariwisata berkelanjutan itu perlindungan anak menjadi bagian dari tanggung jawab sosial dari industri tersebut," katanya.

3. Forum Anak Daerah mengambil peran edukasi ke sekolah

Ketua Forum Anak Daerah Kabupaten Karangasem, I Kadek Wedana. (IDN Times/Ayu Afria)

Sementara itu, Ketua Forum Anak Daerah (FAD) Karangasem, I Kadek Wedana (15), mengatakan banyak anak-anak dari Kabupaten Karangasem yang dilaporkan mengemis di kabupaten lain. Ini menjadi sorotan karena di wilayah Kabupaten Karangasem sendiri malah jarang ditemukan. Pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Amlapura tersebut menyampaikan, dengan kegiatan ini ia berharap menjadi langkah awal dalam menekan eksploitasi anak. Sementara itu, FAD Karangasem telah aktif mengambil peran sosialisasi ke sekolah-sekolah setiap bulannya untuk memberikan edukasi terkait permasalahan anak.

"Kami sendiri di Kabupaten Karangasem cukup banyak menerima laporan bahwa ada ditemukan di kabupaten lain anak-anak yang mengemis atau pekerja anak ternyata dari Karangasem. Makanya kita lumayan kaget juga," jelasnya.

Editorial Team