Mengenal Perkembangan Seni Mural di Bali, Dulu Dipandang Sebelah Mata

Mural hadir untuk propaganda

Denpasar, IDN Times – Bertahun tahun lamanya seni mural dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Kehadiran mural dianggap mengotori ruang publik. Karenanya, perlu waktu yang lama hingga seni mural bisa diterima oleh berbagai kalangan seperti saat ini.

Pada masa pandemik COVID-19, mural banyak digunakan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Kritik yang disampaikan lewat mural di beberapa daerah bahkan membuat gerah pihak pemerintah. Belakangan ini juga terjadi penghapusan dan penangkapan terhadap seniman mural di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan perkembangan seni mural di Bali? Apakah para seniman mural juga aktif menyampaikan kritik lewat karya-karyanya?   

Baca Juga: Beda Nih, Pemerintah di Klungkung Bali Kritik Masyarakat Pakai Mural

1. Seni mural mulai populer di Bali pada tahun 2013

Mengenal Perkembangan Seni Mural di Bali, Dulu Dipandang Sebelah MataAktivitas komunitas seniman mural Djamur di Denpasar (Dok.IDN Times/Djamur)

Salah satu seniman mural di Denpasar yang menyebutkan namanya sebagai Gennitik (33), alias Mang Gen, dalam wawancara bersama IDN Times, menyebutkan bahwa pada zaman perang banyak seni mural yang digunakan untuk propaganda. Di Indonesia pun seni mural digunakan pada tempat-tempat ibadah, seperti di atap gereja. 

Pada era sebelum kehadiran media sosial, keberadaan seni mural tidak se-booming seperti saat ini. Meski demikian, diakuinya saat itu seni mural di Bali sudah eksis, meskipun belum populer. Ia menilai seni mural mulai populer di Pulau Dewata pada tahun 2013. Bersama komunitasnya, ia kerap bermain di jalanan, hingga kemudian lama-lama jejaknya diikuti oleh anak-anak muda lainnya.

“Sekarang mural populer. Sekarang lagi naik trendnya. Mural dengan adanya isu yang kemarin, gambar mural Bapak Jokowi 404 itu ya,” ungkapnya.

Sejauh pengamatannya, seniman mural di Indonesia paling banyak berada di Yogyakarta dan Jakarta. Sementara di Bali, berada di Kota Denpasar untuk seniman lokal dan di Kuta untuk seniman yang berasal dari luar negeri.

2. Di antara karya seni lainnya, mural pernah dianggap sebagai seni pinggiran

Mengenal Perkembangan Seni Mural di Bali, Dulu Dipandang Sebelah MataAktivitas komunitas seniman mural Djamur di Denpasar (Dok.IDN Times/Djamur)

Mang Gen mengungkapkan bahwa apabila dibandingkan dengan kesenian lainnya, para kurator menilai seni mural sebagai seni pinggiran. Selain karena eksistensinya yang kurang, juga disebut mengotori ruang publik.

Ia pun menceritakan pengalamannya bahwa suatu hari pernah bersama Komunitas Djamur ingin mengadakan pameran, namun ditolak oleh salah satu pihak galeri. Alasannya saat itu adalah karena pihak galeri bingung bagaimana cara menjual mural yang akan dipamerkan. Tak patah semangat, mereka terus berkarya hingga kemudian seiring berjalannya waktu, akhirnya para seniman juga bisa mendapatkan penghasilan dari mural. Misalnya untuk konsep hotel dan tempat-tempat nongkrong agar lebih menarik pembeli. 

“Barulah ketika populer, barulah diakui sama seni-seni yang lain,” ucapnya sambil terkekeh.

3. Menyampaikan pesan dan kritik lewat humor

Mengenal Perkembangan Seni Mural di Bali, Dulu Dipandang Sebelah MataAktivitas komunitas seniman mural Djamur di Denpasar (Dok.IDN Times/Djamur)

Menurut Mang Gen, seni mural memang merupakan propaganda karena kehadirannya di ruang publik. Sifatnya membawa pesan yang harus disampaikan ke berbagai kalangan. Para seniman mural ini juga memiliki idealisme tersendiri bahwa mereka tidak akan mencoret-coret bangunan yang juga bernilai seni.

Tidak asal menggambar, para seniman mural ini juga meminta izin ke pemilik tembok dan mengajukan proposal. Mereka juga melengkapi dengan surat pernyataan dan desain mural. Pada surat tersebut ada bubuhan tanda tangan berbagai pihak, di antaranya pemilik tembok, seniman mural, dan kepala lingkungan setempat sehingga menguatkan izin pembuatan mural.

“Itu pun temboknya juga sering kami temukan di ruang-ruang publik," ungkapnya. 

Ia mengakui bahwa teman-temannya di satu komunitas dulu sering membuat vandalism dan beberapa kali tertangkap Satpol PP. Aksi itu akhirnya berujung pada penandatangan surat pernyataan bahwa mereka tidak lagi mencoret-coret tembok atau merusak ruang publik. Cat milik para seniman mural tersebut juga disita oleh petugas. Kadang mereka juga ditahan semalaman di Balai Banjar karena tertangkap membuat mural.

“Kalau di komunitas kami, konsepnya hanya bermain-main. Kalaupun itu kami menyampaikan pesan. Itu biasanya kami bubuhi dengan humor-humor gitu. Kritis tapi lewat humor gitu. Sama halnya dengan kartun. Di mana kami menyampaikan sebuah kritik, tapi tidak menyakiti. Dan memberi solusi,” jelasnya.

4. Seniman mural biasanya tidak menggunakan nama asli dalam karyanya

Mengenal Perkembangan Seni Mural di Bali, Dulu Dipandang Sebelah MataAktivitas komunitas seniman mural Djamur di Denpasar (Dok.IDN Times/Djamur)

Sebagai pelaku street art, Mang Gen mengingatkan bahwa sebagai seniman mural di jalanan, tidak boleh marah apabila karyanya dihapus atau ditindih dengan karya seniman mural lainnya.

“Ketika kita bermain di jalanan, kita nggak boleh marah ketika karya kita ditumpuk sama orang lain, dihapus, atau ditindih tanpa sepengetahuan kita. Kalau menurut saya dan teman-teman, itu merupakan sebuah apresiasi bagi kita. Oo ditumpuk, ya gak apa-apa. Tapi dengan syarat, gambarmu lebih bagus dari gambar saya,” jelasnya.

Mang Gen mengakui bahwa sebagai street artist, secara otomatis mereka juga mengamankan identitasnya masing-masing. Dalam karya mural, tak jarang ditemui tagging yang hanya dipahami oleh kalangan mereka saja. Rata-rata tagging menggunakan nama tenar seniman tersebut, bukan nama aslinya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya