Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
89_pemuda-desa-buleleng-bali-bawa-produk-gamelan-rindik-bambu-tembus-pasar-ekspor_2025-07-13-14-17-56.jpg
I Gede Edi Budiana, pengrajin rindik asal Buleleng. (Bulelengkab.go.id)

Buleleng, IDN Times - Pemuda asal Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng mengembangkan usaha pembuatan Rindik dan berbagai jenis alat musik dari bambu. Berawal dari kecintaannya terhadap alunan Gamelan Rindik, I Gede Edi Budiana termotivasi membuat gamelan sendiri. Lelaki yang karib disapa Edibud ini, membuat Rindik secara otodidak dari bambu bekas penjor.

“Lalu berawal dengan bambu bekas penjor membuat Rindik, malah teman kos yang suka Rindik buatan saya diminta untuk dijual,” kata Edibud, pada Minggu (13/7/2025).

Rindik pertamanya itu terjual seharga Rp300 ribu. Bagaimana kisah Edibud menekuni seni pembuatan gamelan?

1. Hobi mendengarkan gamelan sejak kecil dan jadi inspirasi

ilustrasi gamelan bali (pixabay.com/Terry)

Sejak kecil, Edibud gemar mendengarkan alunan gamelan di radio maupun saat upacara yadnya. Hal itu memotivasi laki-laki kelahiran 1995 ini untuk menekuni seni tabuh (gamelan Bali). Tekadnya kian membuncah ketika Edibud memutuskan merantau ke Kabupaten Gianyar. Sambil berkuliah, Edibud banyak belajar kepada para seniman senior. Hobi dan semangat belajar secara kontinu, membuat Edibud memiliki keterampilan merakit Rindik secara otodidak. Ia mengaku tak pernah kursus secara khusus untuk membuatnya. Ia menggabungkan sentuhan teknologi untuk menambah ciri khas Rindik buatannya.

“Dahulu tetua membuat Rindik dengan feeling (perasaan) untuk menentukan nada. Sekarang saya padukan dengan sentuhan teknologi melalui aplikasi test sounding tiap bilah bambu,” ujar Edibud.

Pengujian aplikasi itu untuk menentukan setiap nada yang berbasis selendro. Ia memaparkan, jika mengonversi dengan tangga nada diatonis dalam menentukan nada Rindik, juga sangat membantu. Menurut Edibud, ketika pendengaran tidak sensitif terhadap aplikasi, tangga nada diatonis akan memudahkan penentuan nada pada bilah bambu untuk Rindik.

2. Aktif promosi lewat media sosial, Edibud berhasil tembus pasar ekspor

Ilustrasi media sosial (freepik.com/freepik)

Edibud memutuskan pulang kampung ke Buleleng setelah tamat kuliah di Gianyar pada 2018. Berbekal keterampilan yang Ia latih sejak merantau di Gianyar, Edibud membuka studio gamelan bernama dE Percussion di rumahnya. Lewat studionya, Edibud mengembangkan pembuatan Rindik, Tingklik, Angklung, Suling, Kulkul atau Tektekan, kincir angin bernada, dan gamelan lainnya berbahan dasar bambu.

Ia juga aktif mempromosikan hasil kerajinannya lewat Instagram dan TikTok. Melalui media sosial inilah Edibud mampu menggaet pelanggan dari luar negeri. Ada juga wisatawan asing yang datang langsung memesan ke studionya. Ia akhirnya bisa ekspor ke Australia, Jepang, New York, dan Singapura. Pasar domestik juga tersebar ke beberapa Kabupaten di Bali seperti Buleleng, Karangasem, Tabanan, Klungkung, dan Badung. Namun, pemesanan terbanyak berasal dari Denpasar. Harga Rindik berkisar Rp1 juta hingga Rp8 juta, Edibud juga menerima pemesanan gamelan secara khusus.

3. Memberdayakan sumber daya alam dan manusia di sekitar

ilustrasi bambu (pixabay.com/t_pemson)

Edibud bekerja sama dengan warga di sekitar rumahnya. Warga tugasnya mengukir Rindik. Ia menggunakan bahan bambu berjenis Tabah. Bambu Tabah tumbuh di sekitar perbukitan wilayah Bali Utara. Ada juga Bambu Hitam yang didatangkan langsung dari Jawa.

“Sekarang ini saja banyak pesanan. Selain kami akan menyetok juga, karena proses pembuatannya agak lama agar produk yang kami buat berkualitas,” katanya.

Bambu untuk bahan baku Rindik akan direndam selama dua bulan dengan cairan insektisida dan EM4. Cairan itu untuk mengangkat zat gula bambu, sehingga kualitasnya menjadi awet dan tahan rayap. Ia juga memberikan tips agar Rindik tidak terkena sinar matahari langsung dan air hujan agar tetap awet.

“Kalau saya lihat banyak potensi muda-mudi yang senang akan Gamelan Rindik ini. Tapi karena faktor ekonomi, cenderung untuk merantau keluar, sehingga seni Gamelan Rindik ini sementara ditinggalkan. Bukan tidak ada peminat ya,” kata Ekabud.

Editorial Team