Kesaksian Mantan Napi di Bali, Kamar Lapas 4x4 Meter Dihuni 20 Orang

Gak dapat telur satu aja bisa baku hantam di penjara

Dua bulan berada di balik jeruji Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar menjadi hari-hari yang tak akan pernah terhapus dari ingatan Jaja, seorang mantan narapidana (Napi) narkoba. Setelah dipindahkan dari sana, sedikit demi sedikit kegelisahannya terjawab. Angin segar memenuhi ruang hatinya setelah bisa berkomunikasi dengan sang istri.

Denpasar, IDN Times – Ketika perkaranya telah dinyatakan P-21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar, Jaja sedikit lega. Ia bisa kembali menjalin komunikasi dengan istri dan menanyakan kabar anak-anak kesayangannya. 

Itulah baginya tanda waktu permainan dimulai. Memang bukan lagi tentang siapa benar dan siapa yang salah. Sebab sudah jelas Jaja berada di posisi yang kalah. Ia tak berhasil menjelaskan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Walaupun telah gamblang diungkapkan latar belakang kehidupannya, namun itu tidak cukup untuk membela diri di mata hukum. Jaja pun memutuskan pasrah menjalaninya.

“Di situ saya mulai bermain. Di situ saya ketemu istri. Bisa komunikasi langsung. Sedangkan di kantor polisi gak bisa, gak ada pertemuan,” ungkapnya.

Baca Juga: [Part I] Kisah Mantan Napi Narkoba di Bali, Terbayang Tangisan Anak

1. Ia menyaksikan bagaimana perundungan terjadi di antara para tahanan, hingga membuatnya mengalami depresi berat

Kesaksian Mantan Napi di Bali, Kamar Lapas 4x4 Meter Dihuni 20 OrangIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Setelah dua bulan berada di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Polresta Denpasar, Jaja mengaku depresi berat dan menyaksikan langsung bagaimana bullying (Perundungan) terjadi di antara para tahanan.

Hal itu terjadi ketika ia digabungkan dalam satu sel bersama tahanan kejahatan lainnya. Terutama untuk pelaku pelecehan seksual kepada anak dan perempuan.

“Seperti diplonco-plonco gitu. Yang banyak pelecehan, yang paling parah. Seperti pelecehan anak, pemerkosaan. Ya, kena plonco secara fisik juga. Ada yang benci. Mereka juga berpikir, bagaimana kalau anakku begitu (Korban pelecehan). Emosinya dikeluarkan. Saya kira lebih berat itu.”

Tersangka yang memiliki perbedaan orientasi seksual, kata Jaja, juga harus ekstra keras beradaptasi dengan tersangka kejahatan lainnya di rutan supaya tidak menjadi pelampiasan nafsu seksual tahanan lainnya.

“Ya pelampiasan jadinya kan? Ya gitu aja,” jelasnya.

Kini kenangan pedihnya hidup di dalam rutan itu telah Jaja simpan rapi dalam ingatannya. Peristiwa yang tidak ingin ia ulang lagi selama hidupnya.

2. Meminta sang istri jujur menceritakan kondisi keluarganya di persidangan

Kesaksian Mantan Napi di Bali, Kamar Lapas 4x4 Meter Dihuni 20 OrangIlustrasi palu hakim (IDN Times/Sukma Shakti)

Jaja mulai lega setelah perkaranya dilimpahkan dan mendapatkan bantuan pengacara. Ia menata lagi hatinya untuk persidangan. Kepada sang istri, Jaja memohon agar bersedia jujur menceritakan latar belakang dan kondisi keluarganya. Termasuk peran dan tanggung jawab seorang laki-laki sederhana bernama Jaja.

“Ceritakan kondisi keluarga kita. Ceritakan status saya di keluarga. Kemudian kenapa saya makai. Istri saya juga tahu. Dia memang melarang,” ungkapnya.

Mendapati kondisinya yang demikian, pihak pengacara meminta agar keluarga Jaja bisa menunjukkan surat miskin. Jaja bersyukur pencarian surat miskin di kelurahan Kota Denpasar dipermudah. Namun ia tetap harus mengeluarkan biaya. Pengacaranya meminta Rp5 juta kala itu. Jaja langsung kebingungan mencari pinjaman. Hingga akhirnya meminta bantuan ke rekan-rekannya.

“Contoh, saya diberi pengacara gratis. Tapi pengacara bikin lagi. Dengan alasan nanti saya mempledoi sendiri. Nanti diperingan atau dipakai surat miskin itu. Dipakai persyaratan nantinya."

Jaja yang awalnya dituntut 7 hingga 12 tahun penjara atas penyalahgunaan ganja oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), akhirnya divonis 4,5 tahun penjara.

“Bagi saya lama karena saya pertama. Tapi saya lihat kok orang bisa berapa kali (Keluar masuk penjara). Kok bisa?”

Masalah yang menimpanya kala itu membuat Jaja teringat kembali ketika bekerja di Eropa. Dia bekerja di tempat rehabilitasi untuk orang-orang yang kecanduan narkotika. Jaja mengaku sesungguhnya sangat paham atas aturan soal Narkotika Golongan I. Namun ia mengaku perlu terapi agar lebih sanggup mengasuh anaknya.

“Teman-teman di luar (Luar negeri) tertawa. Ah masak gitu aja kamu masuk penjara tiga tahun. Diketawain. Orang itu urusan keluarga, rehabilitasi,” ucapnya.

3. Kamar ukuran 4x4 meter bisa dihuni oleh 20 sampai 35 orang

Kesaksian Mantan Napi di Bali, Kamar Lapas 4x4 Meter Dihuni 20 OrangIDN Times/Imam Rosidin

Setelah divonis 4,5 tahun penjara dan subsider 4 bulan, Jaja kemudian menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lapas Klas II A Kerobokan. Ia menggambarkan bagaimana tempatnya pada saat itu ibarat dunia kecil atau masyarakat kecil.

Selain ada struktur sosial, kondisinya pun lebih baik bila dibandingkan dengan Rutan Polresta Denpasar. Namun belakangan, ia baru menyadari bahwa tetap saja barang haram bisa menembus dinding Lapas. Bahkania bisa mendapatkannya dengan sangat mudah.

“Gak sulit. Merem (Memejamkan mata) aja datang (Narkoba). Ada yang megang peranan,” katanya.

Ia kemudian dimasukkan ke sebuah blok yang over kapasitas, yakni mencapai 180 orang. Sementara di dalam kamar ukuran 4x4 meter, dihuni antara 20 sampai 35 orang.

Namun kamar ini rupanya bisa dimodifikasi menjadi dua lantai. Warga binaan yang menghuni lantai atas dari papan, khusus buat orang-orang berduit. Selama menjalani hukuman, Jaja merupakan tukang membuat dek kamar di dalam kamar lapas ini.

“Dibikin sendiri. Jadi biar di atas juga ada. Biaya sendiri. Yang berani bayar."

Biaya pembuatan dek kamar ini rupanya sangat mahal. Selain karena bahan baku yang masuk ke dalam Lapas harganya naik tiga kali lipat, juga perlu atensi khusus. Hanya tokoh-tokoh tertentu dan orang berduit yang bisa menempati dek kamar tersebut.

“Satu kamar kami bikin, yang punya duit ya, itu sampai Rp50 juta habis. Satu orang. Paling gak dijadikan dua kamar di atas. Gak bisa full semuanya dia pakai. Itu dibagi dua,” ungkapnya.

Sedangkan warga binaan tak berduit, dihadapkan oleh sajian masakan yang mati rasa. Makanan dimasak untuk kapasitas besar, sehingga lebih diutamakan jumlahnya. Pada saat itu hanya 20 orang warga binaan yang mengurusi dapur dan menyiapkan makanan untuk 1.800 orang lainnya dengan intensitas tiga kali sehari. Tentunya ini berat bagi mereka yang fokus dengan cita rasa.

Kondisi paling jelek yang ia hadapi adalah memakan nasi dari beras jatah yang sudah lawas. Nasi tersebut sudah berubah rasa dan warnanya sedikit kehitaman. Mereka pun memilih tidak mengeluh karena tidak ada bahan pilihan lain untuk dimasak. Sementara itu bagi warga binaan yang berduit, mereka bisa membeli makanan dari luar atau memesan menu tertentu di dapur Lapas.

4. Para tahanan menjadi lebih sensitif dan mudah emosi di dalam penjara

Kesaksian Mantan Napi di Bali, Kamar Lapas 4x4 Meter Dihuni 20 OrangIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Di dalam Lapas tersebut, para tahanan sebisa mungkin harus menempatkan diri. Karena tidak memungkiri orang-orang menjadi lebih sensitif dan mudah emosi. Menurutnya, akibat uang Rp5 ribu saja bisa saling serang, apalagi soal makanan.

“Makanan juga begitu, gak dapat telur satu aja baku hantam."

Jaja mengenang bagaimana susahnya menjaga kesehatan selama di dalam Lapas. Banyak yang mengalami masalah kesehatan. Mulai sakit perut karena keracunan, penyakit kulit, batuk, dan lainnya. 

“Keracunan. Satu blok keracunan ada. Keracunan makanan. Karena dia bikin makanan sendiri. Satu blok itu pesta sendiri. Menderita sendiri,” ungkapnya sambil terkekeh.

Namun seiring berjalannya waktu, ia akui bahwa sistem di Lapas mulai bagus. Baik dari cara penempatan warga binaan, maupun soal kesehatan. Ia menyadari, dari sana Jaja belajar sesuatu yang tidak ia dapatkan di luar Lapas. Mulai dari belajar menempatkan diri, mengenali karakter orang, hingga bersosialisasi.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya