[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka Pelecehan

Suami bersedia speak up untuk edukasi

Ajik (46) dan istrinya (33) tidak menyangka, perjalanan spiritual pada tanggal 4 Juli 2020 dini hari bersama seorang sulinggih, berakhir menjadi mimpi buruk. Niat mereka hanya untuk menyelesaikan tirtayatra (Tangkil atau sembahyang ke beberapa pura) ke sembilan pura. Tetapi ada sebuah tragedi selama tirtayatra tersebut, yang membuat istrinya mengalami depresi.

Sulinggih memilih Pura Mengening di Tampaksiring, Kabupaten Gianyar sebagai lokasi terakhir untuk menyelesaikan tirtayatra. Maka sekitar pukul 20.00 Wita pada 3 Juli 2020, Ajik dan istrinya mendatangi griya (Kediaman) di daerah Kabupaten Gianyar untuk menjemput sulinggih.

Kebetulan, 4 Juli 2020 juga bertepatan dengan perayaan Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan. Ajik dan istrinya melihat aktivitas kesibukan di griya sang sulinggih, karena sedang mempersiapkan perayaan untuk esok hari. Ajik juga melihat ada sopirnya sulinggih dan seorang pemangku di sana. Ajik lalu membantu untuk bersih-bersih dan mereka menyepakati akan pergi ke Pura Mengening pada tengah malam.

Selama di griya, sulinggih mau menyiapkan kain putih. Ia (Sulinggih) lalu meminta sopirnya untuk membeli kain putih dan spidol menggunakan uang pribadi Ajik. Ajik sendiri belum tahu akan digunakan sebagai apa kain dan spidol tersebut.

Sekitar pukul 22.00 Wita, sulinggih mengajak Ajik dan istrinya beserta seorang pemangku untuk makan lawar babi di daerah Silakarang, Kabupaten Gianyar. Hampir pukul 00.00 Wita, mereka berangkat menuju ke Pura Mengening. Tetapi satu pemangku ini memilih pulang lebih dulu, dan tersisa tiga orang saja yang berangkat.

Dalam perjalanan itu, Ajik diarahkan ke tempat lain oleh sulinggih. Yaitu ke Pura Campuhan yang sama-sama berada di Kabupaten Gianyar. Tempatnya ada di bawah jembatan, dan itu pertama kalinya Ajik datang ke sana.

"Kita parkir dan turun sebelum jembatan itu. Sugestinya kita dapat waktu itu. Kenapa? Karena ada patung Siwa di sungai itu. Jadi kita merasa 'Wow' juga," kata Ajik.

Ajik juga mengaku belum pernah mengunjungi Pura Mengening. Ia juga mengira Pura Campuhan tersebut adalah Pura Mengening, setelah Ajik bertanya "Apakah ini Pura Mengening?" kepada Sulinggih dan dijawab "Iya."

Sulinggih lantas meminta mereka berganti pakaian untuk melukat (Upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dengan cara memercikkan atau mandi di sumber mata air). Mereka kaget saat diminta untuk melukat karena berpikir akan melakukan persembahyangan di pura. "Melukat, nak. gak apa-apa buka aja. Pun peteng masih (Sudah malam juga)," ucap Ajik menirukan sulinggih.

Karena tidak membawa pakaian ganti untuk melukat, Ajik dan istri memutuskan untuk menggunakan kain kamen yang melekat di badannya. Ajik melepas pakaian atas, dan menyisakan kain kamen di bagian bawahnya. Sedangkan istri melepas baju dan membalutkan kain kamen di badannya.

Setelah itu mereka menuju ke tengah sungai, tepat di depan patung Dewa Siwa. Ia berdiri di depan patung dan istri ada di belakangnya. Ia berpikir akan melakukan pengelukatan bersama istrinya. "Saya pikir, tadinya dia (Istri) di belakang saya. Tadinya masih di belakang. Kerasanya masih di belakang."

Namun sulinggih menutupi kepalanya menggunakan dua kain putih masing-masing berukuran tiga meter, yang berisi rerajahan (Simbol yang digabung dengan aksara dan mantra tertentu). Satu helai menutupi bagian depan dan belakang kepala. Sisanya menutupi bagian samping kiri dan kanan kepala Ajik. Ajik diminta untuk bermeditasi di depan Patung Dewa Siwa.

Sekitar 20 menit, konsentrasinya buyar. Ajik mendengar ada empat orang datang ke tempat kejadian perkara (TKP) dan membawa senter. "Saya disenteri dari atas." Mereka ramai mengobrol dan terdengar mandi.

"Tadinya saya konsen. Duduk bersila, meditasilah. Sudah gak konsen saya. Akhirnya udah selesai saja, membuka kain dan saya taruh di depan patung."

Ajik kemudian mau menghampiri istrinya yang berada agak jauh dari patung Dewa Siwa. Tetapi sulinggih ini datang dan menyuruh istrinya duduk bersila di depan patung. Dua helai kain yang ia gunakan sebelumnya, juga ditutupkan ke kepala sang istri.

Sulinggih juga sempat menghampiri keempat pria tadi. Ketika sulinggih sedang bercakap-cakap bersama para pria tersebut, Ajik iseng memotret istrinya sebanyak tiga kali. Setelah itu, sulinggih menghampiri istri Ajik dan duduk jongkok di belakangnya. Sulinggih terlihat merapalkan puja.

"Saya pikir dengan puja yang dia lontarkan dan sebagainya, istri saya seolah-olah kayak terjatuh (Jatuh ke belakang). Gak tahu apa yang dia lakukan, kok istri saya rebah, gitu lho. Saya berpikir waktu itu, mohon maaf, apakah istri saya ini kemasukan (Kerauhan). Kan gitu saya berpikirnya."

Ketika hal itu terjadi, sulinggih menengkok ke arah Ajik yang ada di belakang. Ia berpikir akan meminta bantuan. Begitu akan beranjak berdiri, sulinggih membuka kain yang menutupi kepala istrinya. "Saya kan gak jadi mendekati. Itu sekilas ceritanya, garis besar yang saya ketahui kejadiannya seperti itu."

Ajik mulai curiga setelah melihat kejadian itu. Ia cepat-cepat pulang mengantarkan sulinggih ke griya, dan penasaran atas kejadian yang dialami oleh istrinya. Di tengah perjalanan pulang menuju ke rumah, Ajik dan istrinya bertengkar di dalam mobil. Ajik menghentikan laju mobilnya di daerah Ubud. Dari situlah sang istri mengaku mendapatkan pelecehan seksual dari sulinggih tersebut. Sejak kejadian itu, sang istri mengalami trauma.

“Melihat mobil parkir depan rumah aja takut. Melihat sulinggih saja takut. Ada mobil di belakang, dia mikirnya ada yang buntutin,” ungkap Ajik.

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanPura Campuhan, tempat pertemuan dua aliran Sungai Pakerisan dengan Sungai Petanu dan kerap dijadikan sebagai pengelukatan. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Tim IDN Times melakukan penelusuran ke lokasi kejadian pada pukul 15.00 Wita, Kamis (28/1/2021) lalu. Area di kawasan Pura Campuhan Pakerisan, Tampaksiring, Kabupaten Gianyar itu banyak dikelilingi oleh pepohonan yang lebat dan tinggi. Tepat di kiri bawah jembatan, setelah melewati 73 anak tangga, barulah sungai campuhan (Pertemuan antara Sungai Pakerisan dengan Sungai Petanu) itu bisa dilihat. Di tengah-tengah sungai berdiri sebuah Patung Dewa Siwa.

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanSuasana Pura Campuhan di Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Di sanalah sang istri berinisial YD, diduga mendapatkan perlakuan pelecehan seksual dari sulinggih berinisial IBRASM dengan nama welaka (Asli), I Wayan M (38). Menurut penuturan dari pengayah (Penjaga) pura di area tersebut, Galang Ariana, biasanya masyarakat Bali datang ke sana untuk melukat. Sejak pandemik COVID-19, tidak banyak yang datang.

“Bila ke sini, tetap permisi, minta izin. Di sini sepengetahuan saya, ada 'penjaga'. Kalau ada yang nakal dan berpikiran buruk, merekalah biasanya yang akan memberi peringatan dan hukuman,” ungkapnya.

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanPengayah (Penjaga) pura di area Pura Campuhan, Galang Ariana. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Galang Ariana sehari-harinya ngayah (Mengabdi) di sana dari pagi hingga pukul 17.00 Wita. Setelah itu, tidak ada yang berjaga.

Kasus Ini Dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Bali pada 9 Juli 2020

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Bali, Kombes Pol Djuhandani Rahardjo Puro, melalui Kasubdit IV PPA Polda Bali, AKBP Ni Luh Kompyang Srinadi, menyatakan telah menetapkan status tersangka kepada I Wayan M.

“Untuk kasus tersebut memang kami yang tangani. Kasus masih proses sidik. Sudah ditetapkan tersangka, berkas sudah tahap 1 ke JPU,” terangnya, Rabu (10/2/2021).

Sementara Kepala Seksi Penerangan Kejaksaan Tinggi Bali, A Luga Harlianto, pada Selasa (3/2/2021) lalu menyampaikan berkas kasus I Wayan M masih dalam tahap pelimpahan, tinggal melengkapi berkas-berkas beserta bukti pendukung lainnya.

“Masih pelimpahan berkas dan belum lengkap (P21). Gitu aja yang bisa saya jelaskan,” jawab Luga.

Luga juga menambahkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini hampir tidak ada kasus kekerasan seksual yang pelakunya melibatkan oknum pemangku agama. Begitu juga selama tahun 2020. Namun ia menduga, ada kemungkinan identitas pelaku disebutkan sebagai swasta untuk kategori pekerjaannya.

Sementara pihak Bali Woman Crisis Center (WCC) yang menjadi Kuasa Hukum korban, Ni Nengah Budawati SH MH, mengatakan telah melengkapi kembali semua berkasnya.

"Korban sudah diperiksa dan mengalami trauma, harus ke psikiater. Itu efek buruknya. Makanya mendesak agar tersangka ditahan saja," terangnya.

Menurut Budawati, awalnya korban sempat ragu untuk melaporkan karena dekat dan hormat kepada tersangka. Kasus ini juga riskan, bersinggungan dengan agama dan adat di Bali.

“Dari awal kita memang hati-hati. Karena kasus ini irisannya sangat dekat sekali dengan urusan agama dan adat, di Bali memang riskan. Kasus ini bisa untuk edukasi bagi masyarakat semua. Beliau di sini walaupun sebagai korban, siap untuk memberikan pengalaman ini untuk mengedukasi masyarakat. 'Saya korban dan siap untuk itu'. Saya sangat mengapresiasinya. Pasangan ini berani. Bagaimana mengampanyekan ini agar tidak terulang kembali. Apalagi korban sudah diperiksa dan trauma akut. Saya sih berharap dan selalu berdoa, semoga istrinya (Istri pelaku) bisa menerima fakta-fakta yang terjadi, dan kuat menghadapi situasi ini. Itu yang saya harapkan,” kata Budawati.

Ajik juga mengharapkan hal yang sama. Setelah pemberitaan ini muncul ke publik, berharap ada korban lain yang berani untuk memberikan kesaksian atau melaporkan perbuatan I Wayan M agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

"Kami dalam hal ini korban. Harapannya juga tidak terjadi kepada orang lain di kemudian hari dan masyarakat menjadi teredukasi. Apalagi ini, mohon maaf, agak sensitif berkaitan dengan agama. Jangan hanya melihat orang berpenampilan seolah-olah sebagai sosok spiritual dan kita percaya begitu saja. Itu pesan yang ingin kita sampaikan," harap Ajik.

Korban Mengalami Ketakutan dan Luka yang Mendalam

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Aditya Pratama)

Psikolog yang menangani korban, Ni Ketut Jeni Adhi SPsi MPsi Psikolog, membenarkan bahwa YD mengalami ketakutan yang luar biasa.

“Kondisi korban setelah mengalami hal ini adalah sesuatu yang tidak disangka, dan lukanya sangat dirasakan. Ekspresi dan emosi saat kita melakukan assessment (Penilaian), memang lukanya luar biasa dan karena yang melakukan adalah orang yang dihormati. Jadi harus mendapatkan penanganan yang baik,” terang Jeni, Jumat (29/1/2021).

Ada sisi traumatik yang dialami oleh korban. Ia tidak berani pergi seorang diri, dan merasa insecure (Tidak aman) sehingga harus selalu ditemani oleh suaminya. Ketika IDN Times bertemu YD juga terlihat sayu dan tidak banyak bicara. Sehingga seluruh kesaksian dari kejadian itu lebih banyak diceritakan oleh suaminya.

“Kondisi mental seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual secara umum ada perasaan sedih, kecewa, tidak berharga. Pelecehan itu adalah suatu perbuatan yang siapapun tidak menginginkan. Apalagi dilakukan oleh orang yang dihormati. Muncul bentuk perasaan tidak berharga dari korban, apalagi perempuan menjaga kehormatannya, sementara orang lain melakukan hal tidak senonoh,” jelas Jeni.

Kondisi seperti itu menyebabkan korban merasa tidak berharga, dan bisa merembet ke perasaan sedih yang berkepanjangan. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka gangguan ini bisa semakin parah. Satu di antaranya mengarah ke depresi. Sisi psikologis korban juga berpotensi mengalami perubahan seperti fluktuasi emosi, mudah marah, terpancing, dan tidak mampu mengendalikan sikap.

Menurutnya, kasus pelecehan seksual memang harus dilaporkan. Walau kenyataannya banyak pertimbangan korban untuk diam, termasuk tidak mau aib tersebut diketahui oleh orang lain. Hanya saja apabila tidak dilaporkan, pelaku tidak akan jera dan terus mengulangi perbuatannya.

Mengapa Korban Tidak Berteriak dan Mencari Pertolongan Ketika Peristiwa Itu Terjadi?

Ini adalah pertanyaan umum masyarakat, termasuk Kuasa Hukum terpidana I Wayan M. Sebab suami berada di lokasi ketika korban mendapat pelecehan seksual. Kenapa korban tidak berteriak ketika ada suaminya, atau lari, atau setidaknya melawan pelaku? Psikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) Denpasar, dr I Gusti Rai Putra Wiguna, mengatakan dalam sisi kesehatan jiwa, itu adalah hal yang umum terjadi. Karena ketika seseorang mengalami bahaya, di pusat otaknya memproses tiga macam bentuk. Yaitu fight, flight, dan freeze.

"Emang yang utama adalah fight, or flight. Jadi kita melawan, atau kita menghindar, atau lari dari hal yang tidak nyaman itu. Tapi sebetulnya ada yang ketiga. Yaitu freeze, berhenti. Jadi kita terhenti, terpaku, membeku itu adalah salah satu respon juga ketika kita mengalami ancaman atau bahaya. Nah, ketika hal yang buruk terjadi, salah satu respon yang bisa terjadi adalah freeze. Bukan berarti dia menikmati hal itu," ungkap dr Rai ketika diwawancara di kantor praktiknya, Jumat (25/6/2021).

Dalam kasus yang dialami korban, ia mengalami freeze. Korban menghadapi kejadian yang tidak ia rencanakan atau sadari sebelumnya. Pusat otaknya sedang memproses kejadian itu.

"Ketika kita kaget, bisa freeze. Setelah itu baru kemudian kita memproses kejadian, 'Oh itu tidak menyenangkan, tidak logik,' dan apakah itu menimbulkan dampak yang lebih ringan? Tidak juga. Justru itu suatu tekanan baru bagi seseorang yang mempertanyakan responnya 'Kenapa waktu itu justru saya tidak bisa melawan!', 'Kenapa saya tidak bisa melakukan hal ini!' Karena ketika muncul bahaya, hanyalah bagian otak kita yang sifatnya seperti refleks yang muncul. Ya tadi fight, flight, dan freeze," lanjutnya.

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanPsikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) Denpasar, dr I Gusti Rai Putra Wiguna. (IDN Times/Ayu Afria)

Selama proses sidang dengan agenda menghadirkan saksi korban, ia tampak emosional. Korban menangis hingga pingsan ketika menceritakan kronologi yang dialaminya. Perubahan emosional ini mungkin membuat masyarakat menilai berbanding terbalik dengan kesehariannya si korban, yang dia bisa tetap bekerja dan bermasyarakat sebelumnya. Perubahan ini, kata dr Rai, dinamakan sebagai proses avoidance (Perilaku untuk menyingkirkan sesuatu, dan umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian).

"Jadi kalau saya ditanya apakah mungkin korban kekerasan itu secara sehari-hari masih tampak baik, kemudian ketika ditanyakan tentang kasus itu, baru kemudian menampilkan reaksi emosi yang murung, cemas? Ya itu mungkin saja terjadi. Itu proses avoidance. Dia menghindari pembicaraan tentang hal-hal tadi. Jadi kalau tidak tentang hal yang mencetuskan pengalaman atau memori buruknya, maka dia akan baik-baik saja. Mungkin saya tetap bisa bekerja ya. Bisa tetap bermasyarakat," terangnya.

Korban tentunya akan mendapatkan pukulan yang kedua dari kasus ini. Terutama masyarakat yang menyalahkan korban tidak berteriak, melawan, meminta pertolongan, lari, dan lainnya. Tanpa desakan masyarakat, korban sendiri juga sudah menyalahkan dirinya.

"Bahkan bisa jadi lebih berat bagi seorang korban kekerasan selain kejadian yang pertama (Pelecehan yang dialaminya). Belum lagi soal desakan masyarakat, bisa jadi korban juga sudah menyalahkan dirinya. Dia heran pada respon dirinya 'Kenapa saya bisa seperti itu,' padahal bisa dijelaskan dalam bidang kesehatan mental dan itu tidak bersalah ya. Kita tidak bicara soal salah dan benar. Yang perlu kita lakukan, mungkin kita berhenti untuk berwacana soal apakah itu sudah terjadi atau tidak. Secara hukum, ini kan sudah diputuskan bahwa memang kejadian itu ada ya, dan memang sebagai pelanggaran suatu kekerasan.

Korban kekerasan ini bisa terjadi pada siapa pun. Tidak tergantung moralitasnya, bahkan seburuk-buruknya saya bilang ya, perempuan tuna susila misalnya, tidak mau diperlakukan buruk tetapi tetap diperlakukan buruk. Itu juga sebuah korban ya. Kita tidak perlu mempertanyakan moralitas atau latar belakang seorang korban kekerasan seperti itu."

Dukungan psikologis ini, sebaiknya juga diberikan kepada istri pelaku. Termasuk ketika pelaku sudah menyelesaikan masa hukumannya. Istrinya berhak mendapatkan penerimaan dari masyarakat. Jangan sampai hukuman itu menjadi seumur hidup di masyarakat.

"Kita kan tidak menghakimi moralitas. Tidak ada yang salah juga dari pasangan (Istri pelaku). Kita juga tidak berhak menghakimi ini. Bisa jadi istri pelaku tidak tahu menahu untuk itu. Kalau dia tahu ada rencana seperti itu (Pelecehan), saya yakin dia juga tidak akan men-support hal itu. Itu barangkali yang penting kita atensi bersama."

Ahli Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH, yang dihubungi IDN Times pada Senin (8/2/2021), menyayangkan kejadian itu. Sudah sepatutnya seseorang yang mempelajari spiritual dapat memberikan pencerahan agama, religius, dan spirit kepada orang lain supaya hidupnya menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya dengan mengiming-imingi pembersihan diri dan memberikan kekuatan gaib.

“Apapun alasannya, kalau sekadar ingin meningkatkan kemampuan spiritual, saya setuju. Tetapi di balik semua itu, ada unsur pelecehan yang jelas sangat dilarang oleh agama, maupun hukum yang berlaku,” katanya.

Ia menilai, pelaku dapat dijerat Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

"Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan menyerang kesusilaan, dengan Pidana 9 Tahun."

“Dalam RUU KUHP juga sudah mengatur mengenai larangan menawarkan 'kekuatan gaib'. Mengaku bisa saja sudah diancam pidana, ini delik formil,” jelasnya.

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanFoto hanya ilustrasi. (comoserassistentevirtual.com.br)

Sekadar diketahui, I Wayan M menandatangani Surat Pengakuan Bersalah pada tanggal 7 Juli 2020. Surat yang diterima oleh IDN Times tersebut berisi pengakuan I Wayan M yang melakukan pelecehan seksual atau perbuatan cabul dan melakukan percobaan pemerkosaan kepada YD pada pukul 02.05 Wita, hari Sabtu tanggal 4 Juli 2020, yang terjadi di depan Patung Dewa Siwa Pura Campuhan.

Tersangka melakukannya karena tidak mampu menahan hasrat, lalu menakut-nakuti korban untuk melakukan hubungan dengan dalih akan diberikan kekuatan gaib. Surat yang juga memuat kronologi kejadian itu ditandatangani oleh I Wayan M di atas materai 6000. Dari kesaksian suami korban (Ajik), istri tersangka juga ikut mendampingi. Selain itu ada mertua tersangka, korban, suami korban, dan saksi yang turut hadir.

Setelah penandatanganan itu, ayah mertua tersangka meminta maaf dan menyatakan kasus ini tidak dapat dipolisikan. Ia beralasan seorang sulinggih tidak boleh dipolisikan, sehingga meminta damai.

"Di-pressure-lah saya waktu itu. Ini yang marah (Menunjuk korban)," ujar Ajik.

Semenjak itu Ajik berusaha menguatkan istrinya yang telah menjadi korban pelecehan seksual I Wayan M. Pada tanggal 9 Juli 2020, korban menyatakan siap untuk melaporkan kasus ini kepada polisi.

Menanggapi surat pengakuan itu, Ketua Tim Kuasa Hukum tersangka, Komang Darmayasa, menyampaikan bahwa pada saat itu I Wayan M terpaksa menandatangani surat tersebut. Hal ini diakui di depan penyidik ketika pemeriksaan kasusnya.

“Jadi memang surat pernyataan yang disampaikan, ditunjukkan di dalam pemeriksaan tersebut. Sebenarnya surat itu kan, menurut klien kami, itu pertama dibuat dalam keadaan saat itu memang paksaan. Terpaksa. Kemudian tanda tangannya pun berbeda. Itu lho sebenarnya,” kata Darmayasa.

Terkait Surat Pengakuan Bersalah dan diduga tersangka membubuhkan tanda tangan yang tidak asli, Kriminolog Suardana mengungkapkan tersangka dapat dijerat pasal pemalsuan, yakni Pasal 263 dan 264 KUHP.

“Wah ini bisa kena perbuatan pidana lain lagi. Kalau dia sudah mengakui, berarti sudah mengakui kesalahannya,” tegas Suardana.

Kuasa Hukum Mengakui Kliennya Ditetapkan Sebagai Tersangka, Namun Tidak Ditahan

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanIDN Times/Sukma Shakti

Ketua Tim Kuasa Hukum I Wayan M, Komang Darmayasa, melalui sambungan telepon pada Jumat (6/2/2021), menjelaskan status kliennya kini sebagai tersangka. Namun tidak ditahan dengan alasan kooperatif dan tidak menghilangkan barang bukti.

“Sudah tersangka beliau. (Status) tersangkanya bulan lalu,” jawabnya.

Darmayasa menambahkan, kliennya kembali dipanggil ke Polda Bali untuk menjalani pemeriksaan tambahan, pada Senin (8/1/2021).

Terkait status kesulinggihan, Darmayasa membeberkan bahwa kliennya termasuk dalam kategori muda untuk menjadi seorang sulinggih, yaitu sekitar umur 37 tahun. Ketika diupacarai sebagai sulinggih, kliennya tidak langsung mendaftarkan diri ke Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

“Belum mendaftarkan saat itu dan saat kasus ini baru muncul, yang bersangkutan sedang proses pendaftaran. Jadi sempat ditanya di kepolisian alasannya, mengapa kok sudah sekian lama dilantik sebagai seorang sulinggih, kok sekian lama itu tidak terdaftar di PHDI? Karena yang bersangkutan sempat menyampaikan bahwa sempat terjadi kebakaran waktu itu. Jadi beberapa dokumen yang harus dilengkapi, tidak bisa dilengkapi gitu,” ungkapnya.

Akan tetapi menurut Darmayasa, kliennya sudah menjalankan prosesi upacara-upacara kepada masyarakat sebagaimana tugasnya seorang sulinggih. Atas kasus ini, I Wayan M menunjuk Tim Kuasa Hukumnya dari DYS Law Office. Mereka terdiri dari I Komang Darmayasa, I Made Adi Seraya, I Made Wiryawan, I Kadek Ricky Adi Putra, Ida Bagus Gaga Aditya Prayudha, Anak Agung Ngurah Bayu Kresna Wardana, I Gusti Agung Andra Wibawa dan I Made Gemet Dananjaya Suta.

Darmayasa menilai, timnya tetap berpedoman pada asas praduga tak bersalah dalam kasus ini, sebelum ada putusan yang menyatakan kliennya bersalah. Sejauh pemeriksaan yang diikutinya, klien tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatan tersebut.

“Kami kan tetap berdasarkan asas praduga tak besalah.”

Pada 24 Maret 2021, kasus ini memasuki tahap dua pelimpahan tersangka dan barang bukti di Kejari Denpasar. Tersangka, istri, dan tim kuasa hukumnya tiba ke Kantor Kejari Denpasar pada pukul 10.20 Wita. Pukul 11.24 Wita, tersangka keluar dalam keadaan tangan terborgol, memakai baju tahanan, dan tidak lagi membawa tongkat atribut kesulinggihannya. Tim Kuasa Hukum tersangka, I Made Adi Seraya, mengajukan penangguhan namun masih dipertimbangkan oleh kejaksaan. 

"Klien kami sampai saat ini masih berpikiran bahwa peristiwa itu yang dituduhkan tidak pernah terjadi. Sampai hari ini pun klien kami menyangkal bahwa beliau tidak pernah melakukan perbuatan itu, dan semua yang dituduh itu tidak benar. Nah, melalui pengadilan akan kami buktikan bahwa apakah memang terjadi peristiwa itu atau tidak. Karena sampai sejauh ini tidak pernah ada saksi yang melihat peristiwa itu, dan juga suami korban dan pelapor juga ada di situ, yang terjadi hanya melukat biasa. Setelah melukat, pulang kembali dan besoknya Hari Saraswati.

Menurut kami sebagai, beliau adalah orang suci seharusnya peristiwa ini kalaupun harus ditetapkan di pengadilan, bisa dipertimbangkan untuk tidak ditahan. Untuk masalah pembuktian kan kita buktikan di pengadilan saja bersalah atau tidaknya itu, dan sampai sekarang beliau ini masih sebagai sulinggih."

Pada 8 Juni 2021, sekitar pukul 11.14 Wita, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis 4,6 tahun penjara kepada I Wayan M. Kuasa hukum Darmayasa lalu mengajukan banding setelah vonis tersebut. Hasilnya baru keluar pada 12 Agustus 2021. Isinya, banding tersebut ditolak dan menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian pada 10 September 2021, pukul 12.00 Wita, I Wayan M melalui Kuasa Hukum kembali mengajukan memori kasasi. Lalu bagaimana hasilnya? Darmayasa menyatakan masih dalam proses pemeriksaan.

"Ini tadi saya cek Mahkamah Agungnya, memang sudah terdaftar. Hakimnya juga ada tapi masih proses pemeriksaan. Belum diputus. Hanya nomor perkara saja yang kami tahu di Mahkamah Agung. Prediksi saya sudah dekat (Putusan kasasi) karena sudah proses pemeriksaan. Biasanya sudah segera itu," ujar Darmayasa ketika dihubungi, Senin (23/11/2021).

Nama Tersangka Tidak Tercatat dalam Daftar PHDI Gianyar maupun Provinsi Bali

[LIPSUS] Berkedok Pembersihan, Sulinggih di Bali Tersangka PelecehanFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Wayan Antara)

IDN Times telah menerima Surat Pernyataan yang bertulis tangan dan tertanggal 5 Juli 2020. Surat itu juga ada tanda tangan bermaterai dari nabe (Guru spiritual tersangka), ayah dan ibu mertua, serta istri tersangka.

Surat tersebut berisi pernyataan sang nabe yang menyatakan, I Wayan M tidak lagi menyandang gelar sebagai sulinggih dan mencabut sepenuhnya penabeannya (Tidak lagi bertindak sebagai guru spiritual I Wayan M), sekaligus mencabut gelar kesulinggihan yang pernah disandangnya selama ini.

Disebutkan pula, bahwa sang nabe tidak lagi terlibat atau melibatkan diri dalam masalah apapun, apabila I Wayan M masih menyebut dirinya sebagai seorang sulinggih atau menggunakan atribut kesulinggihannya. Surat pernyataan itu kemudian dibacakan Ajik sebanyak tiga kali di hadapan orang-orang yang hadir kala itu.

Berdasarkan konfirmasi dari Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Karangasem, Ni Nengah Rustini, menyebutkan sang nabe resmi terdaftar di PHDI Karangasem. Sementara Ketua PHDI Gianyar, I Wayan Ardana, membenarkan bahwa tersangka tidak tercatat di PHDI Gianyar.

"Beliau memang tidak melalui Parisada proses paridaksanya. Sehingga beliau tidak tercatat di PHDI," kata Ardana ketika dikonfirmasi IDN Times via WhatsApp, pada Senin (8/1/2021).

Adapun informasi tersebut sesuai dengan daftar terkini dari PHDI Provinsi Bali, bahwa jumlah total sulinggih di Bali sebanyak 1.714 sulinggih. Setelah IDN Times cek satu per satu daftar itu, nama tersangka tidak tercatat.

Tanggal 16 Februari 2021, PHDI Provinsi Bali bersama PHDI se-kabupaten/kota menggelar rapat tertutup khusus untuk membahas kasus ini agar tidak semua sulinggih terkena getahnya. Artinya, mereka ingin memastikan apakah pelaku benar-benar seorang sulinggih. Dari hasil rapat itu diketahui, bahwa pelaku tidak tercatat sebagai sulinggih di PHDI Gianyar.

"Supaya tidak semua sulinggih nanti kena getahnya, lalu kita konfirmasi rapat bersama, konfirmasi ke PHDI Gianyar. Apakah benar oknum yang dimaksud sebagai sulinggih, kan gitu. Ternyata setelah konfirmasi, laporan sementara PHDI Gianyar, bahwa oknum yang bersangkutan tidak tercatat sebagai sulinggih di PHDI Gianyar. Karena tidak tercatat di PHDI Gianyar sebagai sulinggih, maka masalah kesulinggihannya itu hanya berurusan dengan gurunya, dengan nabenya. Tidak dengan pihak PHDI. Karena PHDI secara aturan, hanya mengesahkan sulinggih yang hasil Diksa Pariksa dari PHDI. Kalau di luar itu ada, maka PHDI tidak, istilahnya, tidak ikut bertanggung jawab kalau ada sesuatu di luar kewenangan," kata Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi.

Belajar dari kasus ini, ia menyarankan umat Hindu yang ingin melaksanakan upacara supaya melihat status formal atau tidaknya kesulinggihan. Termasuk ketika melukat juga harus secara rombongan.

"Kita mohon kepada masyarakat supaya kalau memang ingin melaksanakan upacara ke sulinggih, dilihat dululah kesulinggihannya. Formal apa tidak? Kualitas rohaninya sulinggih dan sebagainya. Track record-nya kan dilihat, supaya nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian, masyarakat dalam melaksanakan upacara itu, kita harapkan jangan seperti melukat dan sebagainya jangan sendiri-sendiri. Harus ada rombongan dan ikuti aturan yang benar. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Apa Itu Sulinggih? 

Sulinggih merupakan orang suci (Brahmana) yang kedudukannya dimuliakan oleh umat Hindu, dan dianggap mewakili Tuhan. Kalau ditilik berdasarkan arti katanya, Su berarti baik, mulia atau utama. Sedangkan linggih berarti tempat atau kedudukan. Sehingga sulinggih bermakna mendapat kedudukan mulia di masyarakat.

Mereka dimuliakan karena telah melalui proses upacara diksa atau dwijati, yakni lahir sebanyak dua kali. Lahir pertama adalah lahir secara biologis dari rahim ibu. Sedangkan lahir kedua adalah lahir dari proses spiritual. Lahir kedua ini dianggap sebagai penyucian lahir batin agar sulinggih disebut sebagai orang suci.

“Sulinggih sebenarnya seorang Brahmana (Salah satu golongan dari Catur Warna yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan maupun pengetahuan Ketuhanan untuk mencerahkan spiritual umat Hindu). Nama sulinggih ada banyak. Seperti Ida Pedanda, Ida Pandita, Ida Dukuh, Ida Sri Mpu, Ida Rsi, Ida Bhagawan, dan sebagainya. Nama kesulinggihannya biasanya berkaitan dengan nama keluarga besar,” ungkap Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi.

Apabila seorang walaka (Manusia biasa) ingin meningkatkan diri menjadi sulinggih, harus menyadari betul tahap yang akan ditempuh dan kewajiban-kewajibannya setelah dikukuhkan menjadi seorang Brahmana. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi pada dirinya, maka sulinggih bisa menjadi seorang Brahmana sejati.

Adapun beberapa kewajiban sulinggih, mengutip dari buku berjudul “Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sesana)” karya Gede Sara Sastra, yaitu:

  • Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa setiap hari, seperti Surya Sewana (Pemujaan setiap pagi saat matahari terbit)
  • Adhyaya: tekun belajar, mendalami Kitab Suci Weda, Tattwa, tutur-tutur dan sebagainya
  • Adhyapaka: mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, serta bimbingan rohani lainnya
  • Swadhyaya: rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh nabenya
  • Dhyana: merenungkan Brahman (Tuhan) dan hakikat yang dipuja.

Sulinggih memiliki beberapa tugas, di antaranya:

  • Surya Sewana, yaitu pemujaan kepada Sang Hyang Widhi setiap pagi (Saat matahari terbit)
  • Memimpin upacara Yadnya
  • Ngelokapalaraya, yakni membina dan menuntun umat di bidang agama dan spiritual
  • Melayani umat yang memerlukan tuntunan
  • Menerima punia dari umat
  • Memberi teladan dan contoh kepada umat.

Masih mengutip dari buku yang sama karya Gede Sara Sastra, sulinggih memiliki banyak pantangan atau larangan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Yaitu:

  • Tidak membunuh
  • Tidak berdusta dan memfitnah
  • Tidak bertengkar
  • Tidak memamerkan kepandaian
  • Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak mendapat persetujuann dari kedua belah pihak
  • Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya, kotor, dan pedas hingga menyakiti telinga
  • Tidak boleh berkata-kata sambil memaki sumpah serapah
  • Tidak boleh berhasrat jahat pada orang lain
  • Tidak boleh mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya
  • Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang
  • Tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang
  • Tidak boleh terlibat hutang piutang
  • Tidak boleh segala usaha mencari keuntungan
  • Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa
  • Tidak boleh mementingkan diri sendiri
  • Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
  • Tidak boleh ingkar dan mengabaikan kewajiban
  • Tidak berzina (Selingkuh)
  • Tidak boleh memerintahkan mencuri
  • Tidak bersahabat dengan pencuri, tidak memberikan tempat pada pencuri, termasuk tidak memberikan makan dan minum, memberi pertolongan dan tidak menerima hasil pencurian
  • Tidak boleh mengendarai sepeda motor atau mobil (Pegang setir sendiri)
  • Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
  • Tidak boleh makan ayam di desa (Ayamwanwa)
  • Tidak boleh makan daging binatang buas, binatang berkuku satu, dan binatang berjari lima
  • Tidak boleh makan ikan yang terlalu besar dan ikan yang buas
  • Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan di bawah benda-benda yang tidak suci
  • Tidak boleh minum minuman keras, semua jenis susu dari binatang buas, serta susu kental sisa sapi yang habis menyusui
  • Dilarang menempati tempat atau tanah terlarang
  • Tidak boleh mengadakan perjudian
  • Tidak boleh mengunjungi tempat perjudian, rumah tukang potong, tempat pelacuran, dan tempat sejenis,
  • Serta pantangan lainnya yang jauh dari kebenaran dan kesucian.

Bagaimana kedudukannya apabila sulinggih tidak melalui proses diksa tanpa pemberitahuan ke PHDI? Sudiana tidak bisa menyatakan secara pasti apakah status kesulinggihannya dianggap sah atau tidak. Sebab menurutnya, PHDI bukan lembaga justice (Hukum). Tetapi berdasarkan penilaiannya, orang tersebut bisa saja disebut sulinggih, namun tidak melalui mekanisme yang formal dan tidak tercatat di PHDI.

“Secara formal, lembaga yang berwenang hanya PHDI. Bila ada lembaga lain yang melakukan, ya tidak formal itu. Proses diksa wajib melalui PHDI. Apabila tidak melalui PHDI, ketika melakukan proses kesulinggihan itu bagaimana? Jika dijawab dengan sah dan tidak sah, agak berat. Tapi yang jelas, belum melalui mekanisme yang lengkap. PHDI tidak bertanggung jawab karena tidak tahu dan tidak dicatatkan di pemerintahan,” kata Sudiana.

Untuk lebih lengkapnya, silakan cek Beratnya Jadi Sulinggih di Bali, Harus Menjauhi Nafsu dan Duniawi

Tim penulis: Ayu Afria Ulita Ermalia, Ni Ketut Wira Sanjiwani, Wayan Antara, Diantari Putri, Irma Yudistirani, Ni Ketut Sudiani

Baca Juga: 8 Jenis Pelecehan Seksual yang Umum Terjadi di Sekitarmu, Laporkan!

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya