Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
b3e2ee27-7499-4efd-8654-a9558c7b0acf.jpeg
Tim kuasa hukum Fabiola Dianira saat bersama-sama melaporkan kasus dugaan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis perempuan saat meliput demo. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Sekitar pukul 14.30 Wita pada Sabtu, 6 September 2025, Fabiola Dianira telah berada di Kantor Kepolisian Daerah (Polda) Bali. Dianira tidak sendiri, Ia didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali sebagai kuasa hukumnya. Sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Bali, juga terlihat memberikan dukungan kepada Dianira. 

Dianira adalah jurnalis DetikBali yang menjadi korban kekerasan diduga polisi saat kerusuhan di Lapangan Niti Mandala, Kota Denpasar Sabtu lalu, 30 Agustus 2025. Kerusuhan itu terjadi pascapernyataan sikap massa aksi solidaritas Affan Kurniawan di depan Mapolda Bali. Sekelompok orang rusuh di sekitar Lapangan Niti Mandala, dan polisi menembakkan gas air mata saat warga sedang beraktivitas. Saat itulah Dianira mendapat intimidasi karena hendak merekam sejumlah tindakan dugaan kekerasan aparat saat pembubaran sekelompok orang itu. Ia menyaksikan orang ditendang, dipukuli, dan diborgol.

Meskipun sudah menyatakan dirinya sebagai jurnalis, sekitar 3-4 orang berpakaian serba hitam mengintimidasi dengan melarangnya mengambil foto. Kedua tangan Dianira dicengkeram oleh dua orang yang mengaku sebagai anggota polisi. Satu di antara mereka merampas dan memaksa membuka ponselnya, memastikan tidak ada dokumentasi kebrutalan pembubaran massa.

Dianira mengalami traumatik pascaintimidasi

Asap gas air mata mengepul di Jalan Dokter Kusuma Atmaja, sekitar Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. (IDN Times/Yuko Utami)

Dianira traumatik pascaintimidasi. Ia harus menjalani pemulihan psikologis setelah memeriksakan diri ke psikolog. Kerugian psikologis yang dialami korban dan kebebasan pers yang tercederai membuatnya bertekad melaporkan kasus ini. Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite, mengatakan polisi meskipun memeriksa sesama polisi harus tetap objektif, dan melihat seluruh fakta yang ada. Ia juga menegaskan agar pelaku tidak dibiarkan lepas begitu saja.

"Pelaku dalam peristiwa ini turut mendapatkan pertanggungjawabannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak terjadi impunitas. Artinya, pelaku ini tidak dibiarkan lepas begitu saja, namun mendorong agar diberikan sanksi yang berat," ujar Rhadite saat ditemui di Polda Bali, Sabtu (6/9/2025).

Proses pelaporan kasus intimidasi dan kekerasan cukup alot, memakan waktu sekitar 12 jam

Dianira, tim kuasa hukum, dan jurnalis di Bali yang mendampingi harus bolak-balik urus berkas pelaporan hingga dinihari. (IDN Times/Yuko Utami)

Dianira, tim kuasa hukum, dan sejumlah rekan jurnalis harus berada di Polda Bali sekitar 12 jam. Dianira dan LBH Bali menghadapi kenyataan bahwa proses pelaporan kasus intimidasi dan kekerasan ini cukup alot. Dianira ingin kasus intimidasi dan kekerasan ini menggunakan UU Pers. Sehingga tim kuasa hukum, Fabiola Dianira, maupun teman-teman jurnalis yang menemani terpaksa bolak balik dari SPKT ke Ditreskrimus untuk mendesak kasus ini bisa dijerat dengan UU Pers.

Laporan akhirnya diterima Polda Bali setelah memakan waktu hampir 12 jam, yakni mulai pukul 15.00-02.14 Wita, dengan nomor Laporan Polisi Nomor LP/B/636/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 6 September 2025 dan Nomor LP/B/637/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 7 September 2025.

Pasal yang dilaporkan adalah Pasal 335 ayat 1 butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 4 ayat 2 dan/atau ayat 3 jo Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 10 ayat 1 huruf d dan f; Pasal 12 huruf e dan g; dan Pasal 13 huruf m Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

"Dalam hal ini melaporkan dugaan tindak pidana menghalang-halangi dan melakukan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik, pemaksaan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, serta sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses perangkat milik jurnalis serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga orang personel Polri yang belum diketahui identitasnya," kata Rhadite.

Pelaporan kasus ini sebagai preseden agar tidak ada segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis

ilustrasi keadilan (pixabay.com/AJEL)

Rhadite menegaskan, dilaporkannya kasus ini ke Polda Bali sebagai preseden agar tidak ada kejadian berulang terhadap kekerasan dan intimidasi kepada jurnalis. Sebab peristiwa itu adalah pelanggaran serius atas demokrasi dan kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999.

"Jadi laporan ini menjadi upaya untuk menciptakan preseden. Kalau kita biarkan, ke depan akan sangat mungkin terjadi kekerasan-kekerasan kepada kawan-kawan jurnalis," kata dia.

Rhadite melampirkan sejumlah bukti tindakan intimidasi dan kekerasan polisi, yakni kartu pers Fabiola Dianira, surat tugas peliputan, dan dua orang saksi. Tim kuasa hukum juga melampirkan petunjuk berupa titik lokasi rekaman CCTV yang dapat menunjukkan peristiwa tindakan intimidasi dan kekerasan polisi.

Sementara, Koordinator Divisi (Kordiv) Gender dan Kemitraan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, Ni Kadek Novi Febriani, mengapresiasi keberanian Dianira yang melaporkan tindakan intimidasi dan kekerasan diduga dilakukan oleh anggota Polri. Ini bukti jurnalis perempuan berani melawan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis.

Bagi Febri, hal yang dialami Dianira menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Dalam kondisi politik-sosial yang bergejolak, publik membutuhkan berita yang akurat, independen, dan bisa dipercaya. Dia menilai kepolisian seharusnya bisa menjamin kebebasan pers.

"Pada Pasal 8 UU Pers disebutkan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka adanya tindakan kekerasan dialami oleh jurnalis saat meliput aksi 30 Agustus adalah pelanggaran hukum dan demokrasi," ujarnya.

Upaya pemulihan psikologis Dianira terus berlanjut

Ilustrasi Psikolog Yang Sedang Melakukan Sesi Konsultasi (pexels.com/SHVETS production)

Rhadite mengungkapkan, langkah pemulihan psikologis terhadap Dianira masih terus berlanjut. Pihaknya dan jejaring solidaritas berupaya agar korban mendapatkan pendampingan secara pidana dan psikologis.

"Kami juga terus memastikan bahwa korban tidak hanya didampingi secara pidana, tapi secara psikis karena sudah terkena dampak, itu juga harus dipulihkan. Kami juga memastikan proses ini akan tetap berjalan," kata Rhadite. 

Febri berharap tidak ada lagi jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi. AJI Kota Denpasar juga secara tegas mengecam segala kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis saat meliput aksi pada 30 Agustus 2025 lalu. Kemudian, menuntut Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali mengusut dan menghukum aparat yang mengintimidasi jurnalis.

"Kami meminta polisi secara profesional mengungkap kasus kekerasan, juga menjamin kebebasan pers," tegas Febri.

Koalisi Jurnalis Bali adalah gerakan solidaritas mendukung jurnalis yang menjadi korban tindakan intimidasi dan kekerasan polisi. Koalisi ini adalah kumpulan organisasi profesi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang terdiri YLBHI-LBH Bali, AJI Kota Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Ikatan Wartawan Online (IWO) Bali, Ukhuwah Jurnalis Bali (UJB), dan Pena NTT.

Editorial Team