Komisioner DKPP: Penyelenggara Pemilu Itu Harus Netral, Tidak Memihak 

Menang dan kalah bermartabat, ayo pada legowo ya nanti

Denpasar, IDN Times – Pemilihan kekuasaan dalam pemilu disebut selalu tidak berjalan dengan normal. Setiap tahapan sarat dengan potensi pelanggaran etika, baik dari pihak penyelenggara maupun pemilih sendiri, termasuk di Bali.

Jalannya demokrasi di Kabupaten Tabanan menjadi salah satu contoh bentuk pelanggaran etika tersebut. Pada tahun 2019 dengan sengaja Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) merusak surat suara sehingga menjadi tidak sah. Karenanya diperlukan pijakan filsafat untuk membuat pemilu lebih bermartabat.

Persoalan tersebut dibahas dalam acara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pertemuan yang membahas soal etika penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di ruang Paruman Agung di Inna Sindhu Beach Hotel & Resort, Sanur pada Senin (16/11/2020) lalu.

Baca Juga: Jelang Pilkada, 10.818 Petugas KPPS di Bali Mengikuti Rapid Test

1. Penyelenggara pemilu harus punya pijakan filsafat

Komisioner DKPP: Penyelenggara Pemilu Itu Harus Netral, Tidak Memihak Ilustrasi Penegakan Hukum Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam kesempatan tersebut, komisioner DKPP RI, Prof Teguh Prasetyo menyampaikan bahwa dalam pemilihan kekuasaan, tidak berjalan dengan normal dan pasti terjadi anomali (berbagai cara untuk menang). Setiap posisi berpotensi terjadinya pelanggaran etika, baik yang dilakukan penyelenggara maupun pemilih.

“Pemilu itu harus ada pijakan filosofisnya. Supaya apa? Supaya jangan menggoyang sendi-sendi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Maksud saya dalam Pilkada ini penyelenggara pemilu harus punya pijakan filsafat sehingga penyelenggara pemilu kita digoda kanan-kiri nggak jatuh,” ungkap Teguh yang juga merupakan dosen Universitas Pelita Harapan.

Ia menegaskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup dengan berintegritas, akan tetapi harus bermartabat yang memberikan nilai lebih dalam demokrasi, hak asasi orang, profesionalitas, dan integritas.

“Jadi penyelenggara pemilu itu harus netral, tidak memihak ya. Bersifat adil, profesional, integritas dan sebagainya. Sebagai penyelenggara pemilu dia harus mampu bahwa dia ini harus netral dan tidak memihak,” ungkapnya.

2. Pilkada harus tetap diselenggarakan meski di tengah pandemik

Komisioner DKPP: Penyelenggara Pemilu Itu Harus Netral, Tidak Memihak Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Penyelenggaraan demokrasi yang sudah diatur lima tahunan harus tetap diselenggarakan meskipun pandemik berlangsung. Hanya saja dalam pelaksanaannya harus memperhatikan protokol COVID-19.

Dilaksanakannya demokrasi saat pandemik ini tidak lain karena belum ada kepastian kapan wabah COVID-19 akan berakhir. Sedangkan dalam prosesnya sudah diatur bahwa pergantian terjadi lima tahun sekali.

Pemilu tahun 2020 ini diatur sedemikian rupa supaya terjamin keselamatan baik petugas maupun pemilihnya. Selain mematuhi protokol kesehatan, mereka harus memakai Alat Pelindung Diri (APD) guna menghindari terjadinya klaster pilkada.

“Harus disertai pemakaian APD dan kelengkapan lainnya supaya tidak terjadi klaster di dalam COVID-19,” ungkap Teguh.

Sementara itu Wakil Dekan Universitas Dwijendra, Dr. Made Wahyu Candra Satriana mengungkapkan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki suatu strategi dalam melaksanakan pengawasan jalannya tahapan pemilu. 

3. Potret pelanggaran etika Pemilu di Provinsi Bali pada proses demokrasi sebelumnya

Komisioner DKPP: Penyelenggara Pemilu Itu Harus Netral, Tidak Memihak Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Unsur Masyarakat Bali, Ketut Udi Prayudi menyampaikan bahwa pada setiap jenjang Pemilu selalu memiliki potensi pelanggaran etika.

“Banyak tahapan-tahapan pemilu yang kami temukan punya potensi terjadinya pelanggaran etika. Setiap pemutakhiran data pemilih dengan sengaja menghilangkan hak pilih seseorang. Dengan sengaja C6-nya tidak dibagikan kepada kelompok-kelompok pemilih tertentu. Termasuk juga ketika proses kampanye ada keberpihakan penyelenggara kepada masing-masing calon,” ungkap Ketut Udi.

Begitu pula waktu yang dianggapnya paling rentan yakni ketika proses pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Rentan sekali terjadinya kehilangan suara yang disengaja. Surat suara dirusak oleh penyelenggara itu sendiri.

Kejadian ini pernah terjadi di Kabupaten Tabanan Tahun 2019. Dengan sengaja Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) merusak surat suara sehingga menjadi tidak sah.

Sementara itu, Pilkada di Kabupaten Buleleng pernah satu orang mencoblos 50 surat suara. Sementara di Kecamatan Denpasar Selatan, ada yang kedapatan menggunakan hak pilih orang lain.

4. Ada potensi pelanggaran etika di Pilkada Tahun 2020

Komisioner DKPP: Penyelenggara Pemilu Itu Harus Netral, Tidak Memihak Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam setiap tahapan Pilkada Tahun 2020 ini, Ketut Udi Prayudi mengatakan semuanya harus tetap diwaspadai. Mulai dari tahapan pemutakhiran data pemilih, pencalonan, hingga kampanye.

“Umumnya itu di pemungutan dan penghitungan suara. Karena ini berhubungan dengan suara. Proses kontestasi itu kan mencari suara yang sebanyak-banyaknya. Kampanye mereka mencari suara. Pemilih didaftarkan dalam rangka nanti mendapatkan suara,” jelasnya.

Potensi pelanggaran yang terjadi dalam tahapan ini yakni:

  • Pemilih mencoblos lebih dari satu kali
  • Mewakilkan
  • Menghilangkan suara
  • Membuat surat suara tidak sah

“Nah ini yang harus betul-betul diwaspadai oleh pengawas. Oleh para saksi. Nah ini karena kecenderungannya pelaku ini bisa jadi penyelenggara. Potensial terjadi, kami mengidentifikasi potensi-potensi kecurangan di TPS,” jelasnya.

Ia juga mengatakan bahwa potensi intimidasi di Kabupaten Tabanan saat Pilkada nanti dimungkinkan juga masih terjadi.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya