ilustrasi gambar pohon mangrove (pixabay.com/Patjosse)
Pemerintah Pusat berharap proyek strategis nasional dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, harapan ini berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan di beberapa daerah. Misalnya, reklamasi yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III cabang Benoa pada 2018 mengakibatkan hilangnya tutupan Mangrove seluas 17 hektare di Tahura Ngurah Rai.
Hutan Mangrove memiliki sederet fungsi ekologis seperti pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro.
Penulis David Korten dalam bukunya bertajuk Development as Transformation: Voluntary Action in the 1990s mengungkapkan, sebuah negara yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan menciptakan disparitas sosial serta krisis lingkungan. Korten juga menuliskan ada tiga aspek fundamental yang menjadi konsekuensi logis dari model pembangunan ekonomi, yaitu kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan kekerasan komunal.
Pada konteks tersebut, pemerintah memang berhasil membawa Indonesia stabil dengan angka pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Namun, pemerintah luput terhadap dampak pembangunan yang dijalankan telah membawa problematika baru pada dimensi sosial dan lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur, menurut Korten, kerap mengorbankan lapisan masyarakat rentan dan menghasilkan krisis lingkungan hidup.