Ilustrasi pengadilan. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Nayaka Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Prof Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, menjelaskan pararem perlindungan anak ini harus aplikatif.
“Tidak hanya awang-awang saja tetapi aplikatif harus dibuatkan pararem, salah satunya pararem pengele yang secara khusus mengatur anak-anak di desanya,” ujar perempuan yang karib disapa Gung Atu.
Sebagai akademisi, Gung Atu mengamati adanya sejumlah tantangan dalam memberantas perkawinan anak di Bali. Tantangan itu meliputi budaya patriarki yang tertanam pada masyarakat adat; stigma kehamilan di luar perkawinan "Sing beling sing nganten (tidak hamil, tidak nikah)"; keterbatasan pemahaman tentang konsekuensi perkawinan anak; dispensasi adat dan dispensasi hukum nasional yang masih tumpang tindih; serta pemahaman perangkat desa adat dalam perlindungan anak masih minim.
Ia juga memaparkan sejumlah upaya untuk mengatasi tantangan di atas seperti harmonisasi hukum adat maupun nasional; edukasi dan kampanye kesadaran perlindungan anak; peningkatan kapasitas MDA dan perangkat desa adat; pemberdayaan ekonomi di desa, agar menekan dorongan mengawinkan anak; serta kolaborasi antar lembaga.
Menurut Gung Atu, antara satu desa adat dengan yang lainnya dapat menggali kebutuhan masing-masing melalui pararem.
“Jangan membuat pararem yang isinya sama antara satu desa adat dengan yang lain. Itu yang berusaha kami dorong bahwa upaya konstruktifnya adalah membuat pararem perlindungan anak dari sudut pandang dan kebutuhan desa masing-masing,” kata dia.
Ia berharap desa adat di Bali tidak hanya lembaga yang menerima masukan saja, tetapi sebagai agen perubahan.
“Memiliki pemikiran kreatif dalam rangka tujuan penghapusan perkawinan anak," kata Gung Atu.