Korban Ledakan Kompor Jenazah di Bali Alami Trauma Jalan Napas

Tubuh korban menolak obat bius

Denpasar, IDN Times - Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Dr IGNG Ngoerah, Denpasar menjelaskan penyebab korban tragedi ledakan kompor jenazah meninggal dunia. Peristiwa itu terjadi saat upacara ngaben (pembakaran jenazah) di Desa Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Jumat (19/8/2022) lalu.

Pasien I Kadek Dwi Putra Jaya (30) dengan luka bakar 74 persen, sempat dalam kondisi kritis karena terjadi imbalance cairan tubuh dan dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (27/8/2022).

Sebelumnya, dua korban lainnya dinyatakan meninggal dunia, yakni I Kadek Gian Satya Permana Putra (15) dengan luka bakar sebesar 94 persen dan Bagus Oskar Horizon (34) dengan luka bakar sebesar 98 persen.

Baca Juga: Kondisi Terkini 3 Korban Ledakan Kompor Jenazah di Bali, Akan Operasi Lagi

1. Pasien mengalami luka bakar grade 3, luka bakar mencapai otot

Korban Ledakan Kompor Jenazah di Bali Alami Trauma Jalan NapasUnit Luka Bakar RSUP Prof IGNG Ngoerah tempat pasien korban ledakan kompor jenazah dirawat. (IDN Times/Ayu Afria)

Staf Medis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik RSUP Prof IGNG Ngoerah, dr Agus Roy Rusly Hariantana Hamid, pada Senin (29/8/2022), mengatakan bahwa Kadek Dwi Putra Jaya mengalami tanda-tanda trauma jalan napas. Selain itu luka bakar yang diderita merupakan grade 3, dengan luka bakar paling berat pada kedua kakinya mencapai otot.

“Luka bakarnya itu sampai grade 3 ke dalam otot sehingga sangat sulit sekali untuk mengembalikan jaringan yang mati,” jelasnya didampingi dokter residen Lucrety Yeniwati Tanuwijaya.

Ia mengungkapkan penyebab kematian Kadek Dwi Putra Jaya adalah kegagalan napas karena faktor metabolik akibat luka bakar yang begitu dalam. Luka tersebut tidak bisa ditutup segera dengan jaringan kulit yang sangat minim. Pasien tidak bisa survive denga luka bakar yang cukup berat.

“Kulitnya tidak ada yang bisa diambil untuk donor. Untuk mengganti jaringan mati itu tidak ada donor pada pasien itu,” jelasnya.

2. Pasien memiliki riwayat hipertensi

Korban Ledakan Kompor Jenazah di Bali Alami Trauma Jalan NapasKorban kompor jenazah meledak di Desa Belega, Gianyar, Jumat (19/8/2022).(Dok. IDN Times/Istimewa )

Selain itu pasien memiliki riwayat hipertensi, tekanan darah yang tinggi secara metabolik. Hal itu ikut berpengaruh pada kondisi pasien. Pada pada Sabtu (27/8/2022), pukul 14.00 Wita, pasien mengalami napas yang cukup berat. Pasien menghadapi permasalahan metabolik dan diduga telah terjadi infeksi fase hari ke-5 sampai ke-15.

“Memang secara metabolisme, pasien ini tidak kuat untuk napas, karena metaboliknya dia,” jelasnya.

Pada pukul 18.15 Wita, dilakukan intubasi yakni pemasangan alat bantu napas karena kondisinya semakin menurun. Selain itu juga diberikan obat tidur. Hingga pukul 22.00 Wita, terjadi perlawanan dari tubuh Kadek Dwi Putra. Pasien kemudian mengalami gagal napas mendadak.  

Pukul 22.45 Wita, Tim Medis melakukan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) sebanyak 2 sampai 3 kali siklus per 15 menit. Pasien mengembuskan napas terakhir pukul 22.45 Wita.

“Terjadi fighting, perlawanan dengan dosis yang maksimal diberikan oleh dokter bius. Akhirnya kami cari tahu penyebabnya apa dengan dosis maksimum itu tidak bisa tidur pasiennya. Untuk menggunakan obat-obatan bius itu dosis yang paling tinggi, paling maksimal itu tidak mampu,” jelasnya.

3. Pasien menjalani tiga kali tindakan medis selama dirawat

Korban Ledakan Kompor Jenazah di Bali Alami Trauma Jalan NapasPeristiwa kompor jenazah meledak di Desa Belega, Gianyar, Jumat (19/8/2022).(Dok. IDN Times/Istimewa )

Sebelumnya, kondisi pasien disebut sempat membaik dan bisa berkomukasi. Hanya saja pada hari ke-7, pasien merasakan sesak. Kadek Dwi Putra telah menjalani 3 kali tindakan medis sejak dirawat pada Jumat (19/8/2022), pukul 23.30 Wita, di RSUP Prof IGNG Ngoerah.

Tindakan medis dilakukan pada Senin (22/8/2022), Rabu (24/8/2022), dan Jumat (28/8/2022). Tindakan operasi ini berkaitan dengan pembersihan jaringan mati untuk mencegah infeksi lebih dalam. Jika tidak dilakukan pembuangan jaringan mati, akan berubah menjadi eschar.

“Sudah tiga kali kami lakukan pembuangan jaringan mati karena idealnya jaringan yang mati kami buang, kami ganti dengan jaringan yang baru. Tapi kalau jaringan mati tidak kami buang, akan menjadi problem yang lebih berat lagi untuk pasien. Bisa timbul infeksi lebih cepat,” ungkapnya. 

Hanya saja pembersihan jaringan mati ini tidak bisa dilakukan semua, mengingat risiko sirkulasi yang akan dihadapi pasien.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya